Oleh Muhamad Ihwan
Gelombang Guncangan di Tengah Malam
Tanggal 28 Maret 2005, pukul 23.00, bumi Sumatera Utara berguncang dahsyat. Gempa berkekuatan 8,9 skala Richter meluluhlantakkan Kepulauan Nias dan sekitarnya. Hanya berselang empat bulan setelah tsunami Aceh yang mengguncang dunia, kini Sumatera kembali diterjang bencana. Namun, berbeda dengan Aceh yang ditetapkan sebagai bencana nasional, gempa Nias berstatus bencana lokal, karena dampaknya yang terpusat di wilayah tersebut.
Gempa tersebut menyebabkan 1.300 orang meninggal dunia, menyebabkan hancurnya pertokoan, perkatoran, masjid, gereja, jalan dan jembatan.
Sebagai seorang yang bekerja sebagai Humas di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), tugas saya bukan hanya mendokumentasikan peristiwa sejarah, tetapi juga memastikan jejak dokumentasi tetap terjaga. Perintah datang langsung dari Kepala ANRI saat itu, Djoko Utomo, segera ke Nias dan laporkan kondisi kearsipan pasca-bencana.
Perjalanan Penuh Tantangan
Saya berangkat ke Medan seorang diri, dengan peralatan liputan seadanya: kamera digital Nikon dan kamera video digital yang baru saja dibeli. “One man show,” begitu istilah kami untuk perjalanan sendiri, karena anggaran yang terbatas. Dari Medan, saya bergabung dengan relawan dan wartawan yang juga akan menuju Nias. Mereka membawa bantuan, tenaga medis, hingga terapi pemulihan trauma bagi anak-anak.
Bandara Polonia Medan menjadi pusat komando bantuan. Di sana, saya mendokumentasikan pengiriman logistik sambil mencari cara agar bisa sampai ke Nias. Namun, selama dua hari penuh, seluruh penerbangan baik pesawat, maupun helicopter hanya diperuntukkan bagi tenaga medis, evakuasi korban, dan distribusi bahan makanan.
Laporan saya ke Jakarta hanya mendapat satu balasan singkat: “Kami tidak mau tahu, yang penting ada kabar dari Nias.” Jawaban itu membuat saya berpikir keras mencari jalur alternatif. Akhirnya, saya menemukan solusi: jalur darat menuju Pelabuhan Sibolga, lalu menyeberang ke Nias dengan kapal. Bersama tim dari Kementerian Kesehatan dan kementerian lainnya, saya berangkat menggunakan mobil travel ke Sibolga. Perjalanan panjang ini menjadi pengalaman pertama saya melintasi jalur darat Sumatera Utara, melewati Danau Toba yang megah, dan medan yang berat.
Sebuah ban pecah sempat menghambat perjalanan kami, namun akhirnya menjelang maghrib, kami tiba di Sibolga. Di pelabuhan, ada dua pilihan kapal: kapal ferry milik ASDP yang penuh dengan muatan bantuan dan pasukan, atau kapal kayu yang lebih kecil tetapi berangkat lebih cepat. Saya memilih kapal kayu. Di antara ratusan penumpang yang berdesakan, saya duduk di ruang kemudi bersama nakhodaโseorang pelaut tradisional yang membaca tanda-tanda alam tanpa instrumen canggih. “Aman,” katanya singkat saat saya bertanya soal cuaca.
Malam itu, kami berlayar menuju Nias dalam kegelapan Samudera Hindia, dengan doa dan harapan.
Nias dalam Puing-Puing
Fajar menyingsing ketika kapal merapat di Pelabuhan Gunungsitoli. Suasana masih kacau. Orang-orang berjubel, entah mencari keluarganya atau berusaha pergi dari pulau yang baru saja dilanda bencana.
Saya menyewa ojek ke posko pusat kendali bencana di Kantor Bupati. Di sepanjang perjalanan, kehancuran kota begitu nyata: bangunan masjid, gereja, sekolah, kantor pemerintahan, dan rumah-rumah warga ambruk. Warga tampak linglung, berduka atas kehilangan harta, keluarga, dan mata pencaharian.
Saya berkeliling mendokumentasikan kondisi arsip di kantor-kantor pemerintahan. Berbeda dengan Aceh, di mana tsunami menyapu dan merendam dokumen dalam lumpur, di Nias arsip berserakan di antara reruntuhan bangunan. Kantor pemerintahan yang roboh membuat banyak dokumen tercerai-berai. Saya segera melaporkan kondisi ini ke pimpinan di Jakarta dan mengusulkan agar dinas terkait di Sumatera Utara segera mengambil langkah penyelamatan arsip.
Tiga hari di Nias, saya menelusuri daerah terdampak, dari Gunungsitoli hingga Teluk Dalam. Di pesisir, saya menyaksikan fenomena luar biasa: garis pantai yang turun beberapa sentimeter akibat pergeseran tektonik. Saya tinggal bersama relawan, tidur di tenda, berbagi cerita dengan warga yang selamat, dan mengabadikan momen-momen penting dalam kamera.
Kepulangan yang Tak Terlupakan
Saat tugas di Nias selesai, saya mencari transportasi pulang. Kebetulan, di Lapangan Bola Gunungsitoli pusat distribusi bantuan militer Singapura, saya menemukan helikopter Chinook yang akan kembali ke Medan. Relawan dan wartawan diperbolehkan menumpang. Saya pun naik ke helikopter raksasa itu, mengakhiri perjalanan yang luar biasa ini dengan cara yang tak terduga.
Dari Jakarta naik pesawat, ke Sibolga naik mobil, ke Nias naik kapal kayu, keliling Nias dengan ojek, dan akhirnya pulang ke Medan dengan helikopter. Sebuah perjalanan penuh pelajaran, yang semakin menguatkan keyakinan saya bahwa profesionalisme bukan hanya soal pelatihan atau pendidikan formal, tetapi juga pengalaman nyata di lapangan.
Dua Dekade Pasca-Gempa
Dua puluh tahun telah berlalu sejak gempa Nias mengguncang. Arsip-arsip tentang rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh-Nias kini tersimpan rapi di Balai Arsip Statis dan Tsunami ANRI Aceh, lembaga yang kini saya pimpin. Kisah ini bukan hanya tentang perjalanan jurnalistik, tetapi juga refleksi tentang bagaimana arsip menjadi saksi bisu sejarah, menyimpan memori kolektif bangsa.
Hari ini ketika saya menulis cerita ini dan untuk kepentingan pameran foto, kami menanyakan dokumentasi tentang peristiwa gempa bumi Nias di Lembaga-lembaga kearsipan di Nias, maupun di Sumatera Utara, ternyata mereka tidak meyimpannya. Kondisi ini sangat meprihatinkan bagi kita bagaimana Sejarah bangsa bisa menjadi utuh, kalau banyak Sejarah yang menjadi penggalan cerita kita sebagai sebuah bangsa yang pernah mengalami sebuah bencana tidak terkelolah dengan baik.ย Jangankan mengelolahnya, menyimpan dan memilikinyapun tidak.ย
Dari Nias, kita belajar bahwa bencana tak hanya meruntuhkan bangunan, tetapi juga mengguncang ingatan. Dan tugas kita, sebagai penjaga sejarah, adalah memastikan bahwa ingatan itu tidak hilang, agar generasi mendatang bisa belajar dari masa lalu.