Dengarkan Artikel
Oleh T.H. Hari Sucahyo ( Alumnus Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata Semarang, Pegiat pada Cross-Diciplinary Discussion Group “Sapientiae” )
Di banyak rumah dan ruang kelas, kita masih menemukan standar emas yang diwariskan turun-temurun: menjadi anak yang baik. Anak yang tidak membantah orang tua, duduk tenang di sekolah, patuh pada aturan, mengucapkan “terima kasih” dan “tolong” dengan tepat waktu. Tidak ada yang salah dengan sopan santun atau etika sosial. Namun, masalah muncul ketika “baik” menjadi semacam topeng sosial yang menutupi kompleksitas batin anak, termasuk emosi-emosi yang sulit seperti marah, sedih, cemburu, atau takut.
Apa jadinya jika seorang anak belajar untuk terlihat baik, tetapi tidak menjadi baik karena mengenali dirinya sendiri? Apa akibatnya jika anak terus-menerus diarahkan untuk menyenangkan orang lain, namun tak pernah diajak menyelami apa yang sebenarnya ia rasakan dan pikirkan? Kita hidup di zaman ketika tuntutan sosial terhadap anak-anak semakin meningkat.
Orang tua ingin anaknya sukses, cerdas, sopan, tahan banting, dan berakhlak. Tapi sering kali, tekanan untuk menjadi “baik” justru menjauhkan anak dari proses alami mengenal dirinya secara jujur dan apa adanya. Maka muncul fenomena anak-anak yang tampak “manis” di luar, tetapi rapuh di dalam.
Anak-anak yang tidak tahu bagaimana menghadapi kemarahan, atau bingung ketika merasa kecewa, karena mereka tak pernah diberi ruang untuk mengalaminya secara sadar. Anak-anak seperti ini bisa tumbuh menjadi orang dewasa yang kesulitan mengenali dirinya sendiri, apalagi mengelola kehidupan emosionalnya.
Psikolog anak terkemuka seperti Dr. Dan Siegel dan Dr. Tina Payne Bryson menggarisbawahi pentingnya emotional attunement yakni kemampuan untuk membantu anak mengenali dan menyebutkan apa yang mereka rasakan. Dalam konsep whole-brain parenting, keduanya menekankan bahwa saat kita membantu anak memahami perasaan mereka, kita sebenarnya sedang membentuk struktur otak yang lebih matang dan sehat.
Neurosains kontemporer menunjukkan bahwa ketika anak belajar mengenali dan mengatur emosinya sejak dini, bagian otak yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan, kontrol impuls, dan empati berkembang dengan lebih optimal. Artinya, keberhasilan seorang anak di masa depan, baik secara akademik, sosial, maupun psikologis tidak ditentukan oleh seberapa patuh atau manis dia sekarang, melainkan oleh seberapa dalam ia mengenal dirinya dan mampu mengelola dunia dalamnya.
Inilah paradoks besar dalam pendidikan dan pengasuhan modern: kita ingin anak kita bertanggung jawab, tetapi kita tidak mengajarkan bagaimana mereka bisa bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Kita ingin anak punya integritas, tapi kita sibuk menyuruh mereka untuk “baik-baik saja” ketika sedang sedih atau marah, seolah emosi-emosi itu adalah sesuatu yang memalukan atau harus disembunyikan.
Mengajarkan anak mengenal diri adalah langkah radikal yang sering menantang norma sosial. Sebab, kita harus berani membiarkan anak tidak selalu terlihat baik. Kita perlu mengizinkan mereka mengalami konflik, mengekspresikan kekecewaan, mempertanyakan otoritas, bahkan membantah dengan sopan. Proses ini tidak mudah, karena orang dewasa juga sering kali belum berdamai dengan emosinya sendiri. Tapi justru di sanalah letak pembelajaran terbesar bahwa kita tidak sedang membesarkan robot, tetapi manusia utuh yang punya keinginan, rasa takut, harapan, dan luka.
Penting untuk diingat, mengenal diri bukan sekadar tahu “aku suka warna biru” atau “aku ingin jadi dokter”. Mengenal diri adalah proses hidup yang dalam dan kontemplatif. Ini tentang memahami apa yang membuat kita marah, apa yang menenangkan kita, bagaimana kita bereaksi ketika takut, dan bagaimana kita bisa berdiri kembali setelah gagal. Ketika anak mulai bertanya, “Mengapa aku merasa begini?” atau “Apa yang bisa aku lakukan ketika aku sedih?”, di situlah benih-benih tanggung jawab mulai tumbuh. Anak mulai mengambil kepemilikan atas dunia batinnya sendiri.
Dalam banyak kasus, anak-anak yang diajarkan mengenal diri lebih mampu bersikap reflektif. Mereka tidak mudah hanyut dalam tekanan sosial atau sekadar ikut-ikutan. Mereka berani berkata “tidak” ketika merasa tidak nyaman, tetapi juga bisa berkata “ya” dengan sepenuh hati ketika tahu itu baik. Mereka mungkin tidak selalu menjadi anak yang “baik” menurut ukuran orang dewasa, tetapi mereka akan menjadi manusia yang utuh dan autentik.
Sebaliknya, anak yang hanya diajarkan untuk menyenangkan orang lain cenderung menekan perasaannya sendiri. Ia bisa tumbuh menjadi “people pleaser” yang tidak tahu apa yang benar-benar ia inginkan. Ia bisa merasa cemas saat membuat keputusan sendiri karena terbiasa diarahkan. Bahkan, dalam jangka panjang, ini bisa berujung pada gangguan kecemasan, depresi, atau burnout ketika memasuki usia dewasa.
Maka, peran orang tua, guru, dan masyarakat menjadi sangat penting. Kita perlu menciptakan ruang yang aman bagi anak untuk jujur terhadap dirinya. Kita harus mulai membiasakan mendengar tanpa menghakimi. Ketika anak marah, jangan buru-buru memintanya diam. Ketika anak merasa takut, jangan langsung menyuruhnya kuat. Sebaliknya, bantu dia menyelami rasa itu. Tanyakan apa yang dirasakan, di mana rasa itu muncul di tubuhnya, dan bagaimana ia ingin mengatasinya. Ini bukan kelembutan yang memanjakan, tetapi latihan emosional yang memperkuat.
Banyak orang tua takut bahwa jika anak terlalu diberi ruang untuk mengekspresikan diri, ia akan menjadi liar, manja, atau egois. Padahal, justru dengan mengenal dan menguasai emosinya, anak menjadi lebih bertanggung jawab atas pilihan-pilihannya. Anak belajar bahwa semua emosi itu valid, tetapi tidak semua ekspresi emosi itu bisa diterima. Mereka belajar membedakan antara merasa marah dan memukul orang lain, antara merasa kecewa dan menyalahkan semua orang.
Para ahli perkembangan anak seperti John Gottman juga menegaskan bahwa kemampuan mengelola emosi adalah salah satu prediktor terbesar keberhasilan anak dalam hubungan sosial dan akademik. Dalam emotional coaching, anak bukan hanya diajarkan untuk mengenali perasaannya, tapi juga diberi alat untuk mengelolanya. Anak belajar bahwa mereka punya kendali, bahwa emosi itu datang dan pergi, dan bahwa mereka bisa memilih bagaimana meresponsnya.
Anak yang mampu mengenal dan mengelola dirinya sejak dini akan tumbuh menjadi manusia dewasa yang tidak mudah goyah saat menghadapi tekanan. Ia tidak merasa perlu menyenangkan semua orang, tapi ia tahu bagaimana bersikap empatik. Ia tahu batasnya, tahu apa yang membuatnya lelah, tahu bagaimana ia bisa bangkit. Ia tidak sempurna, tapi ia utuh.
Bukankah itu yang sesungguhnya kita harapkan dari anak-anak kita? Bukan sekadar menjadi anak baik yang menunduk pada perintah, tetapi menjadi manusia yang bertumbuh, yang punya akal dan rasa, yang mampu hidup dengan tanggung jawab dan kejujuran terhadap dirinya sendiri dan orang lain?.
Mungkin sudah saatnya kita meredefinisi apa artinya “anak baik”. Mungkin sudah waktunya kita menukar tuntutan agar anak terlihat sempurna dengan harapan agar mereka menjadi otentik. Bukan anak yang selalu patuh, tapi anak yang tahu kapan harus patuh dan kapan harus bersuara. Bukan anak yang takut salah, tapi anak yang berani belajar dari kesalahan. Bukan anak yang diam-diam menyembunyikan emosinya demi diterima, tapi anak yang berani hadir sebagai dirinya sendiri.
Membesarkan anak bukanlah soal mencetak kesempurnaan, tetapi soal menemani
Perjalanan mereka menjadi manusia seutuhnya. Dan untuk itu, kita harus memulai dari dalam—dengan membiarkan mereka mengenal siapa diri mereka yang sebenarnya, bahkan sebelum mereka tahu bagaimana menjadi “anak yang baik”.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini
 
                         
                         
                         
                         
                         
                                 
			 
			 
                                
 
                                





