Dengarkan Artikel
Oleh Dayan Abdurrahman
Dalam terminologi kimia, reaksi eksotermik adalah reaksi yang melepaskan energi besar secara tiba-tiba, seringkali tak terkendali, menghasilkan panas, ledakan, bahkan kehancuran. Fenomena ini dapat digunakan sebagai metafora sosial atas apa yang disebut masyarakat kita hari ini sebagai “jalan pintas menuju kaya”—melalui ekonomi gelap: judi online, rentenir, eksploitasi tubuh, hingga perdagangan digital yang bersinggungan dengan praktik penipuan.
Di Aceh, wilayah yang ditetapkan sebagai daerah Syariat Islam, muncul paradoks yang menggelitik: nilai-nilai religius yang diagungkan di ruang publik justru berbenturan dengan praktik-praktik sosial yang bertolak belakang. Judi online, yang secara hukum negara dan syariat adalah haram, justru tumbuh diam-diam bagai senyawa kimia yang tak kasat mata namun bereaksi keras ketika melebihi ambang batas.
Dalam konteks agama, Al-Qur’an secara eksplisit mengharamkan perjudian (QS. Al-Ma’idah: 90) dan menegaskan bahwa itu termasuk perbuatan setan yang memicu permusuhan dan melalaikan salat. Maka, ketika sebagian masyarakat Aceh—yang secara kultural meletakkan agama sebagai landasan hidup—masih terlibat atau tergoda oleh ilusi kekayaan instan ini, yang terjadi adalah kekacauan struktur etika dalam diri manusia.
Dari sisi budaya sosial, Aceh dikenal dengan falsafah “Adat bak Po Teumeureuhom, Hukum bak Syiah Kuala, Reusam bak Datu, Hukom bak Putroe Phang”. Ini menunjukkan bahwa warisan budaya Aceh menghendaki harmoni antara adat, hukum, dan agama. Namun dalam dekade terakhir, transformasi digital, tekanan ekonomi, serta ketimpangan sosial telah menciptakan ruang-ruang abu-abu: pekerja seks daring, pinjaman berbunga tinggi, dan judi yang dikemas sebagai ‘game’.
Secara politik dan hukum, lemahnya penegakan aturan menjadi pintu masuk suburnya bisnis ilegal. Judi online misalnya, tidak pernah benar-benar tumbang meskipun diberantas. Bahkan ketika aparat melakukan penangkapan, aktor utamanya seringkali tidak tersentuh. Dalam teori politik klasik, ini disebut sebagai “kegagalan negara dalam menjalankan fungsi pengawasan sosial”. Sebab ketika hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah, maka keadilan menjadi sekadar retorika.
Apa yang juga jarang dibahas adalah bagaimana praktik ini menghancurkan ketenangan batin dan integritas hidup. Orang yang mengandalkan ekonomi dari jalan seperti ini hidup dalam gelombang dopamin artifisial—ledakan kebahagiaan sesaat yang berasal dari hasil instan. Tapi secara kimiawi, dopamin yang dilepas berlebihan tanpa keseimbangan endorfin alami (seperti kerja keras, syukur, atau spiritualitas) akan menciptakan kecanduan, kehampaan, dan ledakan psikologis.
Kita perlu kembali bertanya: apakah nilai keberhasilan dalam hidup hanya diukur dari materi yang cepat dan banyak? Apakah ketenangan batin bisa dibeli dengan hasil haram yang mengganggu nurani? Dalam tradisi sufistik Aceh, dikenal konsep “mulia di mata Allah meskipun hina di mata manusia, asal tidak melanggar hukum-Nya”. Ini adalah prinsip kehidupan yang dewasa dan berdimensi spiritual tinggi.
Lebih jauh, kita harus menyadari bahwa ekonomi gelap seringkali menawarkan “reaksi cepat”, tapi tidak stabil. Dalam ilmu kimia, senyawa yang mudah bereaksi juga mudah terurai. Begitu pula individu atau kelompok yang meniti hidup dari sumber yang tidak halal—mereka mungkin menikmati “panas” sesaat, tapi tidak memiliki kestabilan jangka panjang. Seperti molekul tak stabil, mereka selalu mencari celah untuk bertahan atau bereaksi lagi secara destruktif.
Apa solusinya?
Pertama, pemerintah daerah Aceh harus membuka lebih banyak kanal ekonomi halal dan produktif. Ini bisa melalui pelatihan digital marketing halal, pembiayaan mikro untuk usaha kecil berbasis syariah, hingga revitalisasi pertanian dan peternakan tradisional seperti ayam kampung, yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan berkelanjutan.
Kedua, lembaga pendidikan dan keagamaan perlu memperkuat literasi etika dan spiritual digital. Anak muda harus dibekali kemampuan berpikir kritis atas budaya konsumsi instan dan gaya hidup hedonistik yang digaungkan algoritma media
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini




