Dengarkan Artikel
Air Tak Menyucikan
Di dinding kamar mandi rumahku,
ada tulisan kecil:
“Jangan lupakan siapa yang memandikanmu.”
Tak kutahu siapa menulisnya.
Mungkin aku,
mungkin Tuhan,
mungkin seseorang yang tak tahan hidup
dan memilih rebah di lantai licin.
Setiap kali kukeramkan keran,
air mengalir seperti ayat tak hafal
yang dipaksa diulang dalam keadaan panik.
Air itu bukan menyucikan—
ia cuma membasahi trauma
tanpa pernah benar-benar meluruhkannya.
Kupandangi tubuhku di cermin kecil,
dan melihat luka
yang tidak berdarah,
tapi mengeluarkan suara.
Malam itu,
aku memandikan tubuhku
dengan sabun yang tak wangi,
dengan doa yang patah di baris ketiga.
Dan tulisan itu—
masih di sana.
Lebih suci dari pengajian,
lebih menusuk dari khutbah Jumat,
karena ia mengingatkanku
bahwa tubuh ini pun suatu hari
akan dibersihkan
oleh tangan orang lain.
Ponorogo, Juni 2025
Kursi Kosong
Ada kursi kayu tua
di beranda belakang rumah—
tak pernah kududuki,
tapi entah kenapa
ia selalu hangat
seperti baru saja ditinggal punggungku sendiri.
Kursi itu menganga
seperti mulut orang tua
yang terlalu lama menyimpan cerita
hingga akhirnya kehilangan suara.
Kakaknya patah satu,
tapi ia tetap berdiri,
menopang angin sore
seolah menunggu seseorang
yang tak pernah jadi pulang.
Aku duduk di sampingnya,
bukan untuk istirahat,
tapi untuk belajar
bagaimana caranya tetap berdiri
tanpa harus punya siapa-siapa.
Ponorogo, Juni 2025
Seperempat Bayang
Pagi ini aku sarapan
di hadapan wajahku sendiri
yang terpantul di sendok aluminium
—mataku cekung,
bibirku pecah,
dan bayangku terlihat
seperti seseorang yang kehabisan peran.
Aku terdiam.
Tak karena lapar,
tapi karena takut
satu-satunya wajah yang tersisa
adalah pantulan dari apa yang kutinggalkan
dalam doa-doa yang dulu kutolak.
📚 Artikel Terkait
Sendok itu kecil,
tapi cukup luas
untuk memantulkan kehancuran
tanpa menyakiti bentuknya.
Dan saat kuangkat sendok itu ke mulutku,
aku tahu:
yang kutelan bukan bubur,
tapi sejarah
yang tak pernah bisa kutumpahkan
ke siapa pun.
Ponorogo, Juni 2025
Jembatan Langit
Aku duduk di bawah jembatan langit,
di mana malam tidak turun sepenuhnya
dan pagi belum tahu caranya terbit.
Jembatan ini bukan dari beton,
tapi dari sisa-sisa niat
yang pernah kucoba susun
menjadi jalan pulang.
Burung-burung berdiam di kabel,
seperti isyarat tak terkirim
yang menggantung
antara aku dan suara Tuhan
yang lupa menekan tombol kirim.
Kadang aku ingin melompat,
bukan untuk mati—
tapi untuk menyentuh sesuatu
yang lebih jujur
daripada hidup.
Dan setiap kali angin lewat,
aku merasa
jembatan ini tak membawa ke mana-mana—
ia cuma tempat singgah
bagi orang-orang
yang terlalu sadar
untuk percaya kembali.
Ponorogo, Juni 2025
Di Antara Detak
Ibuku memberiku nama depan,
ayahku nama belakang.
Tapi nama tengahku—
tak pernah diajarkan.
Ia tumbuh sendiri,
di antara detak jantung
dan keheningan paling pekat
yang bisa disimpan seorang anak laki-laki.
Aku tahu namanya sekarang:
Senyap.
Karena tiap kali aku bicara,
tak ada yang benar-benar mendengar.
Dan tiap kali aku diam,
semua mengira aku sedang baik-baik saja.
Senyap bukan tidak ada,
ia hanya memilih tempat
yang tak bisa dijamah percakapan.
Malam ini,
aku panggil namaku lengkap:
dengan dada yang berat,
dan air mata yang tidak belajar berpamitan.
Aku menyebutnya seperti doa terakhir
yang tidak ditujukan pada siapapun,
tapi pada diriku sendiri
yang ingin selamat.
Ponorogo, Juni 2025
Karya: S. Sigit Prasojo
Email: sprasojo0@gamil.com
Akun Instagram: @maz_prasojo
S. Sigit Prasojo, lahir di Ponorogo. Ia telah meraih banyak kejuaraan kepenulisan tingkat nasional.Ia juga aktif di komunitas Partey Penulis Puisi
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini


















