Dengarkan Artikel
Oleh Heri Haliling
Desau angin berpadu bersama raungan hutan. Menyeruak lalu berkumpul menjadi satu dengan rinai hujan. Sungai Amandit berarus jeram, alirannya bening suci keagungan alam.
Brass!!!
Bunyi sebuah lanting paring (bambu) terantuk batu kali dan dipermainkan ombak. Namun demikian, kepiawaian Atai Bawi dalam menjoki lanting itu tak boleh disepelekan. Dia pria setengah baya bertubuh tak terlalu tinggi dengan roman ramah. Meliuk dan sesekali seakan terbang dengan tojok bambu untuk kemudi.
Di belakang Atai, rombongan tour Bamboo Rafting bersorak gemilang. Nyatanya rinai hujan tak menyurutkan antusias mereka dalam teroka alam. Di Pegunungan Meratus, tepatnya daerah Loksado semua yang berkunjung kemari ialah saksi tentang tradisi dan napas bumi. Kerumunan hutan dengan siletan aliran Sungai Amandit bukan hanya sebagai wisata. Di bentangan cipta alam itu untuk Atai lebih berlaku sebagai sejarah.
Sekitar tahun 92 kiranya semua bermula. Lanting paring yang kini dikenal sebagai Bamboo Rafting itu mulanya adalah titipan leluhurnya. Berlaku sebagai sarana transportasi mengangkut bambu dan kayu untuk dijual di wilayah Kandangan. Moyang Atai pernah berkata, “Orang yang mewarisi dan melestarikan tradisi itu mulia. Apapun statusnya!”
Atai kembali meloncat penuh atraksi. Ingatan itu ia pegang dan tanamkan hingga kini. Dari kiri tempatnya menjoki, sebuah lanting lain yang dikemudikan Ancak Lamang mendahuluinya. Sorak sorai kembali menyeruak bersatu dengan deras ombak melabrak karang. Sekarang tiba permainan lain. Atai meloncat ke lanting Lamang, meninggalkan lanting yang ia kemudikan. Senyumnya usil mengurai dan menyapih matanya yang sipit. Hal itu tentu saja membuat penumpang Atai jengkel canda. Entah, serasa rombongan yang berisi 4 orang dewasa itu enyahkan kecemasan dan fokus pada kemegahan. Perasaan megah yang tak terukirkan dalam pelukan rimba Meratus, ibu bumi Borneo yang masih mengandung napas untuk Kalimantan.
Selusur lanting itu berhenti pada pertengahan. Di pinggir, tampak dua warung sederhana merayu dan melambai. Semuanya turun untuk menghangatkan diri dengan minuman dan sajian sederhana dari ramahnya hutan. Tak terkecuali Atai, dia langkahkan kaki untuk memesan kopi.
Dari lereng di atasnya, kisaran tiga orang pria bukan pendaki turun untuk ikut berkumpul. Atai kenal mereka dan entahlah, kopi itu kini seolah bukan memanaskan badannya.
“Bila kau teruskan niat itu, sungguh kami bakal lawan!” kata Atai kepada ketiganya. Salah satu pria yang mengenakan baju hem biru hitam khas perusahaan menaruh alat ukur. Semacam pemetaan wilayah. Helem ia taruh di meja, duduk sebentar sambil hembuskan napasnya.
“Atai,” sapa pria itu, Marwan namanya, “Industri ini juga akan kalian nikmati. Kesampingkan dulu emosimu. Lihat desain ini,” Mengarahkan layar yang berisi sketsa gambar digital. “Loksado modern.”
Atai mengepalkan tangan. Lamang berdiri di sampingnya, wajah keduanya yang semula ramah berubah garang.
“Kami tak butuh bangunan modern itu. Tak perlu juga lampu-lampu kota di pucuk Meratus. Kami butuh udara yang sama seperti saat nenek moyang kami hidup. Sungai jernih untuk anak cucu kami.”
Marwan menarik napas panjang, menatap langit yang mulai cerah. Hujan mulai reda, namun percakapan itu justru memanas.
📚 Artikel Terkait
“Saya hanya pemetaan. Tapi kalau kalian menghalangi proyek ini. Kalian akan berhadapan dengan yang lebih dari sekadar peta.”
“Tanah leluhur, kalian jamah dengan kerakusan maka pantang bagi kami berhenti tumpahkan darah!” tegas Atai kuat sambil tepuk dada.
Pertemuan itu tak berujung damai. Ketika lanting dicerai lalu kembali diangkat ke atas mobil pick-up untuk dibawa ke titik awal, Atai dan Lamang menyimpan amarah. Dalam diam mereka sepakat: harus segera ke balai adat.
Balai adat di tengah Loksado terbuat dari kayu ulin tua dan berdinding sulaman bambu. Berdiri kokoh dengan tiang-tiang besar. Di dalamnya, duduk Narang Atak, sang balian, tokoh adat di wilayah Loksado.
Setelah mendengar cerita Atai, Narang Atak termenung.
“Hari itu telah tiba,” katanya lirih. “Ketika alat-alat besi datang bukan untuk membantu, tapi untuk menggali perut bumi. Jika benar mereka datang dengan excavator, Atai, Lamang, kalian tahu apa yang harus dilakukan. Jagalah Meratus. Dengan segala nyawa.”
Seminggu berselang dengan hujan seperti biasa menyapa Pegunungan Meratus. Tapi siang itu ada yang ganjil. Air Sungai Amandit tiba-tiba berubah keruh. Dari jernih menjadi kecokelatan. Arusnya mengamuk. Atai yang tengah menjoki lanting panik.
“Lamang! Bah! Air bah!”
Teriakan itu membuat rombongan wisatawan menjerit. Air meluap, menghantam batu-batu besar dan membuat lanting nyaris terbalik. Namun dengan cekatan Atai dan Lamang mengarahkan ke tepian. Napas terengah. Jantung mereka nyaris copot.
“Ini bukan hujan biasa,” kata Lamang.
“Sudah dimulai. Mereka sudah mulai menggali.”
Keesokan harinya, Atai dan warga Loksado berkumpul. Dengan kendaraan seadanya, mereka menuju kantor PT Mas Jaya Karsa.
Di depan gerbang, mereka menuntut penjelasan. Marwan keluar, dikawal dua petugas keamanan. Namun massa sudah tak bisa ditahan. Teriakan, dorongan, dan kemarahan meledak. Kaca jendela pecah dihantam batu dan mandau mulai menari-nari di udara.
“Kami tak akan diam!” seru Atai. “Hutan kami bukan untuk dijual!”
Dalam suasana kacau, akhirnya pihak perusahaan menyetujui pertemuan damai. Mereka sepakat menghentikan sementara kegiatan tambang.
*
Satu malam Atai berdiri di depan rumah panggungnya. Menatap gelap hutan. berdiri di depan rumah panggungnya. Menatap gelap hutan.
Nyatanya dari kejauhan, suara ekskavator masih mendengkur. Seperti binatang buas yang lapar. Atai mulai berkemas. Ia menggeleng dengan geram. Malam ini ia hendak ke Balai Adat. Baginya setiap gerung jemari mesin jadah itu mencabik tanah, dengus luka Meratus memintanya tabuhkan genderang perang.
___Selesai__
Bionarasi
Heri Surahman memiliki nama pena Heri Haliling. Priakelahiran Kapuas, 17 Agustus 1990 itu adalah seorang guru diSMAN 2 Jorong di Kalimantan Selatan. Selain mengajar, HeriHaliling juga aktif sebagai penulis. Beberapa karyanya antaralain Novel Perempuan Penjemput Subuh (Aksara PustakaMedia, 2024), Novelet Rumah Remah Remang (J-Maestro,2024), dan buku kumpulan cerpen Perempuan PenggenggamPasir (Guepedia, 2025). Adapun untuk cerita pendek, karya-karyanya telah dimuat di beberapa majalah sastra dan korandigital atau cetak. Untuk berdiskusi dengan Heri Halilingpembaca dapat berkunjung ke akun Ig heri_haliling, emailheri.surahman17@gmail.com atau nomor WA/ E Wallet:083104239389.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini


















