Dengarkan Artikel
Oleg Jonminofri Nazir
Ahmad Tohari lahir pukul 12, 13 Juni 1948. Menurut penanggalan Jawa, tanggal lahir Tohari banyak unsur angka 12. Bayi yang lahir dengan tanda-tanda seperti itu kelak akan menjadi orang besar. Begitu kesaksian buyutnya. Lalu buyutnya berpesan kepada orangtua Tohari dan keluarga besarnya: Ikuti saja apa yang diinginkannya. Cerita ini menyebar di lingkungan kampungnya.
Ramalan buyut itu menjadi beban bagi Tohari muda. Seolah-olah ada tuntutan kultural dari warga bahwa dia harus menjadi orang besar. Tapi Tohari mengikuti saja ke mana nuraninya bergerak. Dia tak melihat jalan terang di hadapannya menuju orang besar. Sedangkan orang tuanya, menginginkan Tohari jadi guru agama. Tohari tertawa kecil menceritakan bagian ini.
Ayahnya mendaftarkan Tohari di sekolah PGA (Pendidikan Guru Agama). Diam-diam Tohari masuk SMP negeri. Tiga bulan kemudian baru ayahnya tahu, anaknya tidak sekolah di PGA. Ayahnya akhirnya teringat cerita buyut: ikuti saja apa yang diinginkannya. Di SMA dia memilih jurusan IPA, tapi hobinya membaca buku cerita. Ketika kuliah, dia mencoba banyak fakultas: kedokteran, ekonomi, sosial, dan lainnya. Tapi tidak ada yang selesai. Secara formal, dia hanya memegang ijazah SMA.
Pada usia 34 tahun, tepatnya tanggal 17 Juni 1982, tanda-tanda menjadi orang besar itu mulai terlihat: novel Ronggeng Dukuh Paruk mulai dimuat sebagai cerita bersambung di harian Kompas. Pada tahun yang sama, cerber itu diterbitkan dalam bentuk novel oleh Gramedia. Dan, laku keras.
Sampai kini, selama 43 tahun, royalti dari novel itu mengalir terus ke rekening Tohari. Dari uang ini, Tohari membiayai lima anaknya sekolah dan kuliah sampai setinggi-tingginya, sampai tingkat doktoral, dan ada yang di luar negeri.
Ini pencapaian yang luar biasa bagi seorang penulis. Sekaligus menghapus mitos: bahwa tidak semua orang yang mengambil profesi sebagai penulis menjadi kere.
Selain menghasilkan royalti terus menerus bagi penulisnya, Tohari juga dilimpahkan penghargaan dari berbagai lembaga. Sertifikat penghargaan itu dibingkai dan disimpan di perpustakaan pribadi di rumahnya.
Kemarin, Kamis 15 Mei 2025, saya mengantarkan satu penghargaan lagi untuk penulis besar ini: Satupena Award for Lifetime Achievement 2024. Ditandatangani oleh ketua umum Satupena, Denny JA. Hadiah Rp50 juta telah dikirimkan ke rekening beliau sejak Desember tahun lalu.
“Penghargaan ini pertanda bahwa penulis dihargai di Indonesia,” kata Tohari. Secara khusus dia menyampaikan terimakasih kepada Denny JA yang menyediakan “dana abadi” untuk kegiatan literasi di Indonesia.
Tohari menitipkan buku Ronggeng Dukuh Paruk cetakan tahun 2025 untuk Denny. Penerbitnya tetap: Gramedia. Cetak ulang buku ini telah berkali-kali, dan tahun ini dicetak lagi edisi hard cover, menunjukkan bahwa buku karya Ahmad Tohari ini masih dicari oleh pembaca buku di Indonesia.
Di balik cerita indah di atas, sejatinya Tohari berdarah-darah mencapainya. Sebelum memutuskan menjadi penulis novel, dia harus memberhentikan dirinya sebagai redaktur di Harian Merdeka. Dia memilih ingin jadi penulis penuh. Karena itu, jabatan redaktur –bergaji tetap tiap bulan– ditinggalkannya. Lalu menjadi penganggur dan penulis.
📚 Artikel Terkait
Tiga bulan kemudian, Tohari membawa naskah Ronggeng ke Gramedia di Palmerah Selatan. Sebagai orang desa, Tohari merasa was was, deg-degan, dan segala kegundahan menjangkit pada dirinya. Itu terjadi ketika dia sampai pintu gerbang Gramedia. Penuh keraguan untuk masuk. Merasa bukan kelasnya untuk memberikan naskah ke penerbit paling besar ketika itu. Sementara dia belum dikenal luas.
Setelah keberaniannya bulat, dan masuk gedung Gramedia. Tohari masih kena mental melihat petugas penerima naskah yang menyambutnya dengan dingin. “Saya buatkan tanda terimanya,” kata si petugas. Mungkin dia berkata begitu sudah ribuan kali, sebanyak naskah yang diterimanya. Tentu saja sebagian besar naskah tersebut tidak dimuat karena ruang halaman Kompas terbatas, dan redaksi memilih naskah terbaik.
Tunggu saja di rumah. Nanti dikabari. Biasanya sebulan. Itu kata petugas setelah menyerahkan tanda terima naskah kepada Tohari.
Tohari tidak gembira mendengar ungkapan datar dari petugas itu. Dia tidak yakin bahwa naskahnya akan dimuat.
Tidak sampai seminggu, kejutan datang. Tohari menerima surat dari Kompas. Isinya meminta Tohari datang ke Kompas. Untuk memenuhi panggilan itu, Tohari perlu ongkos dari Jatilawang, Banyumas, kampung halamannya. Bukan hal mudah baginya membiayainya perjalan ke Jakarta ketika itu.
Di Kompas, Tohari langsung diterima Pak Jacob Oetama dan dua redaktur lainnya. Ini pertanda bagus. Tentu redaksi sudah mendiskusikan naskah tersebut dan perlu meminta saran penanggung jawab Kompas karena isinya sensitif ketika itu. Pak Jacob bertanya: apakah kisah di novel itu benar-benar terjadi?
Tohari menjawab cerdik: itu naskah novel. Fiksi. Tapi memang diilhami oleh kejadian sebenarnya. Maklum, Ronggeng berisi cerita tentang peristiwa G30S PKI yang disaksikannya sendiri di kampungnya. Serem. Tohari marah mengapa orang kampungnya yang dianggap PKI harus dibunuh?
Pas seminggu setelah naskah diserahkan ke redaksi, Ronggeng muncul di Kompas sebagai cerita bersambung tiap hari. Akibatnya, Intel lalu-lalang di depan rumahnya di Banyumas. Lalu Tohari ditangkap di Jakarta oleh Kopkamtib. Diinterogasi. Kopkamtib mencurigai Tohari terlibat G30S PKI. Ditanya berhari-hari tentang hal yang sama. Maklum penguasa Orde Baru jijik betul pada isu PKI
Petugas tidak lelah-lelah bertanya. Tohari bergeming. Petugas hampir menyerah, dan berkata: coba tulis nama yang bisa menjamin Saudara bukan anggota PKI. Lalu, Tohari menulis sebuah nama dan nomor telponnya: Abdurrahman Wahid + nomor telpon. Ketika itu, Gus Dur adalah ketua PB NU.
Perkara teror pada Tohari dan keluarga selesai. Cerita bersambung terus berlangsung. Lalu Ronggeng dibukukan. Juga difilmkan. Bukunya diterbitkan berulang-ulang sampai kini.
Apa rahasianya novel Ronggeng sukses?
Tohari memberi tips ringan, tetapi berat untuk diterapkan. Pertama, Tohari menulis meminjam jurus jurnalis. Yaitu, 5W dan 1H harus terjawab semua. Kedua, dia meminjam ilmu waktu belajar di pesantren, yaitu ilmu mantiq. Yaitu, kalimat harus mudah dipahami. Dan, pemahaman pembaca sesuai dengan yang diinginkan penulisnya. Ketiga, tuntas. Artinya, Tohari menulis dengan teliti, tidak ada kesalahan bahasa, tanda baca, dan logika bahasa. Karena itu, katanya, dia tidak memerlukan editor untuk memeriksa karyanya.
Sungguh menarik mendengarkan cerita dari penulis 78 tahun ini. Dia cinta kampung halamannya. Kini dia jarang meninggalkan kampung tanah kelahirannya ini. Paling sesekali memancing ke laut.
Sesekali orang-orang yang menamakan dirinya Fans Novel Ronggeng dari berbagai kota datang ke rumah Tohari yang sederhana ini. Seperti fans pada umumnya mereka minta tanda tangan di buku Ronggeng, bercerita, dan minta foto bersama.
Dia menikmati hidup bersama istrinya di rumah utama dalam komplek keluarga. Perpustakaan menempati rumah sendiri dengan arsitektur gaya lama. Rumah kelima anaknya juga berada di komplek yang sama. Rumah dengan gaya berbeda-beda tapi di lingkungan yang asri dan banyak pohon. Dua pohon duriannya mati karena dibunuh ular.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini


















