Dengarkan Artikel
Oleh Thuhfatul Munawarah
Mahasiswa jurusan Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, UIN Ar -Raniry, Banda Aceh
Senja mulai turun di SPBU Lamnyong, Banda Aceh. Di antara hiruk pikuk kendaraan yang datang mengisi bahan bakar, sosok berbaju badut terduduk lesu di sudut pom bensin. Ia bukan penghibur profesional yang biasa kita temui di acara ulang tahun atau mal-mal besar. Ia adalah salah satu dari sekian banyak wajah kemiskinan kota yang memilih mengenakan kostum badut untuk bertahan hidup.
Mengamati dari dekat, sosok di balik kostum badut lusuh itu masih sangat muda. Garis-garis tubuhnya menunjukkan ia masih dalam usia remaja – usia di mana seharusnya ia berada di bangku sekolah, bermain dengan teman sebaya, atau mungkin belajar menghadapi ujian.
“Kelelahan yang terpancar dari sosoknya begitu kentara,” ujar salah seorang pengamat yang mencoba melakukan pendekatan untuk wawancara. Namun, kondisinya yang sudah terlalu lelah membuat upaya komunikasi menjadi sia-sia. Ia hanya duduk terkulai, seolah seluruh energinya telah terkuras habis oleh terik matahari dan aktivitas seharian.
Di samping sosok badut yang terduduk lesu itu, sebuah kantong berisi uang receh menjadi saksi bisu perjuangannya hari itu. Nominal yang terkumpul mungkin tak seberapa, namun bagi si badut muda, setiap keping logam berarti satu langkah lebih dekat dengan sesuap nasi untuk hari ini.
📚 Artikel Terkait
Ironisnya, di tengah ramainya pengunjung SPBU, keberadaannya seolah tak kasat mata. Para pengendara dan pengunjung SPBU berlalu-lalang, sibuk dengan urusan masing-masing. Hanya segelintir yang mungkin melirik, lebih sedikit lagi yang peduli untuk memberi.
Keberadaan pengemis badut ini menjadi cermin buram kondisi sosial masyarakat kita. Di balik gemerlap pembangunan kota dan hiruk-pikuk aktivitas ekonomi, masih ada wajah-wajah muda yang terpaksa menukar masa remaja mereka dengan kostum badut dan terik matahari.
“Ini bukan sekadar masalah kemiskinan,” tutur seorang pengamat sosial yang dimintai pendapat. “Ini adalah gambaran nyata bagaimana sistem sosial kita masih menyisakan celah besar yang membuat anak-anak muda harus berjuang dengan cara seperti ini.”
Matahari hampir tenggelam sepenuhnya ketika pengamatan ini berakhir. Sosok badut muda itu masih di sana, dengan kantong recehnya, dengan lelahnya, dengan mimpi-mimpinya yang entah masih tersisa atau telah lama pudar.
Keberadaan pengemis badut ini bukan sekadar fenomena sosial yang perlu didokumentasikan. Ini adalah panggilan bagi kita semua – masyarakat, pemerintah, dan organisasi sosial – untuk memberi perhatian lebih. Mereka membutuhkan lebih dari sekadar recehan dalam kantong; mereka membutuhkan sistem dukungan yang dapat membantu mereka keluar dari lingkaran kemiskinan dan memberikan kesempatan untuk masa depan yang lebih baik.
Kisah ini mungkin hanya satu dari ribuan kisah serupa di berbagai sudut kota Indonesia. Namun, setiap kisah, seperti si badut muda di SPBU Lamnyong ini, adalah pengingat akan tanggung jawab sosial kita bersama untuk menciptakan masyarakat yang lebih peduli dan berkeadil
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini


















