Oleh Gunawan Trihantoro
Sekretaris Komunitas Puisi Esai Jawa Tengah
Pada periode 1880-1962, Risadju menjadi anggota Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII) cabang Parepare. Selama itu juga ia dengan giat menyebarkan propaganda tentang Islam. [1]
Di tanah yang dilukis oleh gelombang,
berdiri seorang perempuan dengan tekad membaja.
Bukan sekadar ibu, bukan sekadar istri,
melainkan nyala yang tak padam diterpa angin penjajahan.
Darah Bugis mengalir di nadinya,
seperti laut yang tak mengenal takut.
Dari kecil, ia diajarkan menolak tunduk,
sebab kehormatan adalah napas bagi yang merdeka.
“Jangan kau kira aku rapuh,
Jangan kau sangka aku gentar!
Aku adalah ombak yang tak pernah letih menghantam,
Aku adalah api yang membakar rantai penjajahan!”
-000-
Matahari menyapu pesisir tanah Sulawesi,
menyoroti wajah yang tak pernah gentar.
Opu Daeng Risadju, perempuan Bugis,
bukan sekadar nama, tapi keberanian yang menjelma tubuh.
Di saat lelaki ragu menantang kolonial,
Ia mengangkat suara, lantang dan tajam.
Di lorong-lorong kota hingga pelosok desa,
namanya dibisikkan, menjadi semangat yang menjalar.
“Bangkitlah, wahai anak-anak Celebes,
Laut kita luas, tanah kita subur,
Jangan biarkan mereka merampasnya!
Jangan biarkan kita menjadi budak di tanah sendiri!”
-000-
Perlawanan punya harga,
dan penjajah tak suka kata merdeka.
Opu Daeng Risadju ditangkap,
karena suaranya lebih tajam dari tombak, lebih kuat dari mesiu.
Di pengadilan, ia berdiri tegak,
tangan boleh terbelenggu, tapi hati tetap bebas.
Mereka menawarkannya tunduk,
namun jawabnya adalah tawa yang mencemooh.
“Bisa kau rantai tubuhku,
Bisa kau siksa ragaku,
Tapi kau takkan membungkam jiwaku,
Sebab aku adalah perlawanan itu sendiri!”
-000-
Ia menua dalam pengasingan,
tulangnya mungkin rapuh, tapi semangatnya tetap menyala.
Ia tahu, kemenangan bukan soal esok atau lusa,
tapi soal tak pernah menyerah pada penjajah.
Saat kemerdekaan akhirnya tiba,
namanya mungkin tak sebesar para pria,
tapi tanpa nyalinya, tanpa suaranya,
sejarah takkan mencatat kisah yang sama.
Kini, di angin yang berhembus dari laut Celebes,
masih terdengar bisikan perjuangannya.
Di tiap ombak yang menghempas pantai,
masih ada nyalanya yang tak pernah padam.
“Jangan biarkan negeri ini kehilangan nyalinya,
Jangan biarkan perjuangan ini menjadi sia-sia!
Selama ada yang melawan ketidakadilan,
Aku, Opu Daeng Risadju, tetap hidup!”
Rumah Kayu Cepu, 24 Februari 2025
CATATAN:
[1] Puisi esai ini disinspirasi dari kisah Opu Daeng Risadju. Meski sudah usia nenek, Opu Daeng Risadju dari Tanah Luwu berani menanggung siksaan NICA demi mengamalkan ‘amar ma’ruf nahi munkar’. https://tirto.id/opu-daeng-risadju-menentang-kolonialisme-di-usia-senja-cH4P