banjir bandang Aceh Tenggara
Oleh Team Walhi Aceh
Bencana banjir bandang dan tanah longsor semakin sering melanda sejumlah daerah di Aceh belakangan ini. Peristiwa banjir badang dan tanah longsor itu terjadi silih berganti, seakan-akan banjir, termasuk banjir bandang dan tanah longsor tersebut menjadi peristiwa biasa. Apalagi kini di musim hujan dan perubahan iklim yang ekstrim, perisriwa banjir bandang dan tanah longsor semakin tidak dapat dicegah lagi. Bencana banjir dan tanah longsor yang masih menyisakan penderitaan adalah peristiwa banjir bandang dan tanah longsor yang menerjang desa Natam Baru, kecamatan Badar, Aceh Tenggara pada Jumat, 30 November 2018 lalu yang merusak dan menghanyutkan sekitar 23 rumah serta ratusan hectare lahan pertanian masyarakat serta gagal panen. Selain itu tumpukan puing bangunan dan kayu gelodongan yang dihanyutkan banjir bandang hingga beberapa hari pasca banjir, masih belum dibersihkan.
Bukan hanya itu, sejumlah desa lain juga terkena dampak banjir bandang, seperti Desa Jonggar Kayu Mentangur, Kecamatan Ketambe, Desa Tuah Kerine, Desa Bunbun Indah, Bunbun Alas, Arih Mejile, Permata Musara dan Desa Seurakut, Kecamatan Leuser. Banjir bandang tersebut terjadi bukan hanya karena diguyur hujan deras, tetapi karena banyak hutan yang telah rusak sehingga menyebabkan banjir bandang. Namun, alasan yang paling mudah adalah menyalahkan hujan yang deras.
Sebelum bencana bajir bandang yang menerjang wilayah Aceh Tenggara, banjir sudah melanda beberapa kecamatan di Aceh Utara, Bireun, Aceh barat, Aceh Barat Daya, Aceh selatan dan Aceh Singkil. Pendeknya, bencana banjir serta banjir bandang dan tanah longsor akan terus terjadi sejalan dengan perubahan cuaca ekstrim . Rentetan kejadian banjir, banjir bandang dan tanah longsor di tahun 2018 tersebut sudah banyak membawa dampak terhadap masyarakat.
WALHI Aceh mencatat, selama tahun 2018 telah terjadi bencana sebanyak 91 kali yang tersebar di 16 kabupaten/kota di Aceh. Banjir menjadi bencana yang paling sering terjadi yaitu 43 kali, selain banjir juga terjadi kebakaran hutan 18 kali, kekeringan 8 kali, puting beliung 6 kali, longsor 3 kali, angin kencang 7 kali, abrasi 3 kali, dan erosi 2 kali.
Tingkat kerugian tertinggi disebabkan oleh banjir yang mengakibatkan 446 rumah dan 5 sekolah terendam dan rusak, ± 12.339 ha sawah gagal panen, 50.259 jiwa mengungsi, total kerugian yang diakibatkan oleh banjir mencapai Rp726,6 miliar. Kebakaran hutan mengakibatkan ± 487 ha hutan dan lahan rusak, kerugian ditaksir mencapai Rp107 miliar. Kekeringan mengakibatkan ± 12.064 ha sawah tidak dapat dialiri dan puso, kerugian akibat kekeringan mencapai Rp114,8 miliar. Angin kencang mengakibatkan 260 rumah rusak dan 5 korban jiwa, kerugian mencapai Rp10,9 miliar. Puting beliung mengakibatkan 175 rumah rusak dan 5 korban jiwa, kerugian mencapai Rp7 miliar.
Total dampak yang ditimbulkan oleh bencana mencakup 897 rumah rusak, ± 3.200 meter jalan rusak, 5 sekolah rusak, ± 24.423 ha sawah gagal panen, 50.270 jiwa mengungsi, 1.728 jiwa mengalami krisis air, dan ± 487 ha hutan dan lahan terbakar. Total kerugian yang dialami akibat bencana alam mencapai Rp 969,32 miliar. Sebuah nilai kerugian yang sangat besar, bukan?
Sangat besar memang. Apalai bila kita melihat fenomena alam yang semakin tidak bersahabat yang ditandai dengan kian seringnya terjadi bencana banjir di Aceh saat ini. Kondisi ini semakin memperburuk kondisi lingkungan hidup dan masa depan lingkungan di Aceh serta menjadi pertanda bahwa bencana ekologis akan mengancam Aceh di tahun-tahun mendatang. Seharusnya, semua pihak bangkit dan sadar untuk menyelamatkan hutan dari aksi perambahan hutan secara legal dan illegal di hutan Aceh yang semakin sengsara.