Oleh Gunawan Trihantoro
Sekretaris Komunitas Puisi Esai Jawa Tengah
Di balik pintu kayu yang mulai lapuk,
seorang lelaki berdiri tegak,
dengan tangan kasar yang tak lelah menyapu,
menjaga rumah Allah tetap bersih dan teduh.
Ia bukan imam, bukan pula ustaz,
namun sujudnya selalu lebih awal,
dan langkahnya lebih panjang dari siapa pun,
karena ia menjaga tempat suci ini, tanpa pamrih.
Setiap pagi ia mengangkat sajadah,
merapikan saf dengan penuh takzim,
melipat mukena yang tertinggal,
menyapu debu yang berani singgah.
Siang hari, ia duduk di serambi,
mengawasi anak-anak yang belajar mengaji,
membantu mereka mengeja Alif Ba Ta,
dengan suara lembut, penuh kesabaran.
Menjelang magrib, ia menyiapkan air,
memastikan keran wudhu tak kering,
agar jamaah bisa menyucikan diri,
sebelum melangkah ke sajadah suci.
Namun tak banyak yang mengenalnya,
tak banyak yang menyapa namanya,
hanya sekadar melihat senyumnya,
yang selalu hadir di balik pintu masjid.
Senyum itu bukan karena cukup,
tapi karena ikhlas yang membuncah,
karena ia tahu, menjaga rumah Allah,
adalah bagian dari ibadahnya.
Dan di setiap sujud terakhirnya,
ia berbisik lirih dalam doa,
memohon agar hatinya tetap bersih,
seperti lantai masjid yang ia jaga setiap hari.
Rumah Kayu Cepu, 5 Maret 2025.