Dengarkan Artikel
Oleh : Muhammad Hafiz
Siswa SMK Negeri 1, Jeumpa, Bireun, Aceh
Di sebuah desa yang tersembunyi di balik bukit” hijau bernama bukit Kuala, hidup seorang anak laki-laki bernama Apis. Ia adalah anak dari seorang penjual gorengan keliling dan ibu rumah tangga yang menjahit dari rumah. Hidup mereka tidak mudah, tapi Apis tumbuh menjadi anak yang keras kepala dalam hal satu: belajar.
Setiap pagi, Apis berjalan kaki tiga kilometer menuju sekolahnya. Jalan berlumpur dan sepatu yang bolong bukan halangan. Ia akan tiba paling pagi, membersihkan papan tulis sebelum guru datang, lalu duduk di bangku paling depan—menyimak setiap kata yang keluar dari mulut gurunya seperti permata berharga.
Guru-guru di sekolah tahu, Apis bukan anak biasa.
Ia punya mata seperti orang yang lapar. Tapi bukan lapar makanan, kata Pak Wicak, wali kelasnya.
“Lapar pengetahuan.
Di rumah, setelah membantu ibunya menjahit dan ayahnya menggoreng tempe, Apis belajar di bawah cahaya lampu minyak. Buku-bukunya bekas—beberapa sudah sobek, beberapa halaman hilang—tapi ia membacanya sampai hafal.
Kenapa kamu belajar terus, Pis?tanya ayahnya suatu malam.
Apis tersenyum. Karena aku ingin hidup kita berubah, Yah. Bukan untuk kaya… tapi untuk punya pilihan.
Ayahnya diam lama. Lalu mengangguk. Dalam hatinya, ia tahu: anak ini akan pergi jauh.
Suatu hari, sekolah mengumumkan lomba menulis esai tingkat kabupaten. Temanya: Mimpiku untuk Indonesia.
Apis ikut, meski harus menulis di halaman belakang buku pelajaran karena tidak punya kertas khusus.
Esainya berjudul: Aku Ingin Jadi Jembatan.
Aku ingin menjadi jembatan antara orang desa dan pengetahuan,
antara orang kecil dan peluang,
agar anak-anak seperti aku tidak harus selalu memilih antara makan dan sekolah.
Tulisan itu menggetarkan hati para juri. Apis menang juara pertama. Hadiahnya bukan uang—tapi lebih berharga: beasiswa penuh ke SMA unggulan di kota.
Hari keberangkatan Apis adalah hari paling membahagiakan sekaligus paling menyedihkan. Ibunya memeluk erat sambil menyelipkan kain doa yang ia sulam sendiri ke dalam tas anaknya. Ayahnya hanya menepuk bahu dan berkata:
Jangan lupa pulang, Pis. Tapi jangan pulang sebelum kamu berhasil.
Kota adalah dunia yang asing. Sekolahnya besar, teman-temannya membawa laptop, bicara bahasa Inggris, dan punya orang tua yang berprofesi macam-macam. Sementara Apis… hanya membawa tekad.
Banyak yang meremehkan.
Ada yang menertawakan.
Tapi Apis tidak goyah.
Setiap malam ia belajar lebih keras dari siapa pun. Ia membaca di perpustakaan sampai tutup. Ia bertanya pada guru lebih banyak dari yang lain. Dan perlahan, nilai-nilainya mulai menyusul… lalu melewati.
Apis tak hanya pintar di kelas. Ia juga punya hati yang peduli. Ia mendirikan kelompok belajar gratis untuk anak-anak pemulung yang tinggal di sekitar sekolah. Ia tahu rasanya belajar dalam keterbatasan, dan ia tak ingin anak-anak lain merasa sendirian.
Berita tentang Apis menyebar. Salah satu media lokal mewawancarainya. Judul artikel itu:
Apis, Anak Desa yang Menjadi Lilin di Tengah Kota.
Saat lulus SMA, Apis mendapat undangan masuk ke universitas negeri ternama. Ia memilih jurusan Pendidikan—bukan karena tak bisa masuk teknik atau kedokteran, tapi karena ia ingin kembali menjadi jembatan, seperti yang pernah ia tulis dalam esainya dulu.
Di bangku kuliah, Apis menulis, berbicara, dan menginspirasi. Ia pernah naik ke panggung nasional dalam konferensi pendidikan dan berkata:
Kami yang dari desa bukan ingin dikasihani.
Kami hanya ingin kesempatan yang sama.
Ilmu itu milik semua orang.
Dan saya di sini, bukan untuk jadi hebat sendiri, tapi untuk membawa ilmu itu pulang.
Tepuk tangan panjang mengiringi pidatonya. Tapi dalam hati, Apis masih anak yang sama—yang mengantuk di bawah lampu minyak sambil mengeja nama-nama pulau Indonesia.
Setelah lulus, ia menolak tawaran kerja dari lembaga internasional dan pulang ke Sukamurni. Ia membangun rumah baca dari sisa kayu dan atap seng. Ia keliling ke rumah-rumah, mengajak orang tua mengizinkan anaknya sekolah.
Apis, kamu yakin mau begini?tanya teman kampus nya yang heran.
Yakin,” jawabnya.
“Karena aku bukan pulang untuk duduk. Aku pulang untuk menyalakan.
Tahun berlalu. Rumah baca itu menjadi pusat belajar desa. Anak-anak belajar membaca, menulis, dan bermimpi.
Beberapa dari mereka bahkan ikut lomba, menulis puisi, membuat karya ilmiah kecil. Dan satu demi satu, generasi baru mulai tumbuh — generasi yang percaya bahwa mereka juga bisa.
Suatu hari, saat Apis sedang membersihkan rak buku, seorang anak kecil bertanya,
Kak Apis, kenapa sih kakak nggak pergi aja kerja ke kota? Kan bisa kaya?
Apis tersenyum.
Karena kekayaan yang paling indah adalah melihat kalian punya mimpi. Dan tahu apa? Kalianlah alasan aku dulu belajar.
Malam itu, Apis duduk di depan rumah. Angin desa lembut seperti pelukan. Ia menatap langit, lalu menutup matanya.
Dalam diam, ia tahu:
ia telah menjadi jembatan itu.
Dan jembatan itu takkan runtuh
selama ada yang ingin melangkah.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini




