Oleh Tabrani Yunis
Ketika sedang melayani pembeli di POTRET Gallery, pagi ini Senin 24 Maret 2025, bertepatan dengan pelaksanaan ibadah puasa yang masuk hari ke 24, tiba-tiba ingatan menerawang ke sebuah bangunan yang terletak di puncak gunung, di tikungan jalan antara Tapaktuan dan Terbangan, di Aceh Selatan. Gunung itu dikenal dengan Gunung Pinto Angen yang berada persis di antara desa atau gampong Lhok Reukam dan desa atau gampong Panjupian. Kalau dari ibu kota Aceh Selatan, Tapaktuan, jaraknya ditempuh beberapa menit saja, karena hanya berjarak sekitar 8 kilometer.
Nah, ketika ingatan itu menerawang ke tempat itu, saat dalam kesibukan, maka ingatan itu adalah sebuah momen penting, khususnya bagi orang seperti saya yang selalu membutuhkan ide untuk menulis. Karena ide adalah bahan dasar atau modal utama untuk menulis. Sebab, kalau tidak ada ide atau gagasan, atau isu yang akan ditulis, tidak akan pernah terwujud sebuah tulisan. Oleh sebab itu, seorang penulis akan sangat peka dengan momentum datangnya ide. Maka, ketika ide itu datang, seorang penulis tidak membiarkan ide itu hilang. Ide itu harus ditangkap, walau belum ada waktu dan kesempatan untuk meramunya menjadi sebuah tulisan. Lalu, apa yang biasa dilakukan oleh seorang penulis? Cara yang paling mudah adalah tangkap ide itu dan tuliskan. Walau hanya satu atau dua kata, seperti Jambo Hatta.
Kata Jambo Hatta adalah ide yang sudah lumayan lama bersemi dalam ingatan dan catatan di note HP. Sayangnya ide itu, ketika pada saat pulang dari perjalanan muhibah di Pasaman, bulan Juli 2024, kami sempat singgah dan memarkir mobil di bawah pohon mangga, yang tumbuh besar di tikungan, tempat bangunan Jambo Hatta itu berdiri.
Kami bergerak naik ke bangunan berlantai dua lewat tangga di bagian depan jambo atau rumah. Subhanallah, rasa takjub kala menikmati keindahan pemandangan alam yang terbentang. Dari bangunan tua itu, pemandangan indah bisa dinikmati dan menyejukan. Keindahan pantai dengan pasir putih di pantai Lhok Reukam hingga ke Terbangan, menawarkan kedamaian dan daya tarik bagi setiap orang yang datang berkunjung atau singgah di tempat itu. Keindahan itu, bukan saja memanjakan mata yang mungkin lelah karena perjalanan jauh, tetapi juga menjadi tempat yang sangat menarik bagi orang yang suka swafoto atau selfie.
Keindahan itu, bukan saja terlihat pada pantai Lhok Reukam hingga Terbangan, tetapi ketika kita menolehkan pandangan ke arah ibu kota Aceh Selatan, Tapaktuan yang dikenal dengan bir pala dan beragam kuliner terbuat dari pala itu. Rasa takjub juga terasa ketika melihat kendaraan yang melintasi jalan berkelok-kelok begitu memikat dilihat dari Jambo Hatta itu. Sungguh ini adalah tempat yang sangat menarik bagi orang penikmat wisata.
Rasa lega di hati, ketika berada di rumah itu. Namun kelegaan hati terasa seperti digores oleh pemandangan yang menimbulkan rasa prihatin. Keprihatinan terhadap nasib bangunan yang dikenal dengan Jambo Hatta tersebut. Mengapa demikian?
Jawabnya adalah bahwa kawasan atau tempat berdirinya bangunan yang terbuat dari kayu yang tergolong bagus itu, dengan lantai keramik, adalah kawasan yang potensial bagi pengembangan wisata di kabupaten yang berada di pantai barat Aceh. Tempat ini adalah bangunan yang memiliki latarbelakang sejarah ( historical background) hingga disebut Jambo Hatta. Sayangnya, pemerintah Aceh Selatan, khususnya bidang pariwisata, seolah memperlihatkan perilaku tidak menghargai sejarah. Mengapa pula dikatakan begitu?
Fakta lokasi dan kondisi bangunan membuktikan bangunan “ Jambo Hatta” dibiarkan hancur atau rusak. Apa yang kami saksikan bahwa bangunan itu terkesan ditelantarkan. Ya, tidak dirawat. Beberapa bagian bangunan jambo Hatta itu, sudah rusak, termasuk toilet. Taman yang ada di depan pun menjadi bukti bahwa bangunan yang bersejarah itu, seakan diabaikan saja.
Padahal seperti disebutkan di atas bahwa bangunan ini adalah lokasi potensial bagi daerah ini. Menjadi tempat produktif, bernilai ekonomis, menghasilkan cuan, bila dikelola dengan baik. Apalagi nilai sejarahnya adalah nilai yang sangat mulia, nilai apresiasi terhadap tokoh proklamator Indonesia, Muhammad Hatta. Jadi, sesungguhnya memiliki nilai strategis untuk dirawat dan dilestarikan.
Ya, sebagaimana kita ketahui bahwa Jambo Hatta yang berbentuk sebuah gubuk panggung dengan arsitektur khas Aceh yang terletak di puncak Gunung Pintoe Angen, antara Gampong Lhok Rukam dan Gampong Panjupian, sekitar 8 kilometer dari pusat kota Tapaktuan, Aceh Selatan itu, katanya menjadi saksi sejarah kunjungan Wakil Presiden pertama Indonesia, Mohammad Hatta, saat melakukan perjalanan keliling Aceh pada tahun 1953.
Menurut cerita di tahun 1953 tersebut, pada kunjungannya, Bung Hatta singgah di lokasi ini untuk beristirahat dan menikmati panorama alam Aceh Selatan yang memukau. Maka, sudah menjadi tradisi di masyarakat kita dalam mengenang peristiwa bersejarah, perlu ada bukti sejarah. Tentu saja untuk mengenang peristiwa tersebut, didirikanlah sebuah gubuk yang kemudian dikenal sebagai “Jambo Hatta”. Bukti lain dari sejarah itu, di bawah gubuk ini terdapat prasasti yang menegaskan kunjungan tersebut dengan tulisan:
“DI TEMPAT INI, PROKLAMATOR/WAKIL PRESIDEN RI, DRS MOHAMMAD HATTA, BERISTIRAHAT DALAM PERJALANAN KELILING ACEH DI TAHUN 1953, UNTUK MEMPERERAT PERSATUAN DAN KESATUAN BANGSA.”
Konon puka pada tahun 1996, bangunan asli yang sederhana itu pernah dipugar oleh LNG Arun menjadi bentuk yang lebih permanen dan representatif seperti yang terlihat saat ini. Namun, sekali lagi, yang kita sayangkan kawasan dan bangunan sederhana yang bernilai sejarah itu, memberikan kesan yang memprihatinkan, karena tempat yang bernilai sejarah, destinasi wisata dan juga bisa untuk fasilitas edukasi itu, tampak sia-sia. Selayaknya pemerintah Aceh Selatan mau mengelola kawasan itu menjadi lebih baik dan bermanfaat serta dirawat sebagai bukti kita adalah bangsa yang tidak mudsh melupakan sejarah.