Penyair Aceh Syarifuddin Aliza tahun ini merilis buku Kumpulan puisi terbarunya bertajuk “Surat dari Hulu”. Ada sebanyak 164 puisi yang dihimpun Syarifuddin Aliza dalam bukunya itu yang sebagian besar memotret realitas sosial yang berserakan di ruang publik.
Sastrawan Indonesia Sulaiman Juned yang menjadi editor sekaligus memberikan kata pengantar dalam buku tersebut mengatakan, membaca “Surat dari Hulu” karya Syarifuddin Aliza adalah membaca kegelisahan, kecemasan, kebahagiaan, kedukaan, sakit, perih, senang, baik tentang diri sang penyair maupun tentang orang lain, alam semesta, serta ketuhanan.
“Hal ini tentu bukanlah pekerjaan kebetulan, sebab penyair setiap saat membaca kehidupan lalu dikontemplasikannya dan berangkat dari realitas sosial menjadi realitas sastra (puisi),” kata Sulaiman Juned yang juga sedang menunggu kelahiran buku kumpulan esainya berjudul “Teater, Memungut Gagasan Tradisional Jadi Karya Modernitas”.
Menurut Sulaiman Juned, Syarifuddin Aliza dalam merebut fenomena yang berserakan menemukan peristiwa dalam kehidupan, lalu dengan cerdas meneriakkan kegelisahan batinnya melalui bahasa puitik yang menarik.
“Inilah yang harus dilakukan penyair ketika pikirannya berkelahi dengan gagasan yang direbutnya untuk direnungi dalam melahirkan puisi,” katanya.
Merujuk pendapatnya itu, ungkap Sulaiman, ini pula yang sedang terjadi dengan penyair Syarifuddin Aliza. Syarifuddin menemukan fenomena yang terjadi pada dirinya, alam, dan negerinya sehingga puisi-puisi dalam kumpulan bertajuk “Surat dari Hulu” berbicara tentang rindu dan kerinduannya, tentang keadilan dan ketidakadilan, tentang kritik sosial, dan tentang politik secara universal.
“Penyairnya membaca gejala sosial yang bertebaran di ruang sosial. Selanjutnya tertuang jadi puisi setelah melalui proses kontemplasi (perenungan) jiwa berangkat dari realitas sosial dirinya, keluarganya, juga masyarakat di sekitarnya,” tambah Sulaiman Juned yang juga dosen jurusan Teater ISI Padang Panjang.
Syarifuddin Aliza lahir di Cot Seumeureng, Aceh Barat pada 23 Agustus 1967. Ia mendebut karir kepenyairan secara otodidak sejak 1987. Puisinya kerap dimuat di harian lokal Serambi Indonesia pada dekade 90-an dan terkumpul dalam beberapa antologi Bersama, antara lain Seulawah, Keranda-keranda, Bulir Mutiara Pantai Barat, Deru Pesisir Pantai Barat, Antologi Puisi Pasie Karam, DKAB Aceh Barat (2016), Antologi Puisi Kopi Dunia Takengon (2016), Epitaf Kota Hujan, Padang Panjang (2018), dan beberapa antologi bersama lainnya.
Ia bekerja di Kementerian Agama Aceh Barat sejak 1998 dengan berbagai posis, terakhir sebagai Penghulu Ahli Madya pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Johan Pahlawan Aceh Barat. Di samping itu, juga berkiprah di Dewan Kesenian Aceh Barat sebagai Wakil Ketua I. Istri pertamanya Sitti Aisyah (almarhumah) yang meninggal dunia pada saat bencana tsunami Aceh 2004, adalah juga seorang penyair Bumi Teuku Umar.
Sejak 2009, ia menetap di Peureumeue Aceh Barat bersama seorang istri Masriani dan seorang anak Dian Rizqie Ananda, S.IP. (Soeryadarma Isman)