Bagian Ke dua
Oleh Azharsyah Ibrahim
Tgl 12 Desember 2019 merupakan hari pertama di Thailand yang kami isi dengan mengunjungi Masjid Jawa yang kebetulan terletak sekitar 350 meter dari lokasi kami tinggal. Kegiatan ini memang sudah masuk dalam agenda yang sudah diatur sebelumnya. Kami berangkat ke situ sekitar satu jam sebelum magrib sehingga masih sempat untuk mengabadikan berbagai momen yang kami temui dalam perjalanan.
Untuk sampai ke masjid ini, kami harus melalui jalan-jalan sempit yang hanya cukup untuk satu arah lintasan mobil, tapi sepertinya jalur ini hanya satu arah karena saya tidak pernah melihat mobil yang menuju ke arah yang berlawanan. Hanya sepeda motor yang melintas dengan pola dua arah. Jalan menuju masjid dipenuhi dengan ruko-ruko yang menjual beraneka ragam barang. Di bagian terasnya, mereka juga meletakkan meja-meja untuk menjual makanan. Semakin mendekati lokasi masjid, saya melihat pedagang makanan yang berjilbab atau dengan logo halal, atau muslim food semakin banyak. Ini menandakan bahwa masyarakat Muslim umumnya menetap di lokasi yang berdekatan dengan masjid, setidaknya di kawasan ini.
Setiba di masjid, kami sempat berfoto di plang logo dan tulisan masjid yang terletak di pagar masjid dekat ke pintu masuk. Di situ sudah ada beberapa jamaah yang hadir dan kami sempat ngobrol dengan mereka tentang beberapa hal, tepatnya memperkenalkan diri sebetulnya. Kami melihat sepertinya mereka sedang mempersiapkan sesuatu yang kemudian kami tahu bahwa itu adalah untuk persiapan wirid dan yasinan malam Jumat.
Kunjungan kami ke sini sebenarnya sudah diinformasikan oleh panitia, dan Pak Imam akan mengalokasikan waktu khusus untuk kami, tetapi yang kami dengar bukan malam itu. Jadi praktisnya kami datang hanya untuk melihat keadaan masjid Jawa ini sekaligus shalat magrib berjamaah.
Seorang wanita bernama Ibu Mariam menyambut kami dengan ramah. Beliau mempersilahkan kami masuk dan duduk berkumpul untuk kemudian menceritakan sejarah dan asal usul masjid Jawa. Kebetulan waktu magrib masih sekitar setengah jam lagi.
Gambar 4. Di depan Masjid Jawa
Dengan bahasa Indonesia campur Melayu yang terbata-bata, Ibu Mariam menjelaskan bahwa masjid Jawa ini sudah berumur ratusan tahun yang didirikan oleh pendatang asal tanah Jawa. Mereka merupakan ahli tata taman yang diminta oleh Raja Chulalongkorn (dulu bernama Siam) untuk merancang dan membuat taman-taman kerajaan.
Ceritanya, dalam suatu kunjungan ke suatu tempat di Jawa, raja Siam tersebut melihat taman-taman yang bagus, sehingga tertarik untuk memiliki taman yang serupa, sehingga dicarikanlah para ahli yang bersedia untuk ke Siam. Oleh raja, mereka disambut dengan baik dan diberikan tempat tinggal dan upah yang layak. Inilah yang disebut sekarang sebagai kampung Jawa.
Kampung Jawa yang ada sekarang merupakan generasi ketiga dari orang Jawa yang dibawa oleh Raja Chulalongkorn ke Bangkok. Menurut sumber lain, generasi awal penduduk kampung Jawa ini merupakan pekerja paksa yang diangkut oleh Jepang pada zaman perang dunia II.
Gambar 5. Ibu Mariam sedang menjelaskan sejarah Masjid Jawa
Ada yang menarik dari pengelolaan masjid ini. Menurut Imam masjid, Rangsan bin Kamson Muslimin, hampir semua masjid di Thailand dikelola secara mandiri karena tidak ada support dari pemerintah. Menurut sumber yang lain, pemerintah ada mengalokasikan dana untuk badan-badan sosial seperti masjid, tetapi jumlahnya sangat sedikit. Menurut Rangsan, dana masjid ini murni diperoleh sepenuhnya dari sumbangan masyarakat yang hidup di sekitar masjid atau yang punya keterikatan batin dengan masjid, misalnya orang-orang yang dulunya berasal dari situ, tetapi kemudian sudah sukses di tempat lain.
Mereka biasanya membayar zakat ke masjid ini. Tetapi penghasilan utama masjid berasal dari bazar yang diadakan beberapa kali dalam setahun. Jumlah yang didapat, menurut Rangsan, lebih dari cukup untuk membiayai operasional masjid. Menurut Rangsan, masyarakat muslim yang hidup di sekitar masjid bukanlah masyarakat miskin. Mereka bekerja di berbagai sektor, seperti pengusaha properti, bisnisman, pedagang, dan juga ada yang bekerja sebagai pegawai negeri. Untuk Thailand secara keseluruhan, Muslim ada juga yang terjun ke dunia politik dan menjadi anggota parlemen.
Gambar 6. Imam Rangsan sedang menjelaskan pengelolaan Masjid Jawa
Secara umum, masjid Jawa ini tertata dengan baik dan didukung dengan pendanaan yang memadai. Hal ini terlihat dari berbagai fasilitas yang dipunyai masjid in mulai dari AC, karpet tebal, peralatan kenduri lengkap, ruang pertemuan, belajar, dan lain sebagainya. Kebersihan masjid ini juga terjaga dengan baik termasuk toilet dan tempat wudhunya yang bersih. Hasil wawancara saya dengan Imam Rangsan terkait pengelolaan masjid dilakukan semuanya secara sukarela dan ikhlas yang berlandaskan fastabiqul khairat. Dalam suatu komunitas yang minoritas hal tersebut sangat memungkinkan terjadi. Begitulah masjid ini dikelola.
Hal yang lebih kurang sama terjadi di Masjid Indonesia, yang berjarak tidak begitu jauh atau sekitar 5,5 km dari Masjid Jawa. Dari sisi bentuk dan fasilitas, Masjid Indonesia terlihat lebih mewah dari Masjid Jawa. Masjid ini terdiri dari tiga tingkat yang tiap-tiap tingkatnya dilengkapi dengan karpet tebal dan AC yang sejuk dengan pintu-pintu kaca. Ketika kami mengunjungi Masjid di hari kedua kedatangan sambil melaksanakan shalat Jumat, kami disambut dengan ramah oleh seorang perempuan tua, tetapi masih sangat energik dan terlihat sangat ikhlas. Terakhir kami tahu bahwa beliau, Hajjah Hasni, merupakan pengelola dan donor tunggal masjid itu. Beliau tidak pernah menikah karena katanya tidak menemukan jodoh yang sepaham dalam agama. Daripada tidak dapat menjalankan kewajiban agamanya dengan baik, beliau memilih untuk tidak menikah. Sebelumnya beliau bekerja di suatu lembaga PBB dan ketika pensiun beliau menggunakan seluruh dana pensiunnya merehab masjid tersebut sehingga terlihat seperti bentuknya sekarang.
Selesai Jumat kami diundang ke rumahnya yang terletak persis di depan masjid untuk menikmati sajian teh khas dan beberapa makanan ringan khas Thailand. Kami juga makan siang bersama di sana yang kebetulan nasinya sudah dibeli sebelumnya oleh panitia yang mengantar-antar kami. Disinilah kami mendapati penjelasan yang panjang lebar mengenai keadaan dan asal usul masjid ini. Di tempat ini kami juga bertemu kembali dengan Imam Rangsan yang rupanya juga menjadi khatib tetap di masjid itu.
Gambar 7. Susana di dalam masjid Jawa yang bersih dan sejuk
Satu hal yang menjadi kekhawatiran saya adalah keberlanjutan dari manajemen masjid ini dan Masjid Jawa. Mereka kekurangan sumber daya yang bisa menjadi Imam, yang bisa mengajar al-Quran, yang bisa menjadi pemimpin agama tempat mereka bisa bertanya, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan panutan keagamaan. Orang-orang yang mengelola masjid ini sekarang rata-rata sudah berusia lanjut. Imam Rangsan, misalnya, sudah berusia 77 tahun, sementara Ibu Mariam sekitar 61 tahun. Hajjah Hasnah yang mengelola dan mendanai Masjid Indonesia, juga sudah berusia 77 tahun, sebaya dengan Imam Rangsan yang ternyata Ayah mereka bersahabat dengan baik, begitu juga dengan mereka. Inilah yang saya kira perlu dipikirkan bersama oleh masyarakat Muslim terutama dari negara-negara tetangga yang mayoritas seperti Indonesia dan Malaysia untuk mensupport apapun yang dibutuhkan seperti pemberian beasiswa bagi mahasiswa Thailand agar dapat dididik menjadi imam sehingga dapat menjadi pemimpin di berbagai komunitas Muslim di Thailand.
Gambar 8. Hajjah Hasnah yang mengelola masjid Indonesia (kiri) dan Imam Rangsan (kanan) yang mengelola Masjid Jawa sudah berusia 77 tahun