Oleh Tabrani Yunis
Bumi semakin panas (the earth is getting hotter and hotter) Begitulah ungkapan banyak orang di berbagai belahan dunia. Bukan hanya di daerah yang beriklim tropis, tetapi juga di belahan dunia yang beriklim dingin dimana gunung-gunung es atau salju yang seharusnya bertahan lama, kini tanpa mengikuti siklus normal, mencair dalam batas waktu yang lebih cepat. Perubahan iklim menjadi masalah seluruh umat manusia yang hidup di bumi yang kian renta ini. Karena perubahan iklim yang seharusnya wajar terjadi karena terjadi secara alami, kini perubahan iklim secara global yang semakin ekstrim. Perubahan ini bukan membuat bumi dan isinya semakin baik, tetapi dihadapkan dengan berbagai bencana atau petaka yang akan menyengsarakan, bahkan mematikan manusia baik secara perlahan ( evolusi) maupun secara cepat dan masal ( revolusi). Mark Lynas bahkan menulis di Sunday Times, 11 Maret 2007, mengulas buku Six Degrees: Our Future on A Hotter Planet, memaparkan banyak sekali dampak dari perubahan iklim tersebut.
Salah satu dampak yang paling buruk yang meresahkan umat manusia di muka bumi saat ini adalah pemanasan global (global warming) yang juga memberikan multy impacts. Betapa tidak, baru hanya dalam bentuk pemanasan global yang terjadi, sudah membuat kehidupan kita dalam ancaman yang dahsyat. Menurut badan iklim PBB, rata-rata suhu udara global menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change ( IPCC ) telah meningkat sebesar 0,6ºC dari tahun 1850 hingga tahun 2000. Dalam laporan “Climate Change Report 2007”, IPCC mengetengahkan berbagai dampak pemanasan global berdasar tingkat kenaikan suhu dan akan semakin parah dengan bertambahnya suhu udara. Peningkatan temperatur itu akan berdampak pada meluasnya pencairan es di kutub utara, meningkatnya suhu air laut, yang mengakibatkan naiknya permukaan air laut, musim kering akan semakin kering dan musim penghujan akan lebih basah dan meningkatnya curah hujan dan kondisi banjir.
Semua fenomena dan peristiwa alam ini adalah bencana yang sangat meresahkan dan bahkan mematikan. Bayangkan ketika suhu atau temperatur bumi naik 1 derajat saja, alam dilanda petaka, apalagi kalau mencapai 6 derajat celcius?
Sudah banyak fakta memilukan, akibat perubahan iklim terhadap kehidupan kita, umat manusia. Ketika musim panas dan musim hujan sudah tidak teratur dan berjalan alami lagi, maka musim panas atau kemarau bisa berlangsung lama dan menimbulkan bencana kekeringan yang membuat kita krisis air, krisis pangan dan lain-lain. Masih segar dalam ingatan dan pikiran kita akan tragedy krisis pangan yang membuat jutaan orang di Afrika kelaparan dan berujung dengan kematian dalam kelaparan. Celakanya, banyak pula negara di Afrika yang miskin dan dilanda perang. Perang yang sering disulut oleh perebutan sumber daya dan lain-lain. Bukan hanya itu, ternyata, peningkatan aktivitas gempa bumi yang sering melanda daearh kita selama ini juga berhubungan dengan pemanasan global. Belum lagi ketika hujan turun di luar musim yang menyebabkan banjir melanda dan menyebabkan kerugian harta benda serta jiwa manusia. Masyarakat Aceh pasti masih belum melupakan peristiwa gempa bumi berkeuatan 8.9 SR yang menyebabkan tsunami pada 26 Desember 2004 yang menelan ratusan ribu korban.
Seorang ahli geologi, Bill McGuire dari Hazard Research Center di University College London, menuturkan bahwa gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, dan tanah longsor, adalah malapetaka lain yang timbul akibat perubahan iklim. Selain itu, perubahan iklim juga membawa petaka bagi kesehatan manusia di muka bumi.
Menurut dr. Nasir dalam tulisannya Climate change di hari Kesehatan dunia mengatakan bahwa perubahan suhu yang ekstrim berhubungan dengan peningkatan angka kesakitan dan kematian seperti heat stroke (akibat terlalu panas) dan frozenbite (akibat terlalu dingin). Perubahan suhu tersebut disertai kelembapan dan kecepatan angin yang meningkat juga dapat memperbanyak populasi, memperpanjang umur dan memperluas penyebaran vektor pembawa penyakit, contohnya nyamuk. Hal itu berdampak terhadap peningkatan kasus menular seperti malaria dan demam berdarah.
Pendek kata, perubahan iklim (climate change) dan terjadinya pemanasan global ( global warming) adalah sebuah bencana akibat ulah manusia karena ulah manusia sendiri, menyebabkan penderitaan yang panjang bagi umat manusia di seluruh dunia, terutama bagi maysarakat bangsa di Negara-negara miskin dan sedang berkembang, karena di samping menjadi korban langsung dari bencana tersebut, juga menjadi korban kebiadaban Negara-negara maju yang ingin menguasai sumber daya alam dengan berbagi modus operandinya. Negera maju, dengan berbagai dalih dan kekuatannya, mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia di Negara-negara yang sedang berkembang untuk memneuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan bangsanya. Semiua ini adalah bencana yang membuat kita semakin gelisah.
Perempuan di Tengah bencana
Ketika perubahan iklim semakin parah, bencana ekologi terus bertambah, maka semakin banyak umat manusia yang dihantam musibah dalam berbagai bentuk bencana alam dan bencana ekologis. Pada hakikatnya, ketika suatu bencana melanda sebuah wilayah, bencana itu tidak pernah melakukan proses seleksi untuk dijadikan korban. Artinya, bencana tersebut, apakah banjir, longsor, kekeringan, tsunami dan lainnya, tidak menjadikan satu jenis kelamin atau satu tingkat usia saja yang bakal menjadi korban, semua orang akan menjadi korban dari bencana itu. Namun, berkaca pada pengalaman emperis dalam berbagai bencana yang melanda banyak wilayah di dunia, ternyata ada kelompok-kelompok yang sangat rentan dalam bencana tersebut. Kelompok-kelompok ituadalah perempuan, anak-anak dan manula beserta orang cacat.
Dalam banyak bencana alam yang melanda daerah kita, negeri kita ini, selama ini, membuktikan bahwa perempuan dari berbagai tingkat umur adalah kelompok yang sangat rentan dan banyak menjadi korban. Sebagai contoh ketika bencanan tsunami yang menghantam Aceh pada 26 Desember 2004 yang lalu, kaum perempuan adalah kelompok yang sangat banyak menajdi korban. Mereka menjadi korban karena banyak faktor, misalnya karena posisi perempuan selalu di rumah dan laki-laki lebih berada di luar rumah. Ketika bencana menghantam, perempuan tidak bisa menyelamatkan diri sendiri, karena mereka harus menyelamatkan nyawa anak-anak yang tinggal bersama mereka. Sehingga dalam bencana tsunami di Aceh saat itu, korban yang paling banyak adalah perempuan dan anak-anak.
Dalam banyak tragedy bencana lain, termasuk perang, juga demikian. Perempuan menjadi pihak yang selalu menjadi gelisah dan sebagai korban, disengaja dan tidak disengaja, baik langsung, maupun tidak langsung. Seabagai contoh, ketika musim kemarau yang menyebabkan krisis air, maka dalam kondisi seperti ini, kaum perempuan menjadi kelompok yang sangat menderita. Alasannya, karena di rumah kaum perempuanlah yang paling dekat hubungan dengan air. Karena perempuan menjadi pihak yang menyiapkan segala kebutuhan air di rumah, baik untuk mencuci, mandi dan minum. Perempuan harus mencari sumber air dalam keadaan yang menyedihkan. Perempuan, terutama dari kalangan masyarakat miskin akan sangat letih dan lelah mengambil air dari sumber mata air yang tersisa. Kita sering menyaksikan kesengsaraan perempuan dilayar TV atau di media cetak. Menyedihkan sekali.
Pendek kata, ketika bencana alam, bencana ekologis yang menyebabkan berbagai krisis, maka perempuan sebagai pihak yang diposisikan menjalan tugas domestik dan kini di publik, selalu menjadi korban, baik korban kebijakan maupun korban sasaran bencana, karena banyak perempuan yang tidak siap menghadapi risiko bencana. Perempuan tidak disiagakan. Rendahnya kapasitas kebanyakan perempuan sebagai akibat dari tindakan diskriminasi masyarakat selama berabad-abad, ikut menambah penderitaan kaum perempuan. Celakanya lagi, ketika pemanasan global melanda, para kapitalis dari kalangan industrialis memanfaatkan semua kesempatan ini membuar produk-pproduk global yang menjadikan perempuan sebagai target pasar mereka. Negara-negara insdustrialis dan maju, serta berkuasa, termasuk PBB, memperlihatkan rasa kepedulian mereka dengan berbagai program seperti REDD dan lain-lain yang penuh tipu muslihat. Tidak buahnya seperti fatamorgana. Program-program yang ujungnya menguntungkan mereka sendiri.
Kini, kerusakan dan perusakan lingkungan hidup, secara individual dan massal, untuk berbagai kepentingan terus berlangsung, perubahan iklim yang sulit dikembalikan secara alamiah serta pemanasan global yang terus terjadi dan sangat ektrims, sudah semakin sulit untuk diatasi. Di pihak lain, perempuan dan anak-anak sebagai korban dari kerakusan manusia mengelola alam, akan terus berjatuhan. Oleh sebab itu, semakin diperlukan kearifan sikap semua orang di permukaan bumi. Sayangnya, ketika dalam keadaan buruk semacam ini, partisipasi perempuan untuk membangun kesadaran generasi bangsa semakin dituntut. Sementara kapasitas perempuan sendiri terhadap pengetahuan dan ketrampilan kebencanaan tidak ditingkatkan. Ironis bukan?
Kiranya, tidak ada cara lain yang harus kita lakukan, selain berusaha memperbaiki kerusakan ekologis dengan sikap dan tindakan kita yang sungguh-sungguh untuk itu. Dibutuhkan kesriusan setiap orang untuk berupaya menjaga dan menghindari kehancuran ekologis, meningkatkan kesadaran semua orang dan membangun kapasitas setiap orang dengan kapasitas menjaga bumi lestari. Semoga ini bisa kita lakukan dengan sepenuh hati. Mulailah dari diri sendiri. Jangan tunggu nanti. Mulailah dari sekarang. Kita sudah terlambat.
.
.