Oleh Gunawan Trihantoro
Sekretaris Komunitas Puisi Esai Jawa Tengah
Langit kelabu menggantung seperti kain kafan. Angin menerpa jendela, membawa gemuruh yang terdengar seperti tawa setan.
Aku menatap kalender di dinding, tanggal merah Idulfitri menjulur seperti lidah api. Jam dinding berdetak bak peluru yang siap menghujam jantung.
Anak-anakku tertawa di ruang tamu, suara mereka merambat di udara lembab. Aku mengepalkan tangan, kuku menghunjam telapak hingga nyaris berdarah.
โBaju baruโฆ uang siapโฆโ gumamku pada cermin retak di kamar. Bayanganku terbelah dua, satu menjerit, satu lagi menangis.
Istriku menyentuh bahuku. Tangannya hangat, tapi aku menggigil. โKita bisa bikin ketupat dari beras sisa,โ bisiknya. Aku membanting sendok kayu, pecahan suaranya seperti letusan granat.
Di gudang, koper tua berdebu menatapku. Tikus menggerogoti tali pengikatnya, mudik hanyalah dongeng sebelum tidur. Makam Bapak pasti sudah ditumbuhi ilalang, kuburanku sendiri yang tak terjamah.
Malam itu, hujan mengguyur atap seng. Aku berlutut di bawah pohon pecan, akarnya menjalar seperti tangan hantu. โTuhan, ambil saja nyawaku sebelum pagi tiba,โ rintihku. Daun pecan berbisik, โkau lebih kuat dari badaiโ.
Pukul tiga dini hari, lampu kamar anak-anak masih menyala. Kulihat Silvi, si bungsu, melipat kertas menjadi burung-burung kecil. โIni untuk simbah, Yah,โ katanya. Kertas-kertas itu berdesir seperti sayap malaikat yang patah.
Aku membuka laci besi berkarat, paspor, surat nikah, sepucuk surat dari Ibu yang belum terbuka. Tulisannya samar, โJangan pulang, nak. Ibu di sini sudah damaiโ. Air mataku menetes di atas kata damai, mengaburkannya jadi noda abu-abu.
Di pasar subuh, aku berdiri di depan lapak bunga kamboja. Wanginya mengingatkanku pada dupa di makam Bapak. Pedagang menawarkan setangkai mawar plastik. โIni tahan lama,โ katanya. Kupeluk erat, durinya menusuk tulang selangka.
Istriku menjahit taplak meja berlubang dengan benang biru. Jahitannya berkelok seperti sungai yang mencari laut. โLihat, kita punya lautan sendiri,โ katanya. Aku menelan getir, lautan kami berisi air mata dan asap kompor.
Anak-anak berkumpul di teras, menyanyikan lagu tentang bulan sabit. Suara mereka menyatu dengan deru angin. Tiba-tiba, hujan berhenti. Seekor kupu-kupu kuning hinggap di rambut Silvi, sayapnya mengibarkan cahaya.
Aku merobek kemeja lamaku, mengguntingnya menjadi saputangan kecil. Tangan ini gemetar, tapi jarum menari sendiri. Lima saputangan, satu untuk setiap anak. Di sudutnya, kusulam inisial mereka dengan benang merah.
โIni baju baru kita,โ kataku saat sarapan. Mereka tertawa, melilitkan kain di leher seperti syal. Rina, si sulung, berbisik, โYah, kita nggak butuh mall.โ Nasi di piringku mengembang menjadi gunung yang tak bisa kudaki.
Telepon berdering. Suara Ibu pecah oleh sambungan yang buruk. โJanganโฆ pulangโฆโ desisnya. Di belakangnya, kudengar adzan Subuh, suaranya seperti berasal dari dalam sumur.
Aku memetik daun pecan, meremasnya hingga hancur. Getahnya menggumpal di telapak tangan, lengket seperti darah yang mengering. Istriku mendekapku dari belakang. Nafasnya di leherku: โKita sudah menang.โ
Malam terakhir sebelum Idulfitri, anak-anak tidur berpelukan di kasur tipis. Kukelilingi mereka dengan kelambu bekas, kainnya bolong-bolong seperti rasi bintang. Aku berjaga, menghitung detak jam dinding yang kini terdengar seperti detak jantung.
Saat fajar, langit masih abu-abu. Tapi di ujung timur, ada semburat jingga. Aku menyiapkan lima amplop cokelat, di dalamnya, kertas burung Silvi dan selembar daun pecan. Uang saku yang tak terlihat.
โMaafkan Bapak,โ kataku saat sungkem. Mereka tertawa, mencium tanganku yang masih berbau getah. โKita ziarah virtual, Yah,โ kata Rina, membuka peta digital makam Bapak. Layar hp berkedip, nama Bapak muncul di antara pixel-pixel hijau.
Pohon pecan bergoyang. Daunnya berjatuhan seperti konfeti. Aku tak tahu apakah ini kemenangan atau gencatan senjata. Tapi hari ini, kami makan ketupat dengan sambal buatan istri, pedasnya membakar lidah, tapi kami tersenyum.
Badai telah berlalu. Atau mungkin hanya berpindah ke dalam dada kami. Tapi selama pohon pecan masih berakar, angin takkan mampu mencabut kami dari tanah ini.
Rumah Kayu Cepu, 25 Maret 2025