Dengarkan Artikel
Oleh: Novita Sari Yahya
Sebagai seorang ibu, istri, sekaligus peneliti yang gemar menulis satire, saya menyambut hangat penetapan Hari Komedi Nasional setiap 27 September. Tanggal ini seolah memberi izin resmi bagi bangsa Indonesia untuk menertawakan realitas, bahkan kalau perlu, menertawakan diri sendiri. Karena, seperti kata Gus Dur: “Hidup itu lucu. Yang tidak lucu itu kalau kita tidak sadar sedang dilucu-lucuin.”
Humor: DNA Sosial Orang Indonesia
Mochtar Lubis pernah menulis bahwa salah satu sifat manusia Indonesia adalah artistik, dan salah satu bentuk artistik paling jujur adalah humor.
Kita boleh berbeda keyakinan, suku, bahkan pilihan capres, tapi kalau sudah menertawakan hal yang sama, biasanya kita sependapat bahwa hidup memang absurd.
Dari obrolan warung kopi hingga ruang sidang DPR, dari TikTok sampai WhatsApp Group keluarga besar—humor menjadi penyeimbang antara stres dan kewarasan kolektif. Tak heran bila banyak orang bilang: “Di Indonesia, kalau kamu tidak bisa menertawakan keadaan, kamu akan cepat masuk rumah sakit jiwa.”
Sejarah Humor Politik Indonesia
Humor politik bukan barang baru di negeri ini. Pada masa Orde Baru, ketika kebebasan berbicara dibatasi, rakyat menyalurkan kritik melalui guyonan. Lelucon beredar diam-diam: dari warung ke kampus, dari salon ke pos ronda. Itu cara rakyat menegur kekuasaan tanpa mengundang intel.
Humor menjadi bambu runcing non-fisik—tajam, tetapi lucu; ringan, tapi mengandung risiko.
Kini, setelah reformasi membuka keran demokrasi, humor tak lagi sembunyi-sembunyi. Ia menjelma menjadi meme, video, dan komentar sarkastik yang berseliweran di media sosial. Bentuknya berubah, tapi fungsinya tetap: mengingatkan bahwa kekuasaan yang terlalu serius biasanya sedang kehilangan rasa humor… dan juga nalar.
Gus Dur: Filosof Tawa dan Pelawak Politik yang Merdeka
Dan bicara soal humor politik, siapa lagi ikon nasional kita kalau bukan Abdurrahman Wahid—Gus Dur.
Beliau adalah satu dari sedikit pemimpin yang bisa menertawakan dirinya sendiri. Bagi Gus Dur, tawa adalah cara untuk tetap waras di tengah kekuasaan yang mudah bikin lupa diri.
Konon, ketika bertemu Bill Clinton, Gus Dur berkata,
“Kita sama-sama punya masalah, Pak Clinton. Bedanya, Anda dengan Monica, saya dengan monarki.” Clinton tertawa, meski mungkin dalam hati berpikir, “Orang ini bisa bercanda bahkan soal dirinya sendiri?”
Bahkan Vladimir Putin, yang dikenal keras, konon sempat terdiam sebelum tertawa kecil ketika Gus Dur berkata,
> “Kalau semua pemimpin dunia terlalu serius, nanti rakyatnya stres. Biarlah saya yang bagian bikin lucu.”
GusDur tahu betul bahwa tawa bukan sekadar hiburan, tapi senjata moral.
Ia pernah berkata:
> “Kalau pemerintah bikin rakyat ketawa, itu bagus. Tapi kalau rakyat menertawakan pemerintah, itu tanda demokrasi sehat.”
Humornya tidak sekadar lucu, tapi menohok seperti pil pahit yang dibungkus permen. Maka, tak berlebihan jika kita menyebut Gus Dur bukan hanya pelawak politik, melainkan filsuf tawa yang menertibkan akal sehat bangsa lewat guyonan.
Humor sebagai Mata Uang Sosial Baru
Kini, di era digital, humor adalah “mata uang sosial” yang paling laku.
Ribuan meme beredar tiap hari di TikTok, X (dulu Twitter), Facebook, dan WhatsApp Group. Kadang jenakanya halus, kadang tajam, kadang absurd tapi selalu punya daya pukul.
Indonesia memang tidak kekurangan komedian. Bahkan sebagian pejabat terlihat seperti stand-up comedian yang tidak sadar sedang tampil di panggung publik.
Kebijakan absurd, pidato penuh plesetan, dan drama birokrasi seringkali menjadi bahan lelucon rakyat. Antara kebijakan dan komedi, batasnya begitu tipis. Kadang hanya setipis kuitansi perjalanan dinas.
Dan yang paling menarik, humor kini bukan hanya menghibur, tapi juga mengkritik dengan cerdas. Kalau dulu rakyat punya bambu runcing, kini kita punya meme runcing yang viralnya bisa menembus istana.
Bahkan beberapa warga asing sampai kewalahan menghadapi “pasukan jempol” netizen Indonesia. Israel pernah kebanjiran komentar dari akun-akun beravatar kucing bertuliskan, “Warga +62 bersatu melawan kebosanan dunia.”
Di titik itu, mungkin para diplomat luar negeri mulai sadar: menghadapi humor orang Indonesia jauh lebih rumit dari menghadapi diplomasi PBB.
Menkeu, Meme, dan Baper Nasional
Tak hanya antarnegara, humor juga merembes ke ruang politik domestik.
Ketika debat antarpejabat memanas, publik malah bereaksi dengan meme dan candaan.
Seperti perseteruan antara Menkeu Purbaya dan beberapa pejabat lain, yang bagi rakyat justru tampak seperti situasi komedi politik. Alih-alih marah, rakyat memilih tertawa, sambil bergumam, “Gitu aja kok repot.”
Karena memang, di negara dengan kreativitas setinggi ini, bahkan perdebatan serius bisa berakhir jadi konten lucu.
Dan mungkin, jika Gus Dur masih hidup, beliau hanya akan menepuk bahu kita sambil berkata,
> “Jangan suka baper, nanti dikira nggak paham demokrasi.”
Tawa sebagai Kearifan Nasional
Maka, penetapan 27 September sebagai Hari Humor Nasional bukan sekadar simbol.
Simbol yang menjadi pengakuan bahwa bangsa ini tetap bertahan bukan hanya karena minyak, tambang, atau sawit tapi karena kemampuan untuk tertawa.
Di tengah drama politik, ekonomi, dan sosial, tawa menjadi oase yang menjaga kita dari sinisme total.
Mungkin sudah waktunya kita resmikan semboyan baru:
> “Gitu aja kok repot”
sebagai versi santai dari Bhinneka Tunggal Ika. Karena di negeri ini, kadang persatuan lebih mudah diraih lewat tawa bersama daripada lewat rapat kabinet.
Penutup: Waras Bersama Lewat Tawa
Mari rayakan humor bukan sekadar sebagai hiburan, tetapi sebagai kearifan lokal yang menyatukan bangsa. Karena di negeri yang segalanya bisa jadi bahan lucu, satu-satunya cara untuk bertahan waras adalah menertawakan ketidakwarasan itu sendiri.
Dan seandainya Gus Dur masih ada, mungkin beliau akan menutup pidatonya dengan satu kalimat yang kini terasa makin relevan:
> “Kalau hidupmu terlalu serius, nanti dikira kamu pejabat.”
Novita sari yahya
Penulis dan peneliti.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini





Silahkan Komentar