Oleh Satria Dharma
Berdomisili di Surabaya, Jawa Timur
Dari Abdullah bin ‘Amru bahwa ada seseorang bertanya kepada Rasulullah saw; “Islam manakah yang paling baik?”
Nah, apa kira-kira jawaban Nabi Muhammad?
– Orang yang selalu bangun tengah malam untuk bertahajud? Bukan.
– Orang yang paling banyak hapalan Al-qurannya? Bukan
– Orang yang puasa Senin dan Kamis secara rutin atau yang puasa Daud, sehari puasa sehari tidak? Juga bukan.
– Orang yang selalu salat berjamaah di masjid? Ternyata bukan. ?
Lalu siapa dong…?!
Nabi saw menjawab: “Kamu MEMBERI MAKAN dan MEMBERI SALAM kepada orang yang kamu kenal dan yang tidak kamu kenal”. AlHadist.
Ternyata bukan ibadah atau ritual pribadi yang membuat seorang muslim menjadi yang paling baik. Tapi justru perbuatan baik yang berhubungan dengan orang lain, atau muamalah, yang bisa mengantarkan kita menjadi islam yang paling baik.
Ini adalah sebuah hadist yang keren dan perlu kita pahami dan praktikkan
Pertama soal memberi makan.
Seorang teman adik saya pernah mengemukakan kesulitan hidupnya dan bilang bahwa hidupnya sehari-hari adalah mencari orang yang bisa memberinya makan. Setiap hari ia kemana-mana mencari jika ada teman yang mau mengajaknya atau membelikannya makan. Ia sulit sekali mencari pekerjaan sekadar untuk bisa makan. Sungguh menyedihkan.
Saya lalu nyletuk bahwa kalau begitu dia itu cocok dengan saya. Saya sendiri senang sekali kalau bisa menemukan orang yang bisa saya traktir makan. Semakin sulit hidupnya semakin baik tentunya bagi saya. Artinya saya semakin penting bagi hidupnya. Saya merasa bahwa kelebihan uang saya bermanfaat bagi orang-orang di sekitar saya kalau bisa mentraktir makan orang yang sulit makan.
Kadang-kadang saya juga membayari seseorang yang kebetulan berkenalan ketika makan di warung. Jadi ketika selesai makan dan membayar di kasir diam-diam saya bayari juga orang tersebut, teman baru yang mungkin tidak akan pernah bertemu lagi. Semoga saja hal tersebut bisa membuat harinya lebih baik. Lha wong saya saja seringkali ditraktir sama teman-teman sedangkan uang di dompet saya sendiri sampai berdesak-desakan minta dibelanjakan.
Jadi memberi makan orang, apalagi orang yang saya kenal adalah hobi yang saya kembangkan sesuai dengan hadist ini. Saya sudah setengah dari ‘Islam yang paling baik’ dengan hobi ini. Tinggal setengah lagi…
Kedua memberi salam pada orang yang dikenal mau pun yang tidak dikenal?
Pernahkah Anda memberi salam atau menyapa orang yang tidak Anda kenal? Saya sering melakukannya dan oleh teman-teman saya dianggap usil dan sok kenal., SKSD PALAPA (Sok Kenal Sok Dekat Padahal Gak Kenal Siapa-siapa) Soalnya kalau saya sedang berjalan bersama teman dan kemudian saya berpapasan dengan orang yang tidak saya kenal saya sering menyapa mereka dengan sekadar mengucapkan, “Hai…!” atau “Selamat pagi, Pak!” dan tersenyum pada mereka.
Tentu saja mereka kemudian juga membalas sapaan saya dengan ucapan yang sama atau sekedar tersenyum meski pun dengan wajah bertanya-tanya. “Siapa ya orang keren yang barusan menyapa saya ini? Kayak Sean Connery juga kayak Kenny Rogers…”.
Beberapa waktu yang lalu saya jalan kaki di Darmokali bersama teman lama. Kami berpapasan dengan seorang anggota Koramil yang kantornya kami lewati . Saya lihat baju seragamnya tertulis namanya. Jadi saya langsung menyapanya, “Halo Pak Hadi”. Dengan tergagap ia membalas sapaan saya dengan wajah bertanya-tanya karena ia merasa tidak kenal saya. Teman saya bertanya apakah saya kenal dengannya dan saya jawab tidak. “Kamu itu sok kenal..!” gerutunya. Sambil tertawa saya bilang padanya,”Namanya kan Pak Hadi toh. Kan gak salah. Lagipula ia tentu senang jika disapa seseorang.” Saya tidak memberitahu teman saya tersebut bahwa saya sedang mempraktikkan hadist Nabi.
Ketika ada orang yang menyapa kita, maka kita membalas sapaan tersebut sesuai dengan tradisi dan kebiasaan yang kita pelajari sejak kanak-kanak. Itu adalah gerak refleks yang kita pelajari sebagai mahluk sosial. Tapi tentu saja ada kekecualian ketika saya menyapa seseorang dan orang tersebut tidak menjawab sapaan saya karena yakin bahwa ia tidak mengenal saya dan yakin bahwa mungkin saya salah menyapa orang. Tapi itu sangat…sangat jarang. I’ve been doing it so many times so I know it for sure.
Jika saya memasuki sebuah ruangan di mana ada beberapa orang telah berkumpul di dalamnya, maka saya membiasakan diri untuk mengucapkan salam kepada mereka, entah itu “Assalamu alaikum” atau “Selamat pagi, siang, sore.”. Saya berusaha untuk tidak masuk begitu saja dan duduk. Saya mempelajari bahwa itu sikap yang lebih baik. Bahkan saat ini saya berupaya mengembangkan sebuah kebiasaan kalau datang ke kondangan atau pertemuan untuk langsung menyalami tamu yang sudah datang lebih duluan satu persatu dan menyebutkan nama saya pada mereka. Saya menganggap tindakan seperti ini akan mencairkan suasana dan memberi kesan bahwa saya orang yang ramah. It’s a good practice (Yah, SKSD PALAPA dikit gak apalah!).
Padahal sebenarnya saya adalah orang yang introvert. Actually, doing that is not easy for me. Sebagai orang dengan sifat dasar introvert saya memang lebih suka sendirian dan tidak suka dengan situasi ribut dan hura-hura. I actually prefer being alone and I enjoy quietness. Saya bahkan sering jengkel kalau diajak ngobrol oleh teman sebangku di pesawat ketika ingin beristirahat, ingin membaca, atau ingin menulis.
Apa yang saya pelajari dari hadist tersebut?
Bahwa untuk menjadi islam yang paling baik kita diminta untuk mengembangkan dua sikap yang penting dalam bermuamalah, yaitu DERMAWAN dan RAMAH. Orang tidak perlu melihat kita selalu memakai sarung dan kopiah haji sambil bawa tasbih komat kamit di jalanan. Orang tidak perlu tahu apakah kita selalu salat di masjid, puasa Senin – Kamis, salat tahajud malam-malam, ngaji one day one juz, selalu berdzikir dan shalawat, dan lain sebagainya. Sama sekali tidak perlu. Simpan saja itu untuk diri pribadi. Yang dibutuhkan dari kita sebagai seorang muslim adalah dua sifat penting dalam bermuamalah, yaitu DERMAWAN dan RAMAH.
Jika kita mengaku muslim, tapi pelit dan tidak suka memberi makan atau tidak peduli, utamanya pada orang-orang yang memang membutuhkan bantuan makan dari kita maka kita sudah kehilangan kesempatan menjadi orang Islam yang paling baik. Jika sikap pelit ini ditambah dengan sikap kasar, tidak peduli, ketus, tidak ramah baik kepada orang yang tidak dikenal, apalagi pada orang yang kita kenal, maka kita kehilangan lagi separoh kesempatan menjadi orang Islam yang paling baik.
Jadi jika kita mengaku sebagai muslim, tapi tidak memiliki dua sifat baik yang diharapkan oleh Rasulullah itu lantas apa sifat baik yang mau kita tonjolkan sebagai muslim?
Seperti kata petarung MMA Khabib Nurmagomedov “Non-Muslim tidak membaca Al Qur’an dan Hadis. Mereka membaca kamu (kita umat Islam), makanya JADILAH DUTA YANG BAIK BAGI ISLAM” Dengan mengembangkan dua sikap positif DERMAWAN dan RAMAH, maka jelas orang akan mencintai orang Islam.
Lalu bagaimana jika ternyata justru non-muslim yang DERMAWAN dan RAMAH?
Itu artinya mereka telah menjadi non-muslim yang memiliki sikap islami yang paling baik.
Surabaya, 20 Juli 2021
Satria Dharma