Dengarkan Artikel
.
Karya : Ilhamdi Sulaiman
Setiap Kali Gaji Mampir ke
tangannya, Syamsudin tak pernah lupa membelikan kebutuhan sehari-hari Halimah.
Sebuah isyarat kasih yang halus, sekaligus wujud tanggung jawabnya sebagai abang
angkat—dan lebih dari itu, sebagai seseorang yang diam-diam mencintai sepenuh hati.
Cinta mereka tumbuh sejak pertemuan pertama di sebuah kegiatan orientasi kampus, di perguruan tinggi yang sama, di kota Padang yang menjadi saksi bisu benih-benih
perasaan itu.
Syamsudin kini telah menuntaskan pendidikan S1 dan bekerja di sebuah perusahaan finansial. Sementara Halimah, mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya, jurusan Sastra Prancis, tengah berjibaku dengan tugas akhir yang akan menandai penghujung masa kuliahnya.
Delapan semester telah mereka arungi bersama—dalam tawa dan air mata, dalam harap dan perjuangan. Hubungan itu mengakar, menguat, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidup mereka.
Kini, keduanya ingin menapak ke jenjang yang lebih dalam: menikah, dan membangun
rumah kehidupan yang mereka impikan bersama sejak lama. Niat Baik terhalang oleh perbedaan adat yang dipegang teguh oleh keluarga masing-masing. Syamsudin berasal dari Pariaman, sedangkan Halimah dari Koto Tuo, Agam.
Dalam adat Pariaman, pihak perempuanlah yang datang menjemput calon suami.
Sebaliknya, adat di Koto Tuo mengharuskan pihak laki-laki yang datang melamar calon
istri.
Perbedaan pandangan ini membuat pertemuan keluarga menjadi buntu. Bukan karena tak ada cinta di antara mereka, melainkan karena adat yang bagi masing-masing keluarga adalah marwah dan harga diri belum menemukan titik temu.
Beberapa minggu setelah rencana pernikahan dibicarakan, kedua keluarga sepakat untuk
duduk bersama dalam sebuah pertemuan resmi di rumah keluarga Halimah di Koto Tuo.
Tujuannya jelas,mencari jalan tengah untuk menyatukan dua insan yang telah saling
mencintai. Namun sejak awal, suasana terasa kaku dan penuh kehati-hatian.
Pak Datuak Mangkuto, paman dari pihak Halimah, membuka pertemuan dengan suara
mantap, “Sebagai orang Agam, kami menjunjung tinggi adat kami, pihak laki-laki datang meminta anak gadis kepada pihak perempuan. Begitulah yang diajarkan dari
ninik-mamak kami sejak turun-temurun.”
Pihak Syamsudin, yang dipimpin oleh pamannya juga,Pak Bagindo Syahrial tak tinggal diam. Ia menyahut sambil menatap lurus ke depan, “Mohon maaf, Datuak, tapi di
Pariaman, kami memegang adat yang berbeda. Justru perempuanlah yang datang
menjemput laki-laki. Kalau kami datang melamar, seolah kami tak menghargai aturan
yang kami warisi dari leluhur kami.”
“Bukan soal siapa yang lebih baik,” sela paman Halimah pelan, namun tegas. “Tapi adat
itu bukan hanya tradisi, ia adalah jati diri kami. Kalau kami langgar begitu saja, apa kata
dunia?”
“Begitu pula dengan kami,” timpal Ayah Syamsudin. “Kalau kami menunggu dilamar, itu bukan karena sombong. Tapi karena begitulah cara kami menjaga marwah laki-laki
dalam adat kami.”
Perdebatan semakin panjang. Masing-masing pihak merasa adat mereka bukan untuk
ditawar. Kata-kata mulai terasa keras, walau tetap dibungkus dengan bahasa adat yang
sopan. Namun tak bisa disembunyikan, hati mereka sama-sama panas.
Di sudut ruangan, Syamsudin dan Halimah hanya bisa saling pandang. Mereka tahu,
cinta mereka benar, tapi kini terganjal oleh dua jalur adat yang tak bertemu di ujung.
Ketika pertemuan berakhir tanpa keputusan, hanya satu yang tersisa: kebisuan panjang
dan pertanyaan di dalam hati masing-masing apakah adat akan selalu menjadi dinding
antara dua cinta?
Karena tak ada kesepakatan dalam pertemuan resmi keluarga, Syamsudin dan Halimah
memutuskan untuk bertemu diam-diam. Tanpa sepengetahuan kedua pihak keluarga,
mereka bertemu di Kedai Uwo Kardi,tempat yang selama ini menjadi saksi bisu
percakapan ringan selepas kuliah, kini berubah menjadi ruang penuh ketegangan.Kedai sederhana itu terletak di belakang bangunan gedung utama kampus, berdampingan dengan area parkir motor mahasiswa. Biasanya, suara gelak tawa dan denting sendok yang beradu dengan gelas menjadi suasana harian di sana. Tapi sore ini, suasananya lain.
📚 Artikel Terkait
Awan menggantung rendah, dan angin membawa dingin yang menusuk, seakan turut
merasakan getir pertemuan mereka.
Syamsudin datang lebih dulu, duduk di pojok yang biasa mereka tempati. Tak lama,
Halimah menyusul, matanya sayu, namun penuh tekad.Setelah berbincang di kantin
kampus, Syamsudin dan Halimah malam itu juga pergi ke LKAM (Lembaga Kerapatan
Adat Minangkabau) untuk meminta pendapat para datuk di lembaga tersebut.
Kebetulan, malam itu Datuk Bandaro Basa masih berada di kantor lembaga. Dengan
ramah, Datuk Bandaro menyambut kedua anak muda yang sedang menghadapi persoalan cinta.
Setelah mengucapkan salam, mereka dipersilahkan duduk. Datuk pun mempersilahkan mereka menceritakan permasalahan yang sedang mereka hadapi.
Syamsudin mulai menjelaskan apa yang tengah mereka alami. Sementara itu, Datuk
Bandaro mendengarkan dengan takzim, mengangguk-angguk pelan menyimak setiap
kata.
Begitu Syamsudin selesai berbicara, Datuk Bandaro menanggapinya dengan penuh
wibawa. Dengan suara berat dan hati-hati, ia berkata:
“Kalian berdua sedang berada dalam benturan dua tradisi yang sama-sama kuat di
Minangkabau: adat saparantu di pesisir (Pariaman) versus adat salingka nagari di darek (Bukittinggi).
Kami di LKAM akan berperan sebagai penengah yang menjaga marwah kedua pihak,
namun tetap memberikan keputusan yang jelas. Semoga kalian memahami posisi kami di
sini.
Hari ini saya menyaksikan satu perkara yang bukan hal baru,Tapi selalu menuntut
kebijakan baru,perselisihan adat antara pesisir dan darek.Pihak Syamsudin, dari
Pariaman, benar…berpegang pada adat di mana perempuan datang membawa uang
jemputan.
Pihak Halimah, dari Bukittinggi, juga benar…Berpegang pada adat Luhak Agam:”Anak
dipangku, kamanakan dibimbiang.Bajanjang naiak, batanggo turun.”
Laki-laki yang datang, perempuan yang dijemput.Saya, mewakili para ninik mamak di
LKAM,Telah mendengar, telah menimbang.
Dan inilah pandangan kami.
Karena perkawinan ini berlangsung lintas luhak,maka kedua adat harus dihormati, tapi
tidak boleh saling memaksa.
Dalam hal ini, karena Halimah berasal dari Bukittinggi,Dan masih berada dalam
kerapatan suku di Luhak Agam,maka pihak Syamsudin, jika hendak mengambil Halimah
sebagai istri,harus mengikuti aturan adat darek: Laki-laki yang datang menjemput.
Namun demikian,Untuk menjaga harga diri pihak Syamsudin dari pesisir,Kami tetapkan
pula bahwa: Uang jemputan tidak perlu dibawa oleh pihak perempuan,Tapi diganti
dengan adat basandi niat baik.Pihak perempuan datang membawa sirih lengkap dan kain batik sebagai lambang persaudaraan.
Ini bukan sebagai penebus,Tapi sebagai penyambung tali.Dengan itu, kedua pihak tidak direndahkan,Yang satu tidak dipaksa tunduk,Yang satu tidak merasa dilangkahi.
“Adat bukan untuk saling mengalahkan,Tapi untuk menyatukan.Kalau tidak bisa
dijemput dengan sirih,Jangan disambut dengan marah.Kalau tidak bisa sejalan,Jangan
pula saling menjatuhkan.”
Datuk Rajo Alam menutup dengan kata-kata,“Kito Minangkabau, nan sabana adat jo
basandi syarak, Bukan sabana menang dalam adu, tapi menang dalam mufakat. Kalau
indak manang urang, manang marwah. Nah, tugas kalian sekarang adalah menemui
kedua orang tua kalian masing-masing, untuk menjelaskan seperti yang telah saya
sampaikan. Tapi ingat, bicaralah dengan lemah lembut, beri pengertian, dan jangan
memaksakan.”
Malam itu, Syamsudin dan Halimah meninggalkan rumah Datuk Bandaro dengan hati penuh kecewa. Jawaban yang mereka terima terasa menggantung, tak memuaskan. Tanpa sepatah kata pun, mereka melaju dengan motor Yamaha Mio yang mulai usang,
membelah jalan yang lengang dan diterangi lampu motornya yang redup.
Syamsudin mengemudi dengan sorot mata tajam menatap ke depan, namun pikirannya
melayang—berputar-putar memikirkan masa depan yang terasa makin suram. Di jok
belakang, Halimah duduk diam, memeluk tas kecilnya erat-erat. Tatapannya kosong
menembus malam, seperti menerawang sesuatu yang jauh dan tak tergapai.
Memasuki gerbang gang rumah orang tua Halimah, beberapa warga masih duduk-duduk
di warung kopi, memandangi mereka. Melihat mereka berdua ada yang berbisik, sebagian
hanya menghela napas panjang. Angin malam menyusup masuk, dan kekecewaan yang
menggantung di udara. Syamsudin tetap diam.
Hal Hanya deru mesin dan detak kecewa
yang berbicara. Akhir dari rencana perkawinan ini masih abu-abu. Setelah pertemuan malam itu, Syamsudin dan Halimah makin sadar bahwa restu bukan hanya soal waktu, tapi juga soal keyakinan.
Keduanya tahu, sekadar memaksa orang tua tanpa pemahaman hanya akan melahirkan luka baru. Namun, di sisi lain, cinta mereka sudah telanjur dalam dan terlalu banyak hal telah dikorbankan.
Beberapa hari berlalu. Syamsudin mencoba bicara pada ayahnya, tapi ditanggapi dingin.
Halimah pun pulang ke rumah, menjumpai ibunya yang hanya terdiam lama sebelum
berkata, “Ibu bukan tak setuju, tapi ibu ingin kamu bahagia sampai tua, bukan hanya saat
muda.”
Keduanya kembali bertemu di tempat mereka biasa bertukar cerita. Tidak ada senyum,
hanya mata yang saling memandang penuh tanya, sunyi menggantung,hanya desir angin
dan detak jantung yang terdengar di dalam dada masing-masing. Syamsudin menoleh
perlahan ke arah Halimah. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya menyimpan gemuruh.
“Hal… mungkin ini bukan jalan yang Allah ridai untuk kita,” ucapnya lirih. “Mungkin
cinta kita bukan untuk disatukan sebagai suami istri, tapi untuk diuji… agar kita belajar
melepaskan.”
Halimah menunduk. Tangannya menggenggam ujung kerudung, gemetar. “Aku sudah sering berdoa, Syam… meminta agar jika kau memang jodohku, Allah mudahkan. Tapi jika bukan, aku minta agar hatiku dikuatkan.”
Syamsudin mengangguk pelan. “Dan sekarang… aku merasa jawaban itu sudah datang.”
Mereka terdiam lama. Langit malam di atas mereka luas tak bertepi, seakan menyaksikan
dua jiwa yang memilih takdir daripada keinginan. Bukan karena cinta mereka kurang
besar, tetapi karena iman mereka lebih memilih untuk tunduk pada kehendak-Nya.
“Mulai malam ini,” kata Syamsudin, suaranya mantap, “anggaplah aku kakakmu. Kakak
yang akan tetap menjagamu dalam doa, meski bukan dalam pelukan halal.”
Halimah mengusap air matanya yang jatuh perlahan. “Dan aku akan jadi adik yang
selalu mendoakanmu mendapat jodoh terbaik. Yang kelak, kita semua akan pahami
maksud dari semua ini… di akhirat nanti.”
Mereka kembali melaju di jalan sunyi, berdua dalam satu kendaraan, namun hati mereka
sudah menuju jalan yang berbeda. Dingin malam menyelimuti, tapi hati mereka hangat
oleh keikhlasan. Sebab mereka tahu, cinta yang diridhai tak selalu harus dimiliki. Kadang, cukup dengan merelakan.
5 Mei 2025
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini















