Oleh : Muhammad Hadi Akbar
(Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan-S1 Universitas Abulyatama), Aceh
APABILA kita melanglang buana menyelusuri belahan Pesisir Pantai Barat-Selatan Aceh, mulai dari Banda Aceh– Ibu Kota Provinsi Aceh– hingga ke Provinsi Sumatera Utara, di penghujungnya kita akan bersua dengan sebuah daerah bernama Aceh Singkil.
Aceh Singkil, merupakan sebuah daerah kabupaten yang berdiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 tahun 1999. Ia dimekarkan dari kabupaten induknya Aceh Selatan. Kabupaten itu, tidak saja memeroleh gelar daerah penghasil kelapa sawit. Karena seantero lahannya ditumbuhi sawit.
Akan tetapi, ia juga mendapat julukan Nagari Para Aulia. Dua ulama tersohor di manca negara, Syekh Abdurrauf dan Syekh Hamzah Fansuri, adalah ulama yang berasal dari Aceh Singkil.
Kabupaten Aceh Singkil membawahi sebelas kecamatan. Ada Kecamatan Pulau Banyak, Pulau Banyak Barat, Kecamatan Kuala Baru, Kecamatan Singkil, Gunung Meriah, Simpang Kanan, Singkohor, Surau, Danau Paris, Kuta Baharu, dan Kecamatan Singkil Utara.
Kecamatan Singkil Utara, terbentuk berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor : 06 tahun 2001 dengan ibu kota Gosong Telaga. Kemudian Singkil Utara ini dimekarkan lagi menjadi tujuh desa atau kampung.
Dari tujuh desa tadi, terdapatlah sebuah kampung atau desa tempat tinggal saya, Gosong Telaga Selatan namanya. Kampung saya itu terletak di ceruk Pesisir Samudera Indonesia, karenanya pekerjaan warganya mayoritas nelayan.
Sehingga tak ayal, desa itu terkenal sebagai kampung penghasil ikan, udang, dan kepiting. Pantainya pun sangat indah, elok, dan permai. Ia juga tersohor sebagai perkampungan yang bersih, molek, dan teratur.
Tidak itu saja, sebagai pemukiman tertua, Gosong Telaga Selatan, juga menyimpan khazanah sejarah dan budaya yang menakjubkan. Di perut buminya banyak bersemayam makam ulama yang punya karisma dan keramah. Keramah itu, bukan saja terlihat pada saat ulama itu masih hidup tetapi juga setelah mereka wafat.
Populasi warga Gosong Telaga Selatan, sangat heterogen atau majemuk. Mereka semula berasal dari etnis yang berbeda. Adat istiadat dan budayanya pun beragam. Kemudian diikat dan disatukan dengan nama Budaya Pesisir Melayu yang menyimpan selaksa keunikan. Dalam bertutur, masyarakatnya sangat sopan, lembut, dan ramah.
Karena beberapa faktor itulah, era 1970-an Gosong Telaga pernah mengondol supremasi pemukiman teladan dan terbersih di Indonesia. Ini ditetapkan oleh pemerintah dalam secarik piagam penghargaan.
Pokoknya, Gosong Telaga Selatan itu termasuk salah satu, pemukiman yang sarat potensial. Jika Potensi ini dikembangkan, kampung ini akan meraih prestasi yang gemilang.
***
Nah, catatan “kecil” ini saya racik, guna mengaktualisasikan keberadaan kampung saya. Hitung-hitung supaya ia lebih dikenal publik.
Kemudian catatan ini juga merupakan salah satu usaha saya untuk “membumikan” sejarah Gosong Telaga agar tidak hanya sekadar “omong-omong imajiner doang” di pojok-pokok kampung dan di lapo-lapo kopi.
Memang, kalau ditilik sepintas, tulisan ini belum memenuhi kaidah-kaidah ilmiah dan masih sangat subjektif. Bahkan boleh dikatakan, bagai sebuah fiksi belaka, penina bobo tatkala mau tidur. Ya anggap saja begitu.
Namun saya telah berupaya untuk mengendus, mengumpulkan kemudian merangkai data dan fakta serta rima-rima tuturan dari berbagai narasumber yang berserak. Lalu saya rangkai menjadi kata dan kalimat yang serasi. Dengan harapan supaya enak dibaca dan perlu.
Dan saya ingin berbuat seperti disarankan JK Rowling, “Mulailah menulis hal-hal yang kamu ketahui. Tulislah tentang pengalaman dan perasaanmu sendiri.”
Sebab, apapun yang kita ketahui, dengar, dan lihat, tidak akan bermakna dan bermanfaat untuk pengembangan diri dan masyarakat, bila apa yang kita ketahui, dengar, dan amati itu tidak pernah kita “ikat” atau tuliskan. Padahal Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan, “Ikatlah ilmu dengan menulisnya”.
Mengikat atau menulis pengalaman, pengamatan, dan informasi merupakan aktivitas penting yang tak boleh disepelekan apalagi di zaman luber informasi sekarang. Dengan menulis berarti kita telah mengumpulkan satu kepingan makna.
Kepingan makna ini, kita gabungkan dengan kepingan makna yang lain, akan membentuk makna baru. Makna baru yang kita maksud, tentunya makna yang menyadarkan dan mencerahkan. Nah, makna yang demikian itulah yang dicoba sajikan dalam tulisan ini.
Kemudian makna ini diharapkan menjadi sejarah. Sejarah kapan pun dan di manapun kejadiannya sudah barang tentu memiliki arti yang dalam, mencerahkan dan mengandung kesan. Karena sejarah itu, kata Cicero, saksi dari sang waktu, obor dari kebenaran, nyawa dari ingatan, guru dari penghidupan dan pesan dari masa lampau.
Masa lampau, kata orang bijak, milik orang tua. Masa sekarang milik kita, masa yang akan datang milik anak cucu kita. Kedua masa itu, tidak pernah terwujud kalau tidak ada masa lalu. Masa itu selalu berdialog. Ia bagai segi tiga emas yang sama pentingnya, bagaikan tungku sepenjarangan.
Ulama yang Terdampar
Konon, pada masa Khalifah Dinasti Ummayah, Umar bin Abdul Aziz (717-720) sangat gigih mengembangkan ajaran Islam ke pelosok dunia tak terkecuali ke Wilayah Nusantara.
Hal ini didorong pula dengan terbentuknya jaringan ulama Timur Tengah atau Lingkaran Komunitas Jawi (ashab al-jawiyyin), membuat Islam terus dikembangkan dan diperkenalkan ke seluruh penjuru Nusantara.
Jajat Burhanuddin dalam bukunya Ulama dan Kekuasaan halaman 30 mengatakan, pada abad ke-17 hubungan Kerajaan Aceh Darussalam dengan Timur Tengah sangatlah kuat.
Kuatnya hubungan ini terbukti dengan dibentuknya sebuah jaringan ulama atau Lingkaran Komunitas Jawi (ashab al-jawiyyin).
Dalam jaringan tersebut terdapat Syekh Nuruddin Ar-Raniri (wafat 1608), Syekh Abdurrauf al-Singkili (1615-1693) dan Syekh Yusuf al-Maqassari (1627-1699) yang ketika itu, mereka sedang menuntut ilmu di Mekkah (Azra 1992 dan 2004).
Dalam upaya memperkenalkan dan mengembangkan ajaran Islam ke seluruh penjuru dunia terutama ke Nusantara ini, tersebutlah kisah pengiriman 44 orang ulama dari Timur Tengah.
Ulama ini ingin berkunjung ke Kerajaan Aceh Darussalam. Ekspedisi 44 orang ulama ini berangkat ke Kerajaan Aceh Darussalam dengan menaiki perahu layar.
Belum sempat sampai ke pusat Kerajaan Aceh Darussalam, malang bagi mereka, di perairan Gosong Telaga, (sekarang termasuk Singkil Utara), perahu yang mereka tumpangi diterpa badai yang menggelegar dan dihempas ombak besar.
Perahu mereka tak terkendali, oleng, tenggelam dan beberapa penumpangnya yang terdiri dari ulama wafat. Jasad mereka terdampar di Pantai Gosong Telaga, termasuklah salah satu di antaranya, ulama bernama Syekh Maulana Abdul Qadir ditampat (ada juga yang menyebut Syekh Abdul Jalil).
Syekh Abdul Qadir ini oleh rekan-rekannya sesama ulama dimakamkan di Pantai Gosong Telaga. Sementara sahabat mereka yang jasadnya ditemukan di Pulau Panjang, arah Timur Gosong Telaga, dimakamkan di pulau tersebut.
Setelah ulama yang selamat melaksanakan fardhu qifayah terhadap Syekh Abdul Qadir dan rekan ulama yang meninggal lainnya, ulama yang selamat melanjutkan perjalanan ke Kerajaan Aceh Darussalam guna mewujudkan misi mereka.
***
Adanya makam sekaligus nama dan kisah ulama yang wafat di Pantai Gosong Telaga ini, diperoleh masyarakat dari tuturan seorang musafir. Musafir yang belum diketahui namanya itu, sekitar tahun 1840 ketika Singkil itu telah berada di bawah kekuasaan Pemerintah Belanda. mendatangi Gosong Telaga.
Sesampai di Gosong Telaga, musafir tadi bercerita tentang kebadaan makam ulama di Pantai Gosong Telaga. Tuturan musafir tersebut, diucapkan ulang oleh salah seorang tokoh masyarakat Gosong Telaga, Sadri Ondang Jaya kepada penulis. Dan kisah ini, ia dapatkan dari tuturan Tengku Mustawi, seorang Kepala Mukim di Gosong Telaga.
Ketika itu, kata Sadri Ondang Jaya, sang musafir mengisahkan kepada masyarakat, bahwa di bibir Pantai Gosong Telaga terdapat sebuah makam ulama Syekh Maulana Abdul Qadir. Panjang kuburan itu sekitar sembilan meter.
Ulama ini berasal dari Negara Timur Tengah mau menuju pusat Kerajaan Aceh Darussalam. Karena perahu yang mereka tumpangi tenggelam diterpa badai dan dihantam ombak besar.
“Beberapa orang dari ulama itu terdampar dan wafat di sana dan dimakamkan di Pantai Gosong Telaga,” tutur Sadri Ondang Jaya.
Lebih lanjut Sadri Ondang Jaya menjelaskan, setelah musafir tadi, menceritakan riwayat makam ulama, tokoh-tokoh masyarakat Gosong Telaga pergi membuktikan ucapan sang musafir.
Ternyata benar, di bibir Pantai Gosong Telaga terdapat sebuah pusara. Tidak jauh dari pusara, terdapat sebatang pohon besar. Pada kulit pohon tersebut, terdapat ukiran tulisan berbahasa Arab-Turki. Tulisan ini, kemudian diteliti dan dibaca oleh Faqih Yahya, seorang ulama Gosong Telaga.
Setelah dibaca lantas diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Dari terjemahan tulisan itulah terbuka tabir, bahwa ulama yang dimakamkan di Pantai Gosong Telaga itu, adalah ulama yang berasal dari Timur Tengah.
Nama Gosong Telaga
Kedatanganya untuk suatu misi ke Kerajaan Aceh Darussalam. Lantas cerita itu, berkembang dari mulut ke mulut hingga sekarang.
Sejauhmana kebenaran kisah itu perlu diungkap melalui penelitian mendalam. Bagi masyarakat Gosong Telaga Selatan khususnya, makam ulama itu, fakta sejarah yang benar adanya.
Bukti sejarah itu pulalah yang berkaitan erat dengan kisah perkampungan Gosong Telaga. Karena nama Gosong Telaga diambil dan ditambalkan dari “kisah misterius” sang ulama yang wafat.
Ketika makam ditemukan, secara bersamaan masyarakat melihat sebuah sumur di depan makam. Melihat adanya sumur, pengunjung makam kaget dan berteriak.
“Di gosong, ada telaga. Di gosong, ada telaga”. Maksudnya, di batu karang, ada sumur.
Rasa kaget dan ucapan di gosong ada telaga itu muncul secara spontan dan menyebutnya berulang-ulang.
Karena peristiwa ini dianggap sesuatu yang mustahil. Tidak mungkin di batu karang, dekat bibir pantai ada sumur. Airnya jernih dan tidak asin.
Keberadaan sumur ini, terus diinformasikan kepada publik sehingga sampai ke daerah-daerah lain. Sejak itulah, perkampungan ini mendapat julukan nama Gosong Telaga. Yang artinya, di batu karang ada sumur.
***
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karangan WJS. Poerwadarminta. Terminologi Gosong, bukanlah hangus (hitam legam) karena terbakar (seperti yang diterjemahkan di dalam Bahasa Jawa).
Tetapi menurut isi kamus tersebut, gosong itu artinya batu karang yang telah menjadi daratan dan telah ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan. Sedangkan telaga, menurut kamus yang sama, berarti sumur.
Jadi, Gosong Telaga berarti sumur atau telaga yang ada dibatu karang. Ini fakta, sumur itu masih ada sampai sekarang. Airnya jernih dan tidak asin walaupun sumur itu berada di pinggir laut.
Memang, tidak berapa jauh dari makam Syekh Abdul Qadir, ada sebuah sumur atau telaga tua. Sumur atau telaga ini digali oleh para ulama rekan Abdul Qadir yang dimaksudkan agar airnya bisa digunakan untuk bersuci dan keperluan lainnya.
***
Dengan adanya penjelasan bahwa makam di Gosong Telaga itu adalah ulama yang berasal dari Timur Tengah. Kemudian pada makam itu, banyak pula terdapat keajaiban-keajaiban atau keramah, maka masyarakat Gosong Telaga Selatan khususnya mengeramat makam ulama Syekh Abdul Qadir.
Karena itu, setiap Jumat, paling tidak sekali setahun ( saat Lebaran Idulfitri) masyarakat berbondong-bondong datang ke pemakaman. Tujuan mereka ke pemakaman, ingin berziarah.
Ada yang mencari berkah dengan bertawasul, bermohon pada Allah Swt melalui perantara Syekh Abdul Qadir agar cepat memperoleh jodoh, memperoleh anak, bermohon agar menjadi orang kaya dan memperoleh jabatan “tinggi”. Ada juga yang sekadar membaca Surat Yasin dan ayat-ayat tayibah lainnya.
Ada juga yang cuma mandi-mandi di sumur atau telaga dengan niat supaya dihilangkan penyakit dari tubuh. Dan ada juga yang melepas nazar. Pokoknya, berbagai tingkah pengunjung. Entah keinginan itu terpenuhi, tak tahulah kita.
Yang jelas menurut Eickelman (seperti ditulis Mas’ud 1990 :44-45 ), ziarah kubur ini adalah gerakan spiritual yang bertujuan untuk memperbaruhi dan memperbaiki kesadaran dan pemahaman agama seseorang.
Bagi penziarah, kubur sudah dipandang sebagai sebuah proses pencarian berkah ulama, karena berkah ulama adalah obat penyembuh yang ampuh bagi berbagai “penyakit”.
Keajaiban lain, di tempat keramat itu tersedia nasi, minuman dan makanan lezat lainnya serta perkakas makan. Apabila ada musafir yang haus dan lapar bisa singgah dan “membunuh” rasa dahaga dan laparnya di sini.
Makanan yang tersedia itu tidak pernah kekurangan, apalagi habis. Siapa saja yang datang dan mau menikmati makanan selalu tersedia dan cukup.
Namun karena ada orang yang melanggar “pantangan” yaitu membuang makanan dan mengambil perlengkapan makan. Keajaiban tadi lenyap. Sekarang, tidak pernah ada lagi makanan dan minuman. Tetapi yang jelas, orang tetap saja datang berbondong-bondong berziarah ke sana.
Sekarang, saat-saat tertentu, masyarakat sering melihat cahaya terang yang membumbung ke angkasa yang bersumber dari pemakaman.
Dan saat-saat lain masyarakat acap pula mendengar suara gemuruh atau dentuman dari tempat pemakaman. Kalau ada suara demikian menandakan Gosong Telaga akan mendapat rezeki laut.
Apabila ada keributan atau berjangkit penyakit menular, masyarakat mendatangi makam Syekh Abdul Qadir, kemudian di sana mereka membaca al-Quran khususnya Surat Yasin dan kalimat tayyibah lainnya serta bertawassul, masyarakat Gosong Telaga akan terhindar dari keributan dan penyakit menular itu.
Di pemakaman sekarang, juga dijaga oleh harimau dan buaya. Harimau berjalan pincang, karena kaki kanannya pendek dan kecil sebelah. Sementara buaya berekor puntung. Sewaktu-waktu kedua hewan predator ini, acap menampakkan diri pada manusia.
Secara kasat mata dan fakta yang ada, tanah di pemakaman atau di atas jasad ulama Timur Tengah ini, bukanlah tanah pasir biasa. Tetapi tanah pasir yang bercampur dengan serbuk batu karang yang bewarna ke kuning-kuningan seperti layaknya serbuk tanah gunung kapur.
Batu nisan makam pun bukan batu air dan bukan pula batu gunung atau batu yang berukir, melainkan batu karang yang sudah membentuk motif kupiah ala Timur Tengah yang terbentuk secara alamiah.
Kampung Teladan
Menurut catatan sejarah, pada tahun 1840, di zaman pemerintahan Hindia Belanda, Gosong Telaga adalah sebuah desa (distrik) yang berada dalam Onder afdeeling Singkil yang dikepalai oleh seorang Datuk yang bernama Mat Daud (Moge Ijo/Datuk Ijo).
Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942, Gosong Telaga menjadi sebuah wilayah Komico (datuk/mukim) dan Koco (desa), di bawah Sunco (kecamatan) Singkil.
Datuk/mukim yang pernah memimpin di Gosong Telaga masing-masing. AbuHanifah/Buan, M. Taeng, H. Fatani, M. Wajir, M. Zubir Tanjung, Tengku Mustawi, H. Rizwar Syam, Aidun Syahputra, dan Darlis.
Sementara Kepala Koco/kepala desa yang pernah menjabat semasa Jepang dan awal-awal kemerdekaan adalah Abdul Manan dan M. Ilyas.
Tahun 1970-an Desa Gosong Telaga ini dimekarkan menjadi dua desa. Yaitu Desa Gosong Telaga Utara dan Desa Gosong Telaga Selatan. Dua desa ini dilingkupi oleh satu kemukiman yang diberi nama Kemukiman Gosong Telaga. Kepala Desa Gosong Telaga Utara adalah, M. Tindik. Kepala Desa Gosong Telaga Selatan, M.Rani. Sedangkan kepala Mukimnya, M. Zubir Tanjung.
Saat kemukiman Gosong Telaga ini di pimpin Kepala Mukim M. Zubir Tanjung, tahun 1972 atau bertepatan dengan Hari Ulang Tahun RI ke-27, Gosong Telaga dianugerahi pemerintah sebagai desa teladan di Aceh.
Keteladanan ini diraihnya, bukan saja karena ketertiban dan keamanan Gosong Telaga yang stabil tetapi juga karena kerukunan masyarakatnya. Kebersihan dan keindahan lingkungan pemukiman juga sangat menonjol.
Gubernur Aceh ketika H. Muzakir Walad yang menyerahkan piagam supremasi desa teladan dan terbersih tersebut kepada masyarakat Gosong Telaga yang diterima Kepala Mukim H. Zubir Tanjung.
Menurut keterangan warga Rasuddin Marbun, di era tahun 60-an hingga tahun 70-an, di perkampungan Gosong Telaga ini susunan rumahnya tertata apik, menawan dan menarik. Jalan-jalan lebar yang kiri kanannya ditumbuhi tanaman hijau nan asri. Perkampungan ini terkenal sangat rancak dan bersih. Jarang ditemukan belukar yang menyemak.
Rumah penduduknya yang terbuat dari material kayu kapur, melaka, simantuk, dan meranti. Umumnya berkonstruksi dan bermotif rumah bergaya Melayu klasik. Sehingga menyiratkan kebersahajaan. Sendinya dibuat agak tinggi dari permukaan tanah. Dengan demikian, tangga atau jenjang rumah-rumah di Gosong Telaga juga tinggi. Terbuat dari kayu (tidak dari semen seperti sekarang).
Menariknya, tangga rumah ini dibuat sedemikian rupa dengan tiga anak jenjang. Tiga anak jenjang ini punya falsafah yang dalam. Jenjang pertama, langkah, gerakan yang menunjukan dinamika kehidupan atau keinginan untuk berusaha. Jenjang kedua, rezeki. Rezeki ini datang dari Allah SWT setelah melakukan serangkaian usaha. Sedangkan jenjang ketiga, pertemuan. Pertemuan atau jodoh ini juga diatur oleh Allah Swt.
“Kalau ada umur, mau berusaha akan mendapatkan rezeki, jika sudah ada rezeki maka akan mudah bertemu. Kesemua itu sudah ditentukan oleh Allah Tuhan Yang Mahakuasa,” demikian dijelaskan Ibu Latifah (68 tahun) seorang warga, tentang filosofi tangga rumah di Gosong Telaga itu.
Bukan itu saja, di era tahun 50-an hingga 70-an di depan rumah-rumah terdapat taman yang dihiasi beraneka macam bunga dan pohon pelindung yang membuat suasana kampung itu semakin teduh, rindang, asri, dan sejuk. Kesannya perkampungan Gosong Telaga sangat asri dan ramah lingkungan.
Tentang penataan Kemukiman Gosong Telaga ini, Muzakkir Walad Gubernur Aceh saat berkunjung ke Gosong Telaga tahun 1972, sempat memberikan apresiasi yang tinggi dan berkomentar, “Melihat Gosong Telaga seperti melihat miniaturnya Kota Paris. Ibu kotanya Perancis,” begitu ungkap sang gubernur karena saking takjubnya kepada Kemukiman Gosong Telaga.
Begitu tertariknya Muzakkir terhadap Gosong Telaga, konon ia membuat duplikat Gosong Telaga ini di kampung halamannya, Montasik, Aceh Besar.
Keunikkan lain, meskipun kemukiman penghasil ikan ini wilayahnya kecil. Namun penduduknya heterogen. Ada etnis Batak, Aceh, Minang, Singkil Hulu, dan Nias. Oleh sebab itulah penduduk kampung ini lebih dinamis, semarak, dan menakjubkan.
Tentang keanekaragaman etnis di Gosong Telaga ini, ternyata bukanlah suatu hambatan dan membuat di kemukiman ini acap terjadi konflik. Justru kepluralan etnis tersebut, menyimpan keunikan tersendiri dan sebagai kohesi sosial dalam menjalankan hidup dan kehidupan di Gosong Telaga.
Pembauran etnis dan kultur sudah mengkristal sejak lama. Kawin silang antar etnis sudah kelaziman. Bahkan, perkawinan antar saudara pun (asal tidak bertentangan dengan ajaran agama) kerap dilaksanakan.
Sehingga tidak heran, di Gosong Telaga antara keturunan dan etnis yang satu dengan yang lain bersangkut paut alias berfamili. Orang-orang kampung sering mengatakan masyarakat Gosong Telaga ibarat seperangkat jala. Jaringnya lebar, kuat berangkai. Tapi terajunya hanya satu. Hal ini pulalah yang menjadikan tutur sapa (baso) di Gosong Telaga sangat familiar, teratur, sopan, dan akrab.
Pembauran kultural, bahasa misalnya, masyarakat Gosong Telaga, umumnya menggunakan bahasa aneuk jame atau bahasa Minang sedikit beraksentuasi atau berlogat Batak. Adat istiadatnya pun, nampaknya proses asimilasi dari berbagai rumpun adat yang ada. Adat Aceh tidak ketinggalan, adat Batak ada, adat Minang apalagi, adat-adat daerah lain juga kelihatan.
Di sini jelas, telah terjadi akulturasi budaya yang nyaris sempurna. Miniatur Bhineka Tunggal ika, agaknya berwujud di Kemukiman Gosong Telaga. Sehingga tersimpul dan terbingkai dalam satu kata Gosong Telaga beradatkan Adat Melayu Pesisir.
Pokoknya, kecantikan dan keelokan kemukiman ini tak terkira dan nyaris sempurna. Cantiknya, bak anak dara yang berdandan sedang duduk bersanding di pelaminan. Kulturnya, hasil kristalisasi yang sempurna dan paripurna. Menyiratkan kesan tersendiri.
Karena kesan itu pulalah, di era tahun 1973 Gosong Telaga kembali dinobatkan Pemerintah Pusat sebagai pemukiman terbaik dalam melaksanakan pembangunan dan menjaga keamanan dan ketertiban di Indonesia yang piagamnya diteken Ahmad Tahir, sebagai Komando Wilayah Pertahanan-1 Sumatera.
Nah, inilah sekelumit kisah kampung saya. Semoga kisah ini bermanfaat dan menambah khazanah pengetahuan.[]