Dengarkan Artikel
Oleh: Anies Septivirawan
Sinar matahari masih belum terlalu menyengat kulitku. Masih pagi.
Aku mau mengisi kekosongan perutku dengan makanan khas kotaku, Situbondo, Jawa Timur, yakni “Tajin Palappa”, “Nasek Karak”, dan “Nasek Sodu “.
Makanan khas jaman dulu bernama tajin palappa, adalah bubur yang dibaluri bumbu kacang dan ditaburi kecambah, sedikit irisan tahu, kangkung serta sayuran lainnya.
Mencari menu makanan tajin palappa di kota Situbondo ini, tidaklah sulit, karena makanan khas kotaku ini bertebaran ada di mana – mana. Mulai dari desa hingga kota.
Makanan Ini sudah menjadi makanan favorit dan menjadi kebiasaan mereka sarapan pagi sejak bertahun-tahun lalu hingga saat ini.
Harganyapun terbilang murah. Seporsi hanya tujuh ribu rupiah dengan segelas teh hangatnya.
Selain tajin palappa, kuliner khas kotaku adalah nasi karak dan ada juga nasi sodu. Nasi karak adalah nasi yang dibaluri dengan kelapa parut dan pelengkapnya, yakni ikan tongkol. Sedangkan nasi sodu adalah nasi dengan kuah santan yang dilengkapi dengan ikan tongkol dan sambal.
Pagi ini, aku sudah usai menyantap dan menikmati lezatnya tajin palappa. Kulihat HP androidku, ada sebuah pesan singkat WhatsApp di androidku mengisyaratkan aku segera datang ke rumah seorang guru tari bernama Hosnatun, usianya 75 tahun. Aku terbiasa memanggil dia dengan sebutan Cak Tutun.
Aku segera meluncur ke rumahnya dengan motor matic milikku ke rumahnya di Desa Panji Kidul, Kecamatan Panji, karena aku sudah berjanji kepadanya akan melakukan peliputan kedatangan sejumlah dosen seni asal luar kota, yakni dari Surabaya dan Jember. Jarak rumah cak Tutun dengan rumahku dekat, hanya tiga kilometer.
Pada hari Minggu pagi itu, jarum jam telah menunjukkan pukul 09.45 wib, tampak serombongan mobil dosen memasuki pelataran rumah Hosnatun atau Cak Tutun yang berdataran tinggi di desa Panji Kidul Kecamatan Panji, Situbondo.
Tampak serombongan dosen berdisiplin ilmu seni budaya berjumlah empat orang itu disambut senyum hangat dan jabat tangan erat Cak Tutun.
Hosnatun yang kerap dipanggil Cak Tutun itu sudah tidak asing lagi di telinga para pecinta dan pelaku seni budaya khususnya seni tari topeng Situbondo.
Menurut penuturan yang disampaikan salah satu dosen sekaligus seorang rektor universitas swasta di Banyuwangi, Drs. Andang Subahariyanto, kepadaku mengatakan bahwa,
”Kami bersama teman – teman sebenarnya punya satu gagasan yang harus dirintis dan sebenarnya di negeri kita ini ternyata banyak indigenius people atau local genius yang punya banyak gagasan besar dan karya -karya besar namun jarang diketahui oleh publik atau khalayak ramai.Tetapi, gagasan besar itu tidak akan pernah diwujudkan kalau tidak pernah dimulai,” ujar Andang Subahariyanto beberapa waktu lalu.
Andang Subahariyanto juga mencontohkan, bahwa mendokumentasikan indigenius people atau local genius seperti pak Hosnatun ini cukup inspiratif. Menurutnya, Hosnatun berani melakukan tafsir terhadap tari topeng yang ia kembangkan, yang itu di luar mainstream dan itu menarik sekali bagi para dosen tari tersebut.
”Saya sangat tertarik ketika pak Tutun menjelaskan tentang kitab Negarakertagama khususnya pupuh dua puluh enam hingga pupuh dua puluh delapan tentang asal usul tari topeng. Nah untuk itu kami datang ke Situbondo ini untuk mendokumentasikan beliau dan karya – karyanya dalam bentuk digital karena kalau kita mendokumentasikan lewat tulisan sangat sulit bagi orang – orang untuk membacanya,” papar dosen ilmu seni budaya di Universitas Jember (UNEJ) yang sekaligus rektor universitas swasta di Banyuwangi, Drs. Andang Subahariyanto, M.Hum, beberapa waktu lalu kepadaku.
Pria berkacamata tersebut juga mengatakan sependapat dengan Hosnatun tentang perbedaan makna budaya dan tradisi.
Dan tidak hanya para dosen seni asal universitas Jember saja yang datang bertandang ke sanggarnya Hosnatun, bahkan para dosen seni asal Surabaya pun berkunjung ke Sanggar Wahana Puspa Budaya binaan Hosnatun tersebut.
Sejumlah mahasiswa dari Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta, Surabaya juga sempat berkunjung ke “Sanggar Wahana Puspa Budaya” di Desa Panji Kidul, kecamatan Panji, Situbondo, beberapa waktu lalu.
Kedatangan mereka bersama salah satu dosennya yakni Lilik Subari yang langsung disambut hangat oleh Hosnatun yang kerap dipanggil Cak Tutun, sang pengasuh sanggar sekaligus seniman juga guru tari topeng Majapahitan.
Menurut keterangan Lilik Subari, M.Sn Dosen Pembimbing yang sekaligus mendampingi mahasiswanya. Sebat Sinan’a yang disampaikan kepadaku mengatakan bahwa secara khusus kunjungan dirinya bersama para mahasiswanya adalah merupakan sebuah lanjutan program peningkatan kualitas mahasisiswa, baik kepenarian maupun keilmuanya. Hal ini dilakuka dengan cara turun langsung dan belajar langsung dari narasumbernya dalam kesenian tradisi topeng majapahitan yang berada di kabupaten Situbondo, Jawa Timur ini.
Lilik Subari sangat berharap bahwa, agar anak – anak didiknya mampu membuka cakrawala berfikir dalam mengaktualisasikan serta bisa menyerap apa yang terkandung di dalam seni tari topeng majapahitan yang berbasis sejarah yang diaktualisasikan dalam gerak tari.
Sementara itu, Hosnatun selaku pengasuh Sanggar Wahana Puspa Budaya dan Padepokan Topeng Majapahitan mengucapkan banyak terima kasih atas kunjungan mereka ke sanggarnya.
Meskipun tari topeng di Situbondo dikenal dan berkali – kali dijadikan bahan penelitian oleh para dosen seni asal luar kota Situbondo, namun justru pihak dinas terkait di lingkungan pemerintah kabupaten Situbondo tidak pernah peduli akan keberadaan serta eksistensi kesenian tari topengnya Hosnatun.
Kendati pun demikian, Hosnatun tidak pernah merengek – rengek meminta bantuan agar Sanggar Wahana Puspa Budaya tetap “hidup”.
Hosnatun dan sanggar yang ia kelola dan ratusan murid yang ia bina dalam setiap kegiatan berkesenian tari hingga saat ini masih bertahan. Bahkan, telah berkali-kali mengharumkan nama kabupaten Situbondo melalui ajang lomba – lomba maupun ajang workshop di tingkat nasional dan internasional.
Terus, di mana kepedulian negara dalam hal ini Dinas terkait seperti Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat?
Keadaan tersebut sangat miris. Hatiku menangis. Karena melihat setiap penampilan pagelaran seni tari topeng Cak Tutun, aku jadi teringat masa kecil ketika diajak kakakku menonton sebuah pertunjukan drama sendra tari di alun – alun kota.
Aku rindu, aku kangen suasana itu yang kini sudah tidak pernah kutemukan lagi. Yang ada dan masih kutemukan hanya seni tari topeng Cak Tutun, dan itu pun terancam punah, seiring usia cak Tutun yang sudah senja.
Kakek dan ayah Cak Tutun telah mewarisi darah seni tari topeng kepada pria bernama asli Hosnatun itu.
Namun sayang, Hosnatun tidak bisa mewarisi darah seni tari topeng tersebut kepada generasi berikutnya, yakni anak beserta cucu – cucunya, karena mereka tidak memiliki jiwa seni apalagi seni tari topeng.
Akankah seni tari topeng di Situbondo menjadi punah dan menyisakan kenangan? Akankah rasa tiga jenis kuliner jaman dulu (jadul) di kotaku sirna karena tergusur oleh kuliner – kuliner manca negara?
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini




