Jakarta- Potretonline.com- Universitas Paramadina, Kamis 11 Juli 2024 mengadakan diskusi publik yang mengangkat tema “ Dilema Kabinet Prabowo Dalam Bingkai Koalisi Besar”.’Diskusi tersebut berlangsung di ruang Granada, Kampus Gatsu, Universitas Paramadina secara hybrid melalui Zoom meeting. Diskusi tersebut dimoderatori oleh Alia Ramatulummah, mahasiswa Universitas Paramadina dengan menghadirkan 3 pembicara, masing-masing Wijayanto Samirin,MPP, adalah ekonom Universitas Paramadina,
Dr. Handi Risza, M.Econ (Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Universitas Paramadina) dan Esther Sri Astuti, Ph.D (Direktur Eksekutif Indef/Pengajar Universitas Diponegoro)
Dalam pengantar kegiatan tersebut Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini menyampakan bahwa “ Market politik untuk menentukan utang sangat serampangan dan berbahaya, bukan apple to apple dengan pembiayaan yang sangat jauh berbeda. Indonesia tidak memiliki kapasitas mesin ekspor yang besar”.
“Pada 2024 utang SBY 2600 Ttriliun, kemudian utang periode sekarang 8.300 T/ Yang patut menjadi pertanyaan adalah atas dasar apa utang bisa naik sedemikian tinggi? Rupanya, dasarnya berdasar pada defisit APBN, sehingga kemudian dihitung-hitung menjadi dasar dari menaikkan anggaran utang satu atau dua persen dengan tanpa evidence” tegas Didik.
Selain itu ada 3 triliun untuk nikel, 80% devisa habis untuk bayar utang investasi pabrik nikel di indonesia. Bunga utang menguras anggaran publik, dengan yield tinggi dan dinikmati oleh investor golongan atas. “UU APBN diotoritas oleh ibu Sri Mulyani dan tidak memiliki legitimasi dalam membuat APBN yang baik. Check and balances tidak ada, di mana melupakan syarat dari dalam melakukan berbagai hal” paparnya.
Korupsi yang meluas karena politik dianggap mahal, hingga pandemi Covid dijadikan sebagai alasan. “Pada 2019, perencanaan sebelum ada covid 19, utang SBN dianggarkan 650 T, tapi karena ada pandemi covid 19 dibuat menjadi 1541 T. Padhal 2/3 pemerintahan tidak bisa berjalan karena wabah. Jadi ‘’pesta’’ paling besar dari birokrasi justru di era covid 19. Bahkan Presiden paling sial menurut Faisal Basri adalah Jokowi” pungkasnya.
“Pada masa pemerintahan Pak Jokowi sangat solid, sedangkan Pak Jokowi mewarisi kepada Pak Prabowo pemerintahan di masa yang sulit” kata Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin.
Hal ini diperparah dengan ekonomi yang sangat sulit. “Ada empat krisis yang akan dihadapi yaitu krisis fiskal, krisis industri, krisis lapangan kerja dan krisis rupiah. Hal ini merupakan hal yang paling krusial, tetapi sering diabaikan” tuturnya.
Data dari Oxford University mencatat mengenai jumlah menteri di tiap negara. Efective governance ada kaitannya dengan jumlah menteri yang dimiliki tiap negara. Makin banyaknya menteri, makin tidak efektif pemerintahan tersebut. Indonesia menempati 10% terbanyak jumlah menteri dalam pemerintahan.
Dalam orde reformasi ada 15 tersangka korupsi, sebanyak 11 dari 15 tersangka merupakan menteri berlatar belakang partai politik. Wijayanto Samirin membaginya menjadi tiga analisis 1) biaya politik mahal, 2) penugasan dari partai untuk mencari dana, 3) karakter politisi lebih risk-taker.
Ia mengusulkan Menko untuk mengurusi urusan tertentu dan memiliki pekerjaan rutin yang memiliki tupoksi di bawahnya. “Usulan nomenklatur kabinet yang inti adalah urusan manusia; urusan kawasan dan infrastruktur; urusan ekonomi; serta urusan hukum dan politik” papar Wijayanto.
Adapun rekomendasi yang disampaikan oleh Wijayanto Samirin yaitu Kabinet diisi oleh sosok yang memiliki kredibilitas dan integritas, guna meminimalisir unsur nepotisme dalam pemilihan menteri, menggunakan pola semi matrix dengan menggantikan pendekatan sektoral yang menimbulkan silo dan koordinasi yang buruk, meminimal perubahan jumlah kementerian yang drastis. Idealnya 30-34 menteri dengan orientasi pada efektivitas dan efisiensi. Unsur partai dan non-partai, tidak terlalu berpengaruh, tetapi perlu diantisipasi fakta bahwa sosok partai lebih rentan terlibat dalam korupsi, serta pembentukan badan penerimaan negara, perlu dilakukan secara terencana dan hati-hati. Idealnya direalisasikan pada pertengahan masa jabatan.
Direktur Eksekutif Indef/Pengajar Universitas Diponegoro, Esther Sri Astuti mengungkapkan persoalan dalam negeri perekomian Indonesia terletak pada fundamental ekonomi yang masih lemah. “Makanya daya tahan terhadap guncangan yang terjadi sebagai dampak dari tekanan global tidak kuat. Oleh karena itu menyalahkan tekanan global sebagai penyebab lemahnya perekonomian domestik” tuturnya.
Berdasarkan analisisnya, perlambatan perdagangan dunia turut membuat turun selisih antara ekspor dengan impor atau neraca perdagangan. Pada kuartal 1-2023, Indonesia mengalami surplus perdagangan sejumlah 14 miliar USD. Sedangkan pada kuartal pertama tahun 2024, surplus tersebut menurun jadi 9,8 miliar USD. Sementara harga komoditas ekspor utama Indonesia mulai menurun di pasar global.
“Tren utang Indonesia terus meningkat, bukan hanya dalam USD, tapi juga dalam Rupiah yang dapat dilihat dari SBN. Sehingga membuat ketergantungan terhadap USD sebagai alat pembayaran semakin meningkat. Hal tersebut tidak diimbangi oleh generate income dalam bentuk USD, karena kapasitas ekspor terus mengalami penurunan” kata Esther.
Esther memandang program makan siang gratis malah akan mendorong impor lebih tinggi. Melihat kondisi fiskal Indonesia sedang tidak baik-baik saja, karena dari tahun ke tahun ratio utang punya tren meningkat, sementara income negara meturun sehingga membuat defisit fiskal melebar.
“Keberlanjutan fiskal berkelanjutan harus dibatasi, dengan stabilitas harga, PPN naik, BBM naik akan menggerus daya beli masyarakat. Kemudian stabilitas nilai tukar harus diperhatikan dengan mengembangkan pariwisata, daya beli masyarakat harus di jaga agar tidak terjadi caos” pungkasnya.
Ratio utang terhadap PDB yang mencapai sekira 40%, jelas akan membawa persoalan sendiri bagi Presiden terpilih Prabowo. “Hal itu akan menyebabkan efektivitas jalannya pemerintahan ke depan menjadi sangat riskan” papar Direktur Eksekutif Indef/Pengajar Universitas Diponegoro itu.
“Semakin ‘gemoy’ kabinet, maka akan semakin besar belanja rutinnya. Hendaknya kabinet dibuat seramping mungkin agar efektif. Walaupun koalisi partainya besar, tapi kabinet cukup rasional dan ramping saja” tegas Esther.
Handi Risza Idris, Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Universitas Paramadina melihat kondisi geopolitik global yang tidak berkesudahan, konflik Timur Tengah, dan memberikan dampak yang luar biasa kepada ekonomi global. Seluruh negara lumpuh aktivitas ekonominya selama kurang lebih 2 tahun, ketika sudah mulai luluh dihadang dengan konflik geopolitik yang menyebabkan dampak dari ketidakpastian
Di mana pertumbuhan ekonomi stagnan, memberikan efek hambatan yang kuat terhadap ekonomi global. “Ternyata kita punya sensitivitas yang kuat terhadap harga komoditas, yang mana penerimaan pajak mengalami perlambatan dengan capaian 44,5% terhadap APBN, penurunan pajak terutama disebabkan PPh Badan akibat moderasi harga komoditas dan posisi utang penetintah meningkat mencapai angka 8.338,43 triliun pada April 2024” tuturnya.
Berdasarkan data yang dipaparkan Handi, terjadi peningkatan angka kemiskinan dari tahun 2019 sebesar 25,14 juta menjadi 25,9 jura pada tahun 2023, kemudian tingkat pengangguran juga menungkat dari 6,82 juta tahun 2019 menjadi 7,2 juta tahun 2024.
Ada kompromi politik koalisi besar Revisi Undang-Undang Kementerian Negara mengubah jumlah keseluruhan 34 kementerian menjadi disesuaikan dengan kebutuhan Presiden. Di mana partai pendukung Pemerintah diperkirakan sekitar 12-13 partai politik, gabungan antara partai parlemen dan non-parlemen.
“Presiden terpilih diyakini akan mengakomodir semua partai pendukung mendapat jatah Menteri di Kabinet. Kekuatan partai penyeimbang di luar kabinet akan makin kecil, sehingga terganggunya proses demokrasi chek and balance” kata Handi.
Handi menganggap zaken kabinet merupakan konsep yang paling efektif dan efisien. Di mana konsep zaken kabinet melahirkan zona ekonomi eksklusif, maka dibutuhkan kabinet yang memiliki keahlian dan kecakapan. Konsep kabinet zaken bukan hal baru dalam dunia politik di Indonesia. Kabinet zaken yang muncul pada awal 1955 merupakan kabinet ekstra parlementer yang dibentuk berdasarkan keahlian atau kecakapan dari menteri yang ditunjuk.
“Pemerintahan baru nanti punya beban yang berat untuk mengembalikan kepercayaan publik agar mampu bekerja secara efektif dan efisien. Presiden baru tidak boleh lagi dibebani dengan permasalahan moral hazard yang dimiliki para menterinya. Kabinet baru nanti harus mencerminkan profesionalitas dan dedikasi yang tinggi untuk mencapai kemajuan bangsa” tegas Handi.