Dengarkan Artikel
Oleh: Hanif Arsyad
Beberapa waktu lalu, publik Indonesia dikejutkan sekaligus dibuat bangga ketika akun resmi Apple. Ya, perusahaan teknologi global itu—menayangkan Tarian Ratoeh Jaroe dalam salah satu materi promosi mereka. Dalam video berdurasi kurang dari semenit itu, tampak para penari perempuan bergerak serentak dengan kostum khas Aceh, duduk bersaf rapi, dan menari seirama dengan harmoni gerakan yang menghentak dan memesona.
Media sosial pun langsung ramai. Banyak yang menuliskan rasa haru, tak sedikit pula yang menyatakan rasa bangga. Warganet membagikan ulang video itu sambil menandai kawan-kawannya: “Ini tarian dari Aceh, bro!” Atau, “Dulu aku juga pernah nari ini di sekolah!” Bahkan ada yang menulis, “Bangga banget, akhirnya dunia mengakui budaya kita!”
Namun, di balik semua kebanggaan itu, muncul satu pertanyaan yang seharusnya menjadi refleksi bersama: Mengapa kita baru merasa bangga ketika budaya kita tampil di panggung dunia? Mengapa tidak dari dulu kita rawat sendiri—sebelum orang lain yang mengangkat dan mengapresiasinya?
Budaya Kita yang Diangkat Dunia, Tapi Tersisih di Rumah Sendiri
Tarian Ratoeh Jaroe bukan satu-satunya warisan budaya Aceh. Daerah ini punya Tarian Saman, yang telah diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya tak benda dunia. Ada juga Seudati, Likok Pulo, Ranup Lampuan, dan masih banyak lagi.
Setiap tarian itu bukan hanya soal estetika, tapi mengandung pesan moral, spiritualitas, sejarah perjuangan, serta nilai-nilai sosial yang diwariskan turun-temurun.
Namun sayangnya, di banyak sekolah dan kampung hari ini, tarian-tarian itu makin jarang ditampilkan—apalagi diajarkan secara utuh. Anak-anak muda lebih akrab dengan gerakan TikTok, dance K-Pop, atau tren joget Instagram Reels yang viral.
Mereka hafal setiap beat lagu luar negeri, tapi tak tahu makna di balik hentakan tangan dalam gerakan Ratoeh Jaroe atau kekompakan formasi Seudati.
Bukan salah mereka sepenuhnya. Kita, sebagai masyarakat, kadang lebih senang memamerkan budaya hanya saat ada tamu penting datang, saat 17-an, atau festival tahunan. Di luar itu, budaya hanya menjadi dekorasi kosong. Budaya diarak di atas panggung, tapi tidak dihidupkan dalam keseharian.
Ratoeh Jaroe: Kisah Perempuan Aceh yang Kuat dan Indah
Banyak orang mengira Ratoeh Jaroe hanyalah versi “perempuan” dari Tarian Saman. Padahal, tarian ini memiliki kekhasan tersendiri. Ia lahir dari semangat kolektif perempuan Aceh yang tangguh.
Gerakan yang cepat, duduk berjajar, dan saling menyatu menunjukkan keteraturan, kekompakan, dan kedisiplinan.
Ratoeh Jaroe bukan hanya bentuk seni. Ia adalah narasi diam tentang ketangguhan perempuan Aceh, tentang kekuatan dalam keselarasan, tentang keindahan dalam keterikatan sosial. Ada filosofi dalam setiap tepukan dan gerakan kepala. Ada nilai solidaritas dan spiritualitas dalam setiap formasi.
Inilah yang seharusnya dipahami oleh generasi muda kita. Bahwa budaya tidak hanya untuk dipamerkan—tetapi untuk dipahami, dihidupkan, dan diwariskan.
Budaya Lokal adalah Pilar Kepribadian Bangsa
Di tengah dunia yang makin terkoneksi oleh teknologi dan tren global, budaya lokal adalah jangkar kepribadian. Kita boleh belajar dari luar, meniru yang baik dari dunia luar, tetapi identitas kita tidak boleh larut dan hilang. Budaya adalah pembeda kita dari bangsa lain. Ia adalah fondasi nilai yang membentuk karakter anak-anak kita.
Sayangnya, dalam sistem pendidikan formal kita, pelajaran budaya dan kesenian sering dipinggirkan. Ia dianggap pelengkap, bukan fondasi. Jam pelajarannya sering dipotong, gurunya minim, dan ekskul budaya kalah saing dengan ekskul digital dan olahraga modern.
Padahal, budaya lokal adalah alat yang ampuh untuk membentuk karakter dan kebanggaan diri. Anak-anak yang tahu siapa dirinya, dari mana ia berasal, dan apa nilai-nilai luhur budayanya, akan lebih kuat menghadapi arus globalisasi.
Dari Panggung Dunia ke Ruang Belajar dan Media Sosial
Kita perlu merevitalisasi budaya, bukan hanya di panggung pertunjukan, tetapi juga di ruang-ruang belajar dan media sosial. Sekolah harus kembali menghidupkan tarian daerah sebagai bagian dari pembelajaran karakter. Guru seni perlu diberi ruang dan dukungan untuk mengembangkan kreativitas lokal.
Tak kalah penting, media sosial bisa menjadi ruang baru untuk menyebarkan kebudayaan secara bermakna. Anak-anak muda bisa membuat konten video yang tidak hanya menampilkan gerakan, tetapi juga menjelaskan makna budaya di baliknya. Podcast budaya, vlog edukatif, animasi cerita rakyat Aceh—semua bisa menjadi media populer yang mencerdaskan.
Kita juga perlu kampus-kampus di Aceh mengembangkan pusat kajian budaya lokal. Universitas Syiah Kuala sudah punya Pusat Studi Kebudayaan Aceh. UIN Ar-Raniry punya Pusat Dokumentasi Aceh. Kini saatnya kampus-kampus lain seperti Universitas Malikussaleh, UTU, dan ISBI Aceh mengambil peran lebih besar sebagai motor penggerak pelestarian budaya.
Mari Menari Bersama Sejarah, Bukan Hanya Mengejar Viral
Tarian Ratoeh Jaroe yang diputar oleh Apple seharusnya bukan hanya jadi momen kebanggaan sesaat. Ia harus jadi pemantik kesadaran bahwa budaya kita sangat bernilai—bukan karena diakui luar, tetapi karena ia membentuk siapa kita.
Kita tak boleh hanya menari saat ada tamu datang. Kita tak boleh hanya merasa bangga saat budaya kita dipakai orang luar. Budaya adalah milik kita, darah kita, napas kita.
Kini saatnya generasi muda Aceh menari bersama sejarah, bukan menari untuk mengejar viral semata. Mari hidupkan kembali budaya kita—di rumah, di sekolah, di komunitas, dan di ruang digital. Mari jadikan warisan nenek moyang kita bukan hanya tontonan, tapi tuntunan. Bukan hanya dikenang, tapi diteruskan.
Menarilah dalam identitasmu sendiri. Karena dari sanalah, kita berdiri sebagai bangsa.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini


