Dengarkan Artikel
Oleh : Ilhamdi Sulaiman
Langit kelabu menggantung di atas pemakaman kecil di ujung kampung, Bu Sri berdiri mematung. Satu-satunya yang terdengar hanyalah desir angin dan gumam doa dari bibir yang gemetar. Di sampingnya, Rani, gadis kecil berusia sembilan tahun, menggenggam tangan ibunya erat. Jemarinya dingin, seperti tanah merah yang baru saja menutup pusara ayahnya.
Sulaiman, lelaki yang selama ini menjadi tiang rumah mereka, pergi terlalu cepat. Kecelakaan motor saat pulang dari pabrik tempatnya kerja merenggut nyawanya dalam sekejap. Tak ada tanda. Tak ada pamit. Hanya jaket lusuh dan dompet berisi dua puluh ribu rupiah yang dikembalikan polisi malam itu, bersama kabar duka yang mengoyak.
Bu Sri tak menangis saat itu. Tidak di depan banyak orang. Tapi malamnya, saat Rani tertidur dalam pelukannya, ia meraung tanpa suara. Kesunyian menjadi teman tangisnya, dan dinding rumah papan menjadi saksi duka yang tak sempat dirapikan.
Sejak hari itu, segalanya berubah. Rumah itu menjadi lebih sepi, lebih sunyi, dan lebih berat. Tapi Bu Sri tak ingin Rani tahu betapa dunia telah kehilangan warnanya. Ia ingin anaknya tetap melihat pagi sebagai harapan, bukan kehilangan.
Setiap pagi, Bu Sri menyiapkan sarapan sederhana,nasi hangat dan telur dadar yang dibelah dua, kadang cukup satu tahu goreng. Lalu ia melihat putrinya berdiri di depan kaca kecil yang tergantung miring di dinding ruang tengah. Rani merapikan seragam sekolahnya dengan cermat: kemeja putih yang sudah pudar warnanya, hampir abu-abu, dan rok merah tua yang ditambal di bagian bawah.
Sepatu hitam yang solnya lepas sebelah diletakkan di dekat pintu, bersanding dengan tas usang yang warnanya sudah luntur. Tapi Rani tetap berdiri dengan semangat yang tak pernah lusuh.
“Sudah siap, Nak?” tanya Bu Sri sambil mengikatkan pita di rambut putrinya.
“Siap, Bu!” jawab Rani sambil tersenyum lebar.
Senyum itu seperti cahaya kecil yang menghangatkan dada Bu Sri setiap hari. Meski hidup mereka kini hanya berisi pas-pasan, bahkan kurang, semangat Rani seperti terus mengingatkan bahwa mereka belum kalah. Belum menyerah.
Bu Sri diam-diam memperhatikan dari dapur. Hatinya mencubit dirinya sendiri. Ada perih yang tak bisa dijelaskan, rasa bersalah yang tak pernah selesai. Ia ingin sekali membelikan seragam baru untuk anaknya, sepatu yang tak lepas lemnya setiap kali hujan datang. Tapi ia tahu, hidup tak selalu memberi ruang untuk keinginan. Kadang-kadang, yang diberikan hanya cukup untuk bertahan.
Setelah Rani berangkat sekolah, Bu Sri mulai menyiapkan keranjang jualannya. Sayur-mayur segar dari kebun kecil di belakang rumah dan beberapa hasil borong dari pasar pagi. Dengan tubuh yang mulai pegal dan lutut yang tak lagi sekuat dulu, ia berjalan menyusuri jalanan kampung, dari rumah ke rumah. Ia tahu siapa yang suka bayam, siapa yang selalu menawar keterlaluan, dan siapa yang rutin minta utang seminggu sekali. Tapi ia tak pernah mengeluh. Setiap receh yang ia terima adalah senjata untuk bertahan satu hari lagi.
Hari itu panas menyengat. Bu Sri pulang lebih siang dari biasanya, dengan baju basah oleh keringat. Tapi senyum Rani yang menyambutnya dari balik pintu membuat semua lelah seperti menguap.
“Bu, Rani dapat nilai 100 di ulangan Matematika,” kata Rani sambil menunjukkan kertas ulangan yang telah dilipat rapi.
Bu Sri memeluk anaknya. Tak berkata apa-apa. Tapi matanya basah oleh sesuatu yang lebih dari sekadar bangga.
Namun kehidupan tak pernah memberi istirahat terlalu lama. Satu siang yang biasa, Rani pulang dengan langkah pelan. Wajahnya redup, seperti awan sebelum hujan turun.
“Bu…” katanya pelan di ruang tamu sempit itu. “Rani harus bayar iuran ujian minggu depan. Dua puluh lima ribu.”
Bu Sri menatap wajah anaknya yang masih bersinar meski diterpa kekurangan. Ia ingin langsung menjawab, “Iya.” Ingin menjanjikan uang itu akan tersedia besok pagi. Tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah bisikan:
“Iya, Nak. Nanti Ibu usahakan. Uang memang bisa lari lebih cepat dari kaki kita… tapi Ibu akan tetap kejar.”
Malam itu Bu Sri tak bisa tidur. Ia menyalakan lampu kecil di sudut dapur dan membuka kaleng bekas biskuit Khong Guan yang kini jadi celengan. Recehan berkarat, beberapa lembar dua ribuan yang lecek, semuanya ia hitung dan hitung ulang. Totalnya delapan belas ribu. Masih kurang. Ia terpaku. Lalu matanya beralih ke panci alumunium besar warisan ibunya yang tergantung di atas tungku. Atau mungkin… cincin kawin tipis yang selama ini ia simpan di kain sarung.
Esoknya, tanpa berkata banyak, Bu Sri memperluas rute jualannya sampai ke kampung sebelah. Ia menuruni gang curam, melewati sawah yang tandus, dan naik ke perumahan tua di tepi kota. Ia membawa dua keranjang penuh, meski pundaknya kerap bergetar.
Di malam hari, ia hanya makan nasi dengan garam. Kadang dengan tahu goreng dingin yang tak habis dari pelanggan. Ia juga menghentikan kebiasaan membeli kopi sachet, teman begadangnya selama ini. Semua itu demi tambahan seribu dua ribu.
Rani memperhatikan perubahan itu diam-diam. Ia tahu ibunya sedang berjuang. Tapi hatinya sesak. Ia tak ingin jadi beban.
Suatu malam, ketika Bu Sri hendak merapikan tas jualannya, ia menemukan secarik kertas terselip di antara ikatan sayur bayam. Tulisan tangan Rani yang kecil dan rapi:
“Bu, Rani bisa bantu jualan saja pas hari ujian. Tidak apa-apa tidak ikut, yang penting kita bisa makan. Rani sudah cukup belajar banyak dari Ibu. Tentang kuat, tentang sabar, dan tentang mencintai dalam diam.”
Tangan Bu Sri gemetar. Air matanya jatuh satu per satu, membasahi sayur bayam yang sudah layu. Ia tahu, anak itu lebih dewasa dari usia yang tampak. Dan cinta sebesar itu tak boleh dibalas dengan menyerah.
Keesokan harinya, dengan baju paling rapi yang ia punya, Bu Sri memberanikan diri datang ke rumah Bu Rina—seorang pensiunan guru yang pernah ia bantu saat jatuh sakit bertahun lalu. Rumah itu sederhana, dengan pagar hijau yang catnya mulai mengelupas.
Bu Rina membuka pintu dengan tatapan heran. Bu Sri menunduk, lalu mulai bercerita. Suaranya bergetar, tidak karena malu, tapi karena cinta yang terlalu besar pada seorang anak kecil.
Ia tidak meminta sumbangan. Ia hanya bercerita tentang Rani. Tentang anak yang rajin, anak yang tak pernah meminta apapun, anak yang ingin ikut ujian tapi tak punya seragam baru, apalagi uang iuran.
Bu Rina mendengarkan. Lalu hanya berkata satu kalimat, “Nanti sore, saya akan bantu.”
Beberapa hari kemudian, Rani berangkat sekolah dengan seragam yang sama. Tapi ada yang berbeda. Ia membawa map plastik biru berisi alat tulis baru, dua lembar fotokopi formulir ujian, dan satu senyum kecil yang tak bisa disembunyikan.
Di kantin, Bu Wati—penjaga kantin yang cerewet namun baik hati memanggilnya.
“Ran, sini. Ada orang baik yang sudah lunasi semua iuranmu. Katanya… kamu layak dapat lebih dari sekadar nilai.”
Rani hanya mengangguk. Tak tahu harus berkata apa. Tapi matanya basah. Bukan karena sedih. Tapi karena harapan tak pernah benar-benar mati, bahkan di rumah sekecil milik mereka.
Malam itu, saat membantu ibunya menimbang sayur di dapur, Rani bertanya pelan:
“Bu, kenapa Ibu tidak pernah berhenti, walaupun capek?”
Bu Sri berhenti sebentar. Lalu menjawab, suaranya seperti angin malam yang hangat:
“Karena Ibu tahu… cinta tak butuh alasan. Dan kadang, cinta Ibu tak bisa beli seragam baru. Tapi bisa buatmu tetap sekolah. Dan itu, Nak, lebih hangat dari baju apapun.”
Rani memeluk ibunya. Lama. Tak berkata apa-apa. Tapi dalam diamnya, Bu Sri tahu: mereka berdua baru saja memenangkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar angka di rapor. Lebih agung dari nilai Matematika. Lebih kokoh dari dinding sekolah.
Dan selama semangat anaknya tetap utuh, tak ada yang benar-benar kekurangan di rumah kecil mereka.
Pagi itu berbeda. Hujan turun pelan, menyentuh atap seng rumah mereka seperti denting-denting harapan yang jatuh dari langit. Rani berdiri di depan cermin kecilnya, masih mengenakan seragam lama yang semakin pudar. Tapi kali ini, ia menyematkan pin kecil di saku kirinya,sebuah pin berbentuk bintang yang diberikan gurunya karena menjadi juara umum di sekolah dengan nilai rapot yang sangat luarbiasa Beberapa guru meneteskan air mata. Dan hari itu, nama Rani disebut dalam upacara bendera, disambut tepuk tangan dari teman-temannya yang dulu hanya melihatnya sebagai anak pendiam dengan seragam tambalan.
Bu Sri menyaksikan semua itu dari jauh, berdiri di balik pagar sekolah, mengenakan kerudung lusuh dan sendal jepit yang sudah tipis. Ia tidak ingin mencuri sorotan, hanya ingin melihat anaknya berdiri percaya diri di tengah kerumunan, berdiri sebagai bukti bahwa kasih sayang bisa melampaui apa pun—bahkan kemiskinan.
Ketika Rani turun dari podium kecil setelah menerima hadiah buku tulis dan satu set alat gambar, matanya mencari sosok yang paling ia kenal. Ia melihat Bu Sri, berdiri kaku di sisi gerbang.
Ia lari menghampirinya, memeluk ibunya erat.
“Ibu lihat?” tanyanya lirih.
Bu Sri mengangguk. “Ibu lihat semuanya. Dan Ibu tahu, ayahmu pun melihat dari tempat yang lebih tinggi.”
Rani menunduk. Matanya basah. Tapi ia tersenyum.
Dan di bawah rinai hujan yang masih turun perlahan, ibu dan anak itu berdiri dalam keheningan yang tak butuh kata-kata. Dalam pelukan yang hangat meski tanpa jaket tebal, dan dalam cinta yang tak pernah usang, meski seragam mereka tak pernah baru.
Jakarta 27 Juni 2025.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini




