Tulisan tahun 2022, di halaman TISI Rubrik Inspirasi Berwacana
Oleh Erndra Achaer
Puisi-puisi bertebaran di mana-mana. Di semua media publikasi, media sosial, komunitas-komunitas sastra FB. Perkembangan teknologi memudahkan semua orang bisa menampilkan karya tanpa kurasi. Mungkin berlaku seleksi alam. Yang tak mampu bertahan menyuguhkan sesuatu yang beda, ditambah ketidakkonsistenan berkarya akan tenggelam. Semua bisa mengunggah, dan semua bisa membaca. Baik yang mengerti puisi atau pun tidak.
Dan hari ini euforia berbagi puisi memperingati Hari Puisi Sedunia terbaca. Siapa saja bisa. Berserak di semua tempat. Berhamburan di beranda sosmed. Menghias linimasa. Dengan bermacam warna, bermacam cerita, bermacam tema, bermacam gaya. Ada yang mengeluh, ada yang tertawa, ada yang berteriak, memeluk, merintih, memekik, menggelitik. Dari yang samar tak jelas sampai yang lugas, tegas. Dari yang terkesan abal-abal sampai yang terlihat hapal. Hapal teori, hapal diksi, terbungkus fiksi klise. Atau yang merdeka mengusung kebebasan. Kebebasan yang cenderung kebablasan. Dengan pikiran tak untuk dinilai. Namun terbiasa merasa bernilai.
Terlepas ada tujuan terarah, atau hanya karya payah. Tak jarang sekadar rasa tercurah. Melepas gundah. Semua membawa arti. Arti untuk diri yang pasti. Jika bicara arti untuk sesama, apalagi dunia, kita digoda tanya. Puisi macam apa yang sudah kita bagikan? Puisi bermakna seharusnya. Mengulik sisi kemanusiaan, menyeru ketimpangan sosial, mengeritik politik, dan semua yang serupa itu. Lalu, sudahkah puisi yang mungkin idealis, realis itu membawa perubahan? Atau yang lebih sederhana, dibaca, didengar, dipahami, menuai reaksi komponen-komponen kehidupan. Adakah efek pada kehidupan, lingkungan sekitar, perbaikan kondisi alam, perubahan situasi dunia menjadi lebih baik? Mampukah puisi menjadi pioner perubahan itu?
Bila tidak, artinya makna yang terkandung dalam puisi itu sirna. Menguap begitu saja dihembus angin sore yang garing. Di kegairahan musim semi puisi.
Pernahkah terpikir puisi-puisi kita ke mana? Atau sebab sudah terlepas, lantas membiarkan dia menemu nasibnya sendiri. Hidup atau mati, tak peduli. Hilang atau bertahan. Lupakan saja.
Kembali pada tanya, apa arti puisi. Ada atau tidak, apakah dunia peduli?
“Selamat Hari Puisi Sedunia 21 Maret 2022”
Salam kreatif, salam inspirasi.
GAMANG
Meradang
Puisi meriang
Dalam diksi mabuk kepayang
Aku pulang
Sambil memunguti kleang
Yang terserak menghalang
Benakku bertanya
Pada batin yang terpana
Masih terus bersia-sia?
Tangerang, 21 Maret 2022.R
Kleang: daun menguning yang terjatuh, daun kering
CC:
Pengasuh rubrik Inspirasi Berwacana