Dengarkan Artikel
Refleksi atas Kebutuhan Regulasi Emosi dan Komunikasi dalam Parenting Masa Kini
Oleh: Hanif Arsyad
Dalam era modern yang ditandai oleh perubahan sosial, teknologi, dan nilai-nilai keluarga yang dinamis, pola asuh anak mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Salah satu fenomena yang cukup memprihatinkan adalah munculnya pola pengasuhan di mana orang tua tampak “takut” terhadap anaknya sendiri. Takut anak marah, takut anak mogok sekolah, bahkan takut anak pergi dari rumah menjadi dasar utama mengapa sebagian orang tua merasa terpaksa memenuhi seluruh permintaan anak, tanpa menyaring mana yang baik dan layak, serta mana yang justru kontraproduktif terhadap tumbuh kembang mereka.
Fenomena ini tampaknya bukan semata-mata lahir dari kelemahan struktur keluarga, melainkan lebih dalam: dari ketidakmampuan orang tua dalam mengelola emosi dan membangun komunikasi yang sehat dengan anak. Dua keterampilan ini—regulasi emosi dan komunikasi—merupakan pilar utama dalam parenting yang adaptif dan efektif. Tanpa keduanya, orang tua akan cenderung reaktif, permisif, atau bahkan kehilangan otoritasnya dalam mendidik anak.
Fenomena Ketakutan Orang Tua terhadap Anak
Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak orang tua masa kini menghadapi tekanan besar dalam pengasuhan, baik dari aspek sosial, ekonomi, maupun psikologis. Di tengah tuntutan untuk menjadi “orang tua yang baik” versi media sosial atau komunitas, banyak yang justru terjebak dalam pola asuh permisif yang berlebihan. Anak yang tidak mau makan disogok dengan jajanan; anak yang menangis diberikan mainan mahal; dan ketika anak ngambek, orang tua buru-buru menyerah agar “situasi kembali tenang.” Dalam jangka panjang, pola ini membentuk persepsi dalam diri anak bahwa setiap keinginannya akan dipenuhi jika ia cukup keras memintanya—dengan menangis, mengancam, atau memanipulasi emosi orang tua.
Regulasi Emosi: Kunci Pengasuhan yang Tangguh
Regulasi emosi adalah kemampuan individu untuk menyadari, mengontrol, dan menyesuaikan respons emosionalnya dalam situasi tertentu. Dalam konteks parenting, keterampilan ini menjadi landasan utama dalam menghadapi berbagai dinamika perilaku anak yang menantang. Orang tua yang tidak mampu mengatur emosinya akan cenderung bersikap impulsif: marah berlebihan, menyalahkan, bahkan menggunakan kekerasan verbal atau fisik.
📚 Artikel Terkait
Sementara itu, regulasi emosi yang baik memungkinkan orang tua untuk mengambil jeda emosional, memaknai perilaku anak secara lebih bijak, dan merespons dengan cara yang mendidik. Penelitian psikologi perkembangan menunjukkan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan pengasuhan yang stabil secara emosional cenderung lebih sehat secara mental dan memiliki kecerdasan emosional yang tinggi (Gross & Thompson, 2007). Mereka belajar dari orang tuanya bahwa emosi tidak harus meledak, dan bahwa konflik bisa diselesaikan tanpa kemarahan.
Komunikasi Positif: Jembatan Relasi Orang Tua dan Anak
Komunikasi dalam keluarga bukan sekadar pertukaran kata-kata, tetapi merupakan jembatan utama yang menghubungkan emosi, nilai, dan pemahaman. Komunikasi yang sehat ditandai oleh kejelasan, empati, dan kehadiran emosional. Sayangnya, banyak orang tua justru gagal membangun koneksi ini, baik karena kesibukan maupun karena tidak dibekali pengetahuan yang cukup tentang komunikasi efektif.
Dalam praktiknya, komunikasi yang buruk bisa membuat anak merasa tidak dimengerti, diabaikan, atau bahkan dimusuhi. Sebaliknya, orang tua yang terbiasa mendengarkan anak secara aktif, menyampaikan pesan tanpa menghakimi, dan menunjukkan empati dalam percakapan, akan menciptakan suasana rumah yang nyaman secara emosional.
Anak akan lebih terbuka, lebih patuh secara sukarela, dan merasa dihargai sebagai individu. Lebih dari itu, komunikasi yang sehat membantu membangun kelekatan emosional (emotional bonding) yang menjadi fondasi kuat dalam menghadapi fase remaja dan dewasa anak.
Menjawab Tantangan: Implikasi dan Rekomendasi
Keterampilan regulasi emosi dan komunikasi tidak tumbuh begitu saja. Diperlukan proses internalisasi nilai, pelatihan, serta bimbingan berkelanjutan. Oleh karena itu, pelibatan pihak-pihak eksternal seperti sekolah, lembaga masyarakat, dan pemerintah menjadi krusial dalam menyediakan program penguatan parenting. Kelas parenting, pelatihan komunikasi keluarga, dan konseling psikologis adalah bentuk-bentuk intervensi yang layak dikembangkan secara sistemik.
Di sisi lain, pendidikan pranikah juga perlu memasukkan materi pengasuhan berbasis kecerdasan emosional, agar pasangan muda tidak hanya siap secara finansial, tetapi juga matang dalam aspek psikologis dan sosial. Orang tua bukan hanya “penyedia kebutuhan” anak, tetapi juga pendamping utama dalam proses tumbuh kembang mereka secara menyeluruh.
Dari uraian di atas bisa kita simpulkan bahwa fenomena orang tua yang “takut” kepada anak mencerminkan lemahnya penguasaan atas dua keterampilan fundamental dalam pengasuhan: regulasi emosi dan komunikasi. Bila tidak disadari dan dibenahi, pola ini akan melahirkan generasi yang lemah dalam empati, tidak terbiasa menghadapi batasan, dan mudah menggunakan tekanan emosional untuk mendapatkan keinginannya. Oleh karena itu, membangun kesadaran kolektif dan sistem dukungan yang memperkuat keterampilan orang tua menjadi langkah penting dalam mewujudkan generasi masa depan yang sehat secara emosional dan kuat secara sosial.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini


















