Oleh: Dian Rubianty
Sebut saja beliau Bu Ati. Setelah kepergian suami pertamanya, beliau memutuskan untuk menerima lamaran seorang laki-laki yang berjanji akan membahagian beliau dan anak-anaknya. Bu Ati menikah lagi tak hanya karena desakan ekonomi. Tapi juga dengan pertimbangan, anak-anaknya membutuhkan sosok seorang ayah dalam proses tumbuh-kembang mereka. Namun malang, niat baik ini malah berbuah petaka. Sosok laki-laki yang seharusnya menjadi pelindung keluarga, justru menghancurkan mereka dengan menistakan putri Bu Ati, yang ketika itu berusia lima tahun.
Angka Kekerasan Seksual Terhadap Anak Masih Tinggi
Kisah Bu Ati bukan satu-satunya kasus yang terjadi di Aceh. Ada banyak kisah, dengan berbagai modus dan beragam pelaku. Walaupun sudah ada Undang Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang diperkuat dengan Qanun No. 11 Tahun 2008, angka kekerasan sesksual terhadap anak di Propinsi Aceh, secara nasional, masih tergolong tinggi.
Di Banda Aceh, misalnya, kasus kekerasan seksual terhadap anak yang dilaporkan pada Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) terus meningkat. Menurut salah satu konselor di sana, tahun 2014 ada 25 kasus yang dilaporkan, meningkat menjadi 50 kasus di tahun 2015 dan 81 kasus di tahun 2016 (Modus, 2017). Kita tidak boleh berasumsi, hal ini terjadi karena meningkatnya kesadaran masyarakat untuk melapor. Betul, partisipasi masyarakat dalam gerakan perlindungan anak terus meningkat. Namun data juga menunjukkan kondisi yang cukup memprihatinkan, sebagaimana disampaikan oleh Sekretaris Daerah Propinsi Aceh, dalam sebuah temu koordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan (website Pemprov Aceh, 2017).
Gampong Siaga?
Sebagai orang tua, kita ingin anak tumbuh bahagia. Mereka bisa menikmati masa kecilnya dengan nyaman dan aman, bebas bermain dan belajar tanpa was-was. Namun, kemungkinan hadirnya predator anak sungguh mencemaskan. Lantas apa yang bisa kita lakukan bersama?
Dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2008 Pasal 55 dan 56, dijelaskan tentang peran aktif masyarakat dalam gerakan perlindungan anak. Pasal ini mengingatkan kita pada sebuah peribahasa dari Afrika, “It takes the whole village to raise a child” (Dibutuhkan seluruh warga gampong untuk membesarkan seorang anak). Kearifan lokal yang juga ada dalam budaya di gampong kita. Hanya saja, “modernisasi” perlahan menggerus nilai mulia ini.
Kesibukan, desakan ekonomi dan dampak teknologi adalah beberapa sebab yang kerap menjadikan kita “sibuk sendiri-sendiri”. Seakan, kita merasa cukup dengan “urus diri masing-masing”. Mungkin, inilah awal yang membuat kita bisa saling tak peduli.
Mengembalikan “Gampong Siaga” adalah salah satu langkah yang bisa dilakukan bersama oleh warga masyarakat. Pertama, mari kembali peduli. Bahwa keamanan dan kenyamanan satu anak, adalah kepentingan setiap warga gampong. Bahwa setiap anak di gampong adalah anak kita.
Kami ingat masa kecil dulu, saat berpetualang ala anak kecil menelusuri gampong. Menjelang azan maghrib, orang dewasa yang berpapasan dengan kami, pasti akan mengingatkan. “Ka jeut jak wo, meutuwah. Ka rhap meugreb.” (Sudah boleh pulang, sudah menjelang maghrib). Atau bila kami bermain terlalu jauh dari rumah, akan ada orang dewasa yang mengingatkan, “Hai bek jioh that, dimita le Ma, hai neuk.” (Jangan bermain terlalu jauh, nanti dicari ibumu, Nak). Peringatan ini kami patuhi, seakan mendengar suara ayah-bunda sendiri. Karena anak melihat, bagaimana orang dewasa di gampong saling peduli, saling menjaga. Kami tidak menganggap mereka sebagai orang nyinyir yang sibuk mengurusi urusan orang lain.
Kepedulian bersama inilah yang perlu kita bangun kembali. Ia mulai absen dalam kehidupan di sebagian gampong kita. Padahal saling peduli adalah modal utama mencegah hal buruk terjadi pada setiap anak yang ada di gampong kita.
Langkah kedua yang bisa kita lakukan adalah dengan mewujudkan kepedulian menjadi aksi bersama. Ketika berkesempatan belajar di negeri seberang, “Neighborhood Watched” (Lingkungan Yang Diawasi) adalah salah satu hal yang menarik perhatian kami. Di jalan gampong, banyak papan bertulisan “Neighborhood Watched” dipasang. Tentu bukan sekedar dipasang. Warga siap melapor dan menindak, misalnya, bila ada mobil yang melaju di atas batas kecepatan maksimal, melewati jalan di lingkungan mereka. Mereka juga akan melaporkan bila ada hal-hal yang mencurigakan. Tentunya aksi bersama ini butuh dukungan dari pemerintah. Harus ada mekanisme hukum yang jelas dan penegakan hukum yang tegas setelah warga melapor.
“Neighborhood Watched” sebenarnya bukan hal yang baru untuk gampong kita. Adanya pos jaga dan aturan “tamu wajib lapor setelah 24 jam” adalah contoh penerapan dari prinsip ini. Yang diperlukan lagi-lagi kepedulian kita, untuk saling menjaga.
Selain menciptakan lingkunga tumbuh kembang yang nyaman dan aman, selanjutnya anak juga perlu diajarkan, dengan bahasa yang sederhana sesuai usianya, bahwa tubuh mereka adalah milik mereka. Tidak boleh ada yang menyentuh tanpa ijin, apalagi bila sentuhan itu membuat mereka merasa tidak nyaman.
Komunikasi dan edukasi berkelanjutan dengan anak-anak sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya kekesaran seksual pada anak. Biasanya anak yang menjadi korban adalah anak yang tidak tahu bahwa hal itu tidak boleh dilakukan oleh orang dewasa terhadap dirinya. Jika musibah itu terjadi, banyak anak tidak berani bicara karena takut. Yang paling menyedihkan adalah bila mereka dibuat oleh pelaku, untuk merasa bahwa hal itu terjadi karena kesalahan mereka. Ini akan menjadi beban dan luka psikologis yang akan terbawa sepanjang hidup mereka.
Sebagai orang tua, tak satu pun kita ingin hal ini terjadi. Karena anak adalah buah hati. Sibiran tulang, demikian sebutan Baginda Rasulullah Saw. Mari saling peduli, membangun gampong yang ramah anak, tempat mereka tumbuh bahagia menimati masa kecil tanpa kekerasan. Gampong ramah anak ini tidak mustahil wujud, karena bersama kita pasti bisa.
Note: Setiap naskah lomba yang dimuat pada portal www.potretonline.com sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Setiap artikel lomba tidak melalui proses editing.