Dengarkan Artikel
Oleh: Dr. Kandar, MAP.
Deputi Bidang Penyelamatan dan Pelestarian ANRI
Senin pagi, 1 September 2025. Layar-layar komputer di berbagai penjuru negeri menyala serentak. Dari Jakarta, Bogor, Bandung, hingga Banda Aceh, pegawai Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) hadir dalam satu ruang virtual. Tak ada barisan fisik di lapangan, tak ada derap langkah di halaman kantor, namun apel pagi tetap berlangsung dengan khidmat.
Wajah-wajah dalam kotak-kotak kecil itu sejenak menunduk, mengheningkan cipta. Doa dipanjatkan, bukan hanya untuk para pahlawan bangsa yang telah gugur, tetapi juga untuk rekan kerja yang baru saja dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Dari ruang kerja masing-masing, kesunyian itu terasa menyatukan.
Namun, apel kali ini bukan sekadar rutinitas. Di luar sana, bangsa tengah diuji. Aksi massa pecah di berbagai kota, menelan korban jiwa, melukai banyak orang, dan menyisakan luka di hati kita semua. Jalanan bergolak, spanduk protes terbentang, dan suara demonstran menggema. Di tengah riuh itu, amanat apel pagi hadir dengan pesan tegas:
“Arsip harus tetap dijaga, apapun yang terjadi.”
Arsip, Benteng Sunyi Bangsa
Bagi sebagian orang, arsip mungkin hanya tumpukan kertas tua, berdebu di rak penyimpanan. Padahal, di dalam setiap lembar arsip tersimpan denyut nadi bangsa: keputusan penting, perjanjian bersejarah, rekam jejak pengabdian. Arsip adalah memori kolektif yang memastikan bangsa ini tetap punya pijakan.
“Kehilangan arsip berarti kehilangan pertanggungjawaban publik, bahkan kedaulatan bangsa.”
Konvensi Den Haag 1954 menyebutkan, dalam perang sekalipun, arsip tak boleh dihancurkan karena ia bagian dari kekayaan budaya umat manusia. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 menegaskan hal yang sama: negara wajib melindungi arsip dari bencana alam, sabotase, spionase, hingga terorisme.
Sejarah yang Mengajarkan
Tanggal 1 September juga menyimpan makna lain. Enam puluh empat tahun lalu, di Beograd, Indonesia bersama Mesir, India, Yugoslavia, dan Ghana melahirkan Gerakan Non-Blok. Sebuah sikap berani: berdiri independen di tengah tarikan Blok Barat dan Blok Timur pada masa perang dingin.
Arsip peristiwa bersejarah itu kini tersimpan rapi di ANRI. Pada 2023, arsip KTT GNB berhasil diakui UNESCO sebagai Memory of the World, hasil nominasi bersama Indonesia, Serbia, India, Mesir, dan Aljazair.
“Dari ruang arsip yang sunyi, Indonesia bisa bicara di panggung dunia.”
Prestasi ini menunjukkan, arsip bukan sekadar dokumen masa lalu. Ia bisa menjadi instrumen diplomasi lunak, mengangkat nama bangsa di forum internasional.
ASN: Penjaga Memori, Penjaga Stabilitas
Dalam apel pagi online itu, pesan lain juga ditegaskan. Bahwa aparatur sipil negara (ASN) bukan hanya birokrat yang mengisi formulir atau menuntaskan laporan. ASN adalah penjaga memori kolektif bangsa.
Tiga sikap ditekankan: Proaktif, Partner, dan Problem Solving. ASN harus hadir dengan inisiatif, membangun kolaborasi, dan menjadi solusi, bukan masalah.
“ASN bukan sekadar birokrat, melainkan pengelola memori bangsa.”
Di tengah suasana sosial yang memanas, sikap ini menjadi kunci. ASN yang proaktif bisa menenangkan situasi dengan pelayanan sigap. ASN yang mau bermitra bisa menjembatani komunikasi antar lembaga. ASN yang berpikir solusi bisa mencegah konflik melebar.
Ritual Senin yang Berarti
Apel pagi online setiap Senin mungkin tampak sederhana. Tak ada bendera dikibarkan, tak ada mikrofon menggema. Namun, di balik kesederhanaan itu ada makna besar. Ia adalah ritual yang mengingatkan kita setiap pekan, bahwa pekerjaan kita bukan sekadar rutinitas kantor. Ia adalah bagian dari menjaga ingatan bangsa.
Doa bersama di awal apel menjadi pengingat bahwa jabatan hanyalah titipan. Amanat pimpinan menjadi kompas kecil yang menuntun langkah sepekan. Wajah-wajah di layar virtual menjadi tanda bahwa meski terpisah jarak, kita tetap terhubung dalam satu semangat pengabdian.
Menjaga Kedaulatan Melalui Arsip
Demonstrasi akan mereda. Spanduk akan diturunkan, jalanan akan kembali tenang. Namun, jika arsip hilang di tengah gejolak, kerugiannya akan jauh lebih lama. Bangsa bisa kehilangan pijakan sejarah, pemerintah kehilangan dasar pertanggungjawaban, masyarakat kehilangan identitas kolektif.
“Menjaga arsip sama dengan menjaga kedaulatan bangsa.”
Itulah sebabnya apel pagi kali ini mengingatkan kita: menjaga arsip bukan sekadar tugas teknis, melainkan amanah sejarah. Ia bukan hanya pekerjaan ASN, melainkan misi kebangsaan.
Di tengah riuh aksi massa, apel online ANRI adalah benteng sunyi yang meneguhkan arah. Dari layar ke layar, kita saling menyapa, saling menguatkan, dan saling menegaskan komitmen: menjaga arsip, menjaga bangsa. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang tak pernah kehilangan ingatannya.