Oleh: Azharsyah Ibrahim
Di era digital yang serba cepat ini, inovasi teknologi telah membawa perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam sistem keuangan. Salah satu inovasi yang paling mencolok adalah kehadiran cryptocurrency, seperti Bitcoin. Mata uang digital ini menawarkan berbagai kemudahan dalam transaksi dan investasi. Namun, muncul pertanyaan besar: apakah Bitcoin dapat digunakan sebagai alat pembayaran zakat? Sebagai salah satu rukun Islam, zakat memiliki aturan yang ketat, baik dari sisi syariat maupun praktiknya. Oleh karena itu, penting untuk menimbang manfaat dan risikonya sebelum memutuskan untuk menggunakan Bitcoin sebagai alat pembayaran zakat.
Zakat adalah kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap Muslim yang mampu. Dalam Islam, zakat tidak hanya sekadar memberikan sebagian harta kepada yang membutuhkan, tetapi juga merupakan bentuk penyucian harta yang dimiliki. Karena itu, zakat harus berasal dari harta yang halal, jelas, dan tidak mengandung unsur gharar (ketidakpastian) maupun dharar (kerugian).
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 13 Tahun 2011 menegaskan bahwa zakat hanya dapat diberikan dari harta yang halal dan tidak mengandung unsur yang merugikan. Di sinilah letak persoalan utama terkait penggunaan Bitcoin sebagai alat pembayaran zakat.
Bitcoin, sebagai salah satu jenis cryptocurrency, memiliki sifat yang unik namun juga kontroversial. Nilainya sangat fluktuatif, tidak memiliki bentuk fisik, dan tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah oleh Bank Indonesia. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah Bitcoin memenuhi syarat sebagai harta yang halal dan layak untuk digunakan dalam pembayaran zakat?
Beberapa Permasalahan Penerapan Bitcoin
Salah satu risiko terbesar dari penggunaan Bitcoin sebagai alat pembayaran zakat adalah fluktuasi nilainya yang sangat tinggi. Nilai Bitcoin dapat berubah drastis dalam hitungan jam, bahkan menit.
Sebagai contoh, jika seseorang membayar zakat menggunakan Bitcoin pada saat nilainya tinggi, lalu nilainya turun drastis setelah transaksi selesai, maka mustahik (penerima zakat) akan menerima nilai yang lebih rendah dari yang seharusnya. Sebaliknya, jika nilai Bitcoin naik setelah pembayaran dilakukan, maka mustahik akan menerima kelebihan nilai zakat.
Fluktuasi ini tentu bertentangan dengan prinsip keadilan dalam zakat, di mana zakat harus memberikan manfaat maksimal bagi penerimanya. Dalam konteks ini, volatilitas Bitcoin menjadi kendala besar yang sulit diatasi. Selain itu, sifat spekulatif Bitcoin juga menimbulkan kekhawatiran, karena Islam melarang praktik yang mengandung unsur spekulasi yang berlebihan (maysir).
Selain fluktuasi nilai, status legal Bitcoin di Indonesia juga menjadi masalah yang tidak bisa diabaikan. Bank Indonesia telah menyatakan bahwa cryptocurrency bukan merupakan alat pembayaran yang sah di Indonesia.
Hal ini berarti Bitcoin tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk digunakan dalam transaksi keuangan formal, termasuk zakat. Dalam hukum Islam, zakat harus diberikan dalam bentuk harta yang jelas dan sah secara hukum. Ketidakjelasan status hukum Bitcoin di Indonesia semakin memperkuat argumen bahwa Bitcoin tidak layak digunakan sebagai alat pembayaran zakat.
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) telah mengeluarkan fatwa terkait penggunaan cryptocurrency, termasuk Bitcoin. Dalam fatwanya, DSN-MUI menyatakan bahwa Bitcoin tidak memenuhi syarat sebagai alat pembayaran zakat karena mengandung unsur gharar dan dharar.
Selain itu, Bitcoin juga tidak memiliki underlying asset (aset dasar) yang jelas, sehingga tidak dapat dianggap sebagai harta yang halal. Namun, pandangan ulama terkait Bitcoin tidak sepenuhnya seragam. Beberapa ulama di Indonesia dan luar negeri masih mempertimbangkan kemungkinan penggunaan Bitcoin sebagai alat pembayaran zakat, dengan syarat bahwa Bitcoin dianggap sebagai aset yang memiliki nilai ekonomi. Misalnya, beberapa masjid di London telah mulai menerima zakat dalam bentuk Bitcoin, meskipun praktik ini masih menjadi perdebatan.
Selain persoalan syariat, kesiapan institusi zakat juga menjadi faktor penting yang harus dipertimbangkan. Apakah lembaga zakat di Indonesia memiliki sistem yang dapat mengelola dan mengkonversi Bitcoin ke dalam bentuk uang tunai atau barang yang stabil nilainya? Jika tidak, maka penggunaan Bitcoin hanya akan menambah kompleksitas dalam pengelolaan zakat.
Bitcoin dari sisi Maqashid Syariah
Dalam Islam, setiap tindakan harus didasarkan pada prinsip maqashid syariah, yaitu menjaga kebermanfaatan dan mencegah kerusakan. Dalam konteks ini, penggunaan Bitcoin untuk zakat harus dievaluasi berdasarkan manfaat dan risiko yang ditimbulkan. Jika risiko kerusakan (mafsadat) lebih besar daripada manfaatnya (maslahat), maka penggunaan Bitcoin untuk zakat harus dihindari.
Menurut kaidah fiqh, “menolak mafsadat lebih diutamakan daripada menarik maslahat.” Dengan kata lain, jika penggunaan Bitcoin dapat menimbulkan kerugian bagi mustahik atau merusak tujuan utama zakat, maka penggunaannya tidak diperbolehkan. Dalam hal ini, volatilitas nilai Bitcoin dan ketidakjelasan status hukumnya menjadi alasan kuat untuk menolak penggunaan Bitcoin sebagai alat pembayaran zakat.
Beberapa lembaga zakat di luar negeri, seperti masjid di London, telah mulai menerima zakat dalam bentuk Bitcoin. Namun, mereka biasanya langsung mengonversi Bitcoin ke dalam bentuk uang tunai sebelum mendistribusikannya kepada mustahik.
Hal ini dilakukan untuk menghindari risiko fluktuasi nilai Bitcoin. Meskipun langkah ini dapat menjadi solusi sementara, hal ini tetap tidak menghilangkan masalah mendasar terkait ketidakstabilan dan status hukum Bitcoin.
Solusi dan Rekomendasi
Untuk mengatasi perdebatan ini, diperlukan kajian yang lebih mendalam dan komprehensif. Kajian ini harus melibatkan para ahli agama, ahli ekonomi, dan ahli teknologi untuk mengevaluasi potensi dan risiko penggunaan Bitcoin dalam konteks zakat.
Selain itu, perlu ada upaya untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya mematuhi prinsip-prinsip syariat dalam pembayaran zakat.Sebagai alternatif, umat Muslim sebaiknya tetap menggunakan cara-cara pembayaran zakat yang telah lazim dan sesuai dengan tuntunan syariat Islam.
Uang tunai, emas, atau barang yang memiliki nilai ekonomi jelas masih menjadi pilihan terbaik untuk pembayaran zakat.
Penutup
Di tengah perkembangan teknologi yang pesat, kita tidak boleh terjebak dalam euforia tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kehidupan beragama. Bitcoin, sebagai inovasi teknologi, memang menawarkan kemudahan dan potensi besar.
Namun, dalam konteks zakat, risiko yang ditimbulkan jauh lebih besar daripada manfaatnya. Sebagai umat Muslim, kita harus berhati-hati dan bijak dalam menyikapi setiap perkembangan teknologi. Zakat bukan hanya kewajiban, tetapi juga sarana untuk meningkatkan kesejahteraan umat dan mempererat tali silaturahmi. Oleh karena itu, mari kita pastikan bahwa zakat yang kita bayarkan sah, halal, dan memberikan manfaat maksimal bagi yang membutuhkan.