https://www.majalahanakcerdas.com/?m=1 https://www.majalahanakcerdas.com/?m=1 https://www.majalahanakcerdas.com/?m=1
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini
Saturday, November 8, 2025
No Result
View All Result
POTRET Online
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini
POTRET Online
No Result
View All Result
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini
Pariwara
Beranda #Seni Tari

Ratoeh Jaroe di Panggung Dunia: Menari dalam Identitas Kita Sendiri

Hanif Arsyad Oleh Hanif Arsyad
4 months ago
in #Seni Tari, Aceh, POTRET Budaya, Sanggar Seni, seni
Reading Time: 3 mins read
A A
0
8
Bagikan
76
Melihat
🔊

Dengarkan Artikel

Oleh: Hanif Arsyad 

Beberapa waktu lalu, publik Indonesia dikejutkan sekaligus dibuat bangga ketika akun resmi Apple. Ya, perusahaan teknologi global itu—menayangkan Tarian Ratoeh Jaroe dalam salah satu materi promosi mereka. Dalam video berdurasi kurang dari semenit itu, tampak para penari perempuan bergerak serentak dengan kostum khas Aceh, duduk bersaf rapi, dan menari seirama dengan harmoni gerakan yang menghentak dan memesona.

Media sosial pun langsung ramai. Banyak yang menuliskan rasa haru, tak sedikit pula yang menyatakan rasa bangga. Warganet membagikan ulang video itu sambil menandai kawan-kawannya: “Ini tarian dari Aceh, bro!” Atau, “Dulu aku juga pernah nari ini di sekolah!” Bahkan ada yang menulis, “Bangga banget, akhirnya dunia mengakui budaya kita!”

Namun, di balik semua kebanggaan itu, muncul satu pertanyaan yang seharusnya menjadi refleksi bersama: Mengapa kita baru merasa bangga ketika budaya kita tampil di panggung dunia? Mengapa tidak dari dulu kita rawat sendiri—sebelum orang lain yang mengangkat dan mengapresiasinya?

Budaya Kita yang Diangkat Dunia, Tapi Tersisih di Rumah Sendiri

Tarian Ratoeh Jaroe bukan satu-satunya warisan budaya Aceh. Daerah ini punya Tarian Saman, yang telah diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya tak benda dunia. Ada juga Seudati, Likok Pulo, Ranup Lampuan, dan masih banyak lagi. 

Setiap tarian itu bukan hanya soal estetika, tapi mengandung pesan moral, spiritualitas, sejarah perjuangan, serta nilai-nilai sosial yang diwariskan turun-temurun.

Namun sayangnya, di banyak sekolah dan kampung hari ini, tarian-tarian itu makin jarang ditampilkan—apalagi diajarkan secara utuh. Anak-anak muda lebih akrab dengan gerakan TikTok, dance K-Pop, atau tren joget Instagram Reels yang viral. 

Mereka hafal setiap beat lagu luar negeri, tapi tak tahu makna di balik hentakan tangan dalam gerakan Ratoeh Jaroe atau kekompakan formasi Seudati.

Bukan salah mereka sepenuhnya. Kita, sebagai masyarakat, kadang lebih senang memamerkan budaya hanya saat ada tamu penting datang, saat 17-an, atau festival tahunan. Di luar itu, budaya hanya menjadi dekorasi kosong. Budaya diarak di atas panggung, tapi tidak dihidupkan dalam keseharian.

Ratoeh Jaroe: Kisah Perempuan Aceh yang Kuat dan Indah

Banyak orang mengira Ratoeh Jaroe hanyalah versi “perempuan” dari Tarian Saman. Padahal, tarian ini memiliki kekhasan tersendiri. Ia lahir dari semangat kolektif perempuan Aceh yang tangguh. 

📚 Artikel Terkait

Puisi-Puisi Apa Perlu Judul

Dahlan Iskan dan Saham Rp89 Miliar

Tempat Paling Sepi

Mengulik Proses dan Protes Jalannya Legislasi di Parlemen

Gerakan yang cepat, duduk berjajar, dan saling menyatu menunjukkan keteraturan, kekompakan, dan kedisiplinan.

Ratoeh Jaroe bukan hanya bentuk seni. Ia adalah narasi diam tentang ketangguhan perempuan Aceh, tentang kekuatan dalam keselarasan, tentang keindahan dalam keterikatan sosial. Ada filosofi dalam setiap tepukan dan gerakan kepala. Ada nilai solidaritas dan spiritualitas dalam setiap formasi.

Inilah yang seharusnya dipahami oleh generasi muda kita. Bahwa budaya tidak hanya untuk dipamerkan—tetapi untuk dipahami, dihidupkan, dan diwariskan.

Budaya Lokal adalah Pilar Kepribadian Bangsa

Di tengah dunia yang makin terkoneksi oleh teknologi dan tren global, budaya lokal adalah jangkar kepribadian. Kita boleh belajar dari luar, meniru yang baik dari dunia luar, tetapi identitas kita tidak boleh larut dan hilang. Budaya adalah pembeda kita dari bangsa lain. Ia adalah fondasi nilai yang membentuk karakter anak-anak kita.

Sayangnya, dalam sistem pendidikan formal kita, pelajaran budaya dan kesenian sering dipinggirkan. Ia dianggap pelengkap, bukan fondasi. Jam pelajarannya sering dipotong, gurunya minim, dan ekskul budaya kalah saing dengan ekskul digital dan olahraga modern.

Padahal, budaya lokal adalah alat yang ampuh untuk membentuk karakter dan kebanggaan diri. Anak-anak yang tahu siapa dirinya, dari mana ia berasal, dan apa nilai-nilai luhur budayanya, akan lebih kuat menghadapi arus globalisasi.

Dari Panggung Dunia ke Ruang Belajar dan Media Sosial

Kita perlu merevitalisasi budaya, bukan hanya di panggung pertunjukan, tetapi juga di ruang-ruang belajar dan media sosial. Sekolah harus kembali menghidupkan tarian daerah sebagai bagian dari pembelajaran karakter. Guru seni perlu diberi ruang dan dukungan untuk mengembangkan kreativitas lokal.

Tak kalah penting, media sosial bisa menjadi ruang baru untuk menyebarkan kebudayaan secara bermakna. Anak-anak muda bisa membuat konten video yang tidak hanya menampilkan gerakan, tetapi juga menjelaskan makna budaya di baliknya. Podcast budaya, vlog edukatif, animasi cerita rakyat Aceh—semua bisa menjadi media populer yang mencerdaskan.

Kita juga perlu kampus-kampus di Aceh mengembangkan pusat kajian budaya lokal. Universitas Syiah Kuala sudah punya Pusat Studi Kebudayaan Aceh. UIN Ar-Raniry punya Pusat Dokumentasi Aceh. Kini saatnya kampus-kampus lain seperti Universitas Malikussaleh, UTU, dan ISBI Aceh mengambil peran lebih besar sebagai motor penggerak pelestarian budaya.

Mari Menari Bersama Sejarah, Bukan Hanya Mengejar Viral

Tarian Ratoeh Jaroe yang diputar oleh Apple seharusnya bukan hanya jadi momen kebanggaan sesaat. Ia harus jadi pemantik kesadaran bahwa budaya kita sangat bernilai—bukan karena diakui luar, tetapi karena ia membentuk siapa kita.

Kita tak boleh hanya menari saat ada tamu datang. Kita tak boleh hanya merasa bangga saat budaya kita dipakai orang luar. Budaya adalah milik kita, darah kita, napas kita.

Kini saatnya generasi muda Aceh menari bersama sejarah, bukan menari untuk mengejar viral semata. Mari hidupkan kembali budaya kita—di rumah, di sekolah, di komunitas, dan di ruang digital. Mari jadikan warisan nenek moyang kita bukan hanya tontonan, tapi tuntunan. Bukan hanya dikenang, tapi diteruskan.

Menarilah dalam identitasmu sendiri. Karena dari sanalah, kita berdiri sebagai bangsa.

🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini

Ketika Kemampuan Memahami Bacaan Masih Rendah
Ketika Kemampuan Memahami Bacaan Masih Rendah
27 Feb 2025 • 118x dibaca (7 hari)
Kala Anak Negeri, Tak Mengenal Negerinya
Kala Anak Negeri, Tak Mengenal Negerinya
13 Mar 2025 • 111x dibaca (7 hari)
Mengenal Cryptocurrency: Mata Uang Digital yang Semakin Popular
Mengenal Cryptocurrency: Mata Uang Digital yang Semakin Popular
15 Mar 2025 • 97x dibaca (7 hari)
Pria Yang Merindukan Prostatnya
Pria Yang Merindukan Prostatnya
28 Feb 2025 • 86x dibaca (7 hari)
Perempuan Penggenggam Pasir
Perempuan Penggenggam Pasir
5 Mar 2025 • 66x dibaca (7 hari)
📝
Tanggung Jawab Konten
Seluruh isi dan opini dalam artikel ini merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi bertugas menyunting tulisan tanpa mengubah subtansi dan maksud yang ingin disampaikan.
Share3SendShareScanShare
Hanif Arsyad

Hanif Arsyad

Hanif Arsyad adalah lulusan Magister Pendidikan Bahasa Inggris USK, berpengalaman sebagai dosen, penulis akademik, dan pengembang konten literasi. Saya aktif menulis di bidang pendidikan karakter, pengembangan SDM, serta kajian kebahasaan dan sosial. Saat ini, saya mengajar di Universitas Malikussaleh dan Hanna English School sebagai owner yang berlokasi di Aceh Utara. Saya juga menjabat sebagai Koordinator Yayasan Askar Ramadhan di Aceh yang bergerak di bidang sosial, serta dipercaya sebagai Kepala Sekolah Akademi Berbagi untuk klaster Aceh Utara dan Lhokseumawe. Keahlian saya mencakup penulisan ilmiah, editing, dan pendampingan riset.

Related Postingan

POTRET Budaya

MUHASABAH

Oleh Redaksi
2024/05/23
0
53

  Oleh Zulkifli Abdy Lembah itu kini telah dipagut sunyi, sejak terakhir kali aku lalui Bukit-bukit terjal yang basah telah...

Baca SelengkapnyaDetails

Guru

 Menelusuri Jejak Ulama Nusantara Rentang Waktu 1800-1850 M. 

Postingan Selanjutnya

🚩SELAMAT PAGI MERAH PUTIH

Bukan Sekadar Perang! Karbala Adalah Revolusi Jiwa—Pelajaran Abadi dari Cucu Nabi SAW

Duel Seru, Ara vs Fahri, Siapa Juara Rumah Rakyat?

Bangkitnya Semangat Oleh Sang Penyemangat

Aku dan Kegelapan

Pohon “Jeju”, Hutan yang Tak Estetik, dan Kemarahan yang Tebang Pilih

POTRET Online

Copyright@potret2025

Media Perempuan Aceh

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Disclaimer
  • Program 1000 Sepeda dan Kursi roda
  • Kirim Tulisan

Follow Us

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini

Copyright@potret2025

-
00:00
00:00

Queue

Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00