Oleh Ahmad Rizali
Berdomisili di Depok
Musim ini, kata itu sangat didambakan umat manusia di seluruh dunia. Sedikit saja gejala (mungkin) selesma, bagi pelahap medsos akan cemas dan berpikir buruk bahwa dirinya sudah dipeluk Covid. Rakyat kecil, karena tak “kober” main medsos ya santai saya. (Mungkin) sudah terjangkiti, namun berfikir hanya kena flu biasa dan menenggak jamu “tolak angin” meskipun mereka bukan orang pintar, lewatlah penyakitnya.
PRT yang membantu kami sejak putra saya lahir, sudah lebih 25 Tahun, di PCR dan positif. Gejalanya hanya sedikit batuk batuk dan saat dites, hanya merasa pegal pegal. Saya yakin perempuan tua ini imunnya sangat kuat karena setiap pagi jalan kaki dari rumahnya ke rumah kami yang berjarak sekitar 1 Km pulang dan pergi selama berpuluh tahun. Beberapa tahun belakangan hanya berangkat saja, pulang dijemput putranya bermotor.
Beliau manusia pekerja. Disuruh libur Sabtu Ahad, baru setahun ini dia ambil hanya Ahad saja. Dia mencuci, ngepel, menyapu hingga memasak. Jam 08.30 tiba, 14.00 kelar dia pulang.
Ada ujar ujar “Ayam kampung yang kluyuran bebas, lebih sehat dari pada ayam brioler yang diam. Ikan yang hidup di air mengalir dan deras lebih enak dagingnya daripada di empang berair diam”. Memang, gerak itu adalah esensi. Ujar seorang arif “Tuhan membuat titik dan kita bergerak menjadikannya garis, bentuk dan gambar. Ketika kita berhenti bergerak yang tersisa adalah titik (alias mati).
Bergeraklah, karena di sana ada kehidupan dan kesehatan. Bergeraklah, jangan hanya berteriak sampai serak dan berak saja. Bergeraklah dengan membawa makna, karena jika tidak, “apa beda kita dengan ayam” ujar tokoh Kuntoro Mangkusubroto saat menasehati kami.