Dengarkan Artikel
Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh, M.Si
Dosen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh
Kemerdekaan Indonesia di Aceh disambut dengan gempita oleh orang-orang Aceh melalui PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh). Dukungan luas terhadap Teungku Muhammad Daud Beureu’eh dan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) menjadi kekuatan utama dalam membentuk dinamika sosial-politik Aceh di era kemerdekaan (1945-1951).
PUSA tidak hanya sekadar organisasi keagamaan, tapi juga sebuah gerakan reformis yang menyatukan ulama-ulama muda dan progresif dengan visi pembaruan Islam dan kemerdekaan. Di bawah kepemimpinan Daud Beureueh, PUSA berhasil menggalang dukungan dari berbagai kalangan.
PUSA mendapat simpati kuat dari kalangan pesantren tradisional (dayah), yang melihat Daud Beureueh sebagai jembatan antara tradisi keilmuan klasik dan semangat perjuangan modern. Mereka menjadi ujung tombak dakwah dan mobilisasi sosial.
Banyak komandan laskar rakyat dan tokoh pejuang kemerdekaan Aceh bergabung atau berkoordinasi dengan PUSA, karena mereka melihat organisasi ini sebagai kekuatan politik-religius yang kredibel dan terorganisasi.
PUSA juga menarik simpati kaum muda, khususnya yang terdidik, karena pendekatannya yang reformis. PUSA mendirikan sekolah, menerbitkan majalah, dan aktif dalam pendidikan masyarakat.
Dukungan lintas elemen ini yang menjadikan PUSA sebagai pilar sosial-politik yang kokoh di Aceh saat itu. Bahkan, pengaruhnya tetap terasa hingga sekarang dalam struktur ulama, pendidikan, dan kultur politik Aceh.
Meskipun pada masa sebelum kemerdekaan sering terjadi ketegangan antara ulama dan uleebalang (bangsawan atau elite feodal Aceh) —terutama selama masa kolonial Belanda— situasinya berubah secara signifikan ketika Daud Beureueh dan PUSA tampil sebagai kekuatan yang menyatukan semangat keislaman dan kebangsaan.
Dukungan Uleebalang: Dari Antagonis ke Sekutu
📚 Artikel Terkait
Banyak uleebalang memang sempat tersisih atau kehilangan legitimasi setelah kemerdekaan karena dianggap pro-Belanda. Namun tidak semua demikian. Sejumlah tokoh uleebalang justru bertransformasi dan memberikan dukungan kepada PUSA dan perjuangan kemerdekaan yang dipimpin oleh Daud Beureu’eh. Mereka menyadari bahwa kekuatan PUSA lah yang dapat merepresentasikan aspirasi rakyat Aceh dan memberikan wadah perjuangan yang sah dalam konteks Republik Indonesia.
Koalisi antara ulama, pejuang rakyat, dan sebagian bekas uleebalang ini membentuk struktur sosial-politik baru di Aceh pasca-kemerdekaan. Daud Beureu’eh dengan kharisma dan ketokohannya berhasil menjembatani ketegangan historis, bahkan dalam banyak kasus, merangkul tokoh-tokoh tradisional sebagai bagian dari perjuangan bersama. Mereka ikut berkontribusi dalam penggalangan dana, logistik perjuangan, hingga peran-peran administratif dalam masa transisi.
Perubahan posisi uleebalang dari simbol aristokrasi kolonial menjadi pendukung perjuangan Islam dan kemerdekaan menunjukkan kemampuan luar biasa dari Daud Beureueh untuk membangun konsensus sosial yang luas. Ini juga menjelaskan mengapa pengaruhnya begitu mengakar dalam sejarah Aceh modern.
Pertempuran Cumbok (1945–1946) memang sering dipahami secara umum sebagai konflik antara “ulama vs uleebalang,” namun kenyataannya jauh lebih kompleks. Yang terjadi di Cumbok adalah penolakan oleh sebagian kecil golongan uleebalang yang memang berpihak pada kolonial Belanda dan menentang perubahan sosial yang ditawarkan oleh gerakan PUSA.
Namun perlu ditekankan bahwa tidak semua uleebalang menentang kemerdekaan. Sebaliknya, banyak yang justru bertransformasi dari peran tradisionalnya dan bergabung dengan arus nasionalisme Islam yang dimotori oleh PUSA. Mereka menyadari pentingnya bersatu demi kemerdekaan dan ikut ambil bagian dalam pemerintahan maupun perjuangan sipil.
Beberapa tokoh bekas uleebalang bahkan menjadi simpatisan atau kolaborator strategis dalam struktur kekuasaan baru di Aceh. Ada juga yang menjadi penasihat, pendukung logistik, atau tokoh penghubung antara struktur tradisional dan gerakan reformis keislaman.Jadi, klaim bahwa konflik itu adalah “perang ulama dan uleebalang” secara mutlak sesungguhnya menyederhanakan realitas sosial yang jauh lebih cair setelah kemerdekaan.
Sayangnya, dokumentasi tentang tokoh-tokoh uleebalang yang secara eksplisit mendukung PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) tidak banyak disebutkan secara rinci dalam sumber-sumber sejarah populer. Namun, ada beberapa nama penting dari kalangan uleebalang yang tercatat berpihak pada kemerdekaan Indonesia dan menjalin hubungan baik dengan PUSA, meskipun mereka berasal dari struktur bangsawan tradisional:
- Teuku Nyak Arif
Ia adalah salah satu uleebalang paling terkenal yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Ia ditunjuk sebagai Residen Aceh oleh pemerintah Republik dan dikenal sebagai tokoh moderat yang menjembatani antara kalangan ulama dan bangsawan. Ia juga menolak kembalinya Belanda ke Aceh dan mendukung Proklamasi 17 Agustus 1945. - Teuku Cut Hasan
Sebagai Bupati Pidie, ia sempat terlibat dalam dinamika antara kelompok uleebalang dan ulama. Meskipun posisinya rumit, ia berperan dalam proses penyerahan senjata dari Jepang kepada Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang menunjukkan keterlibatannya dalam struktur republik.- Teuku Umar Keumangan
Meskipun awalnya memimpin kelompok uleebalang yang membentuk Barisan Penjaga Keamanan (BPK), beberapa catatan menyebut bahwa ia kemudian mengambil sikap lebih moderat dan tidak sekeras Teuku Daud Cumbok dalam menolak Republik.
Perlu dicatat bahwa setelah Perang Cumbok, banyak uleebalang yang tersingkir atau memilih bergabung dengan struktur baru yang dibentuk oleh PUSA dan Republik Indonesia. Beberapa dari mereka bahkan menjadi pejabat sipil atau penasihat lokal dalam pemerintahan baru.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini



















