Oleh Ahmad Rizali
Berdomisili di Depok
Mumpung sedang hangat, ada baiknya saya berkisah sedikit tentang bagaimana cara seorang rektor UI terpilih, karena pasti tidak banyak yang paham mekanismenya sehingga Prof. Ari Kuncoro menjadi “Presiden” UI. Pemilihannya jelas tidak sedemokratis Pilpres di Indonesia.
Rektor UI dipilih oleh Anggota Majelis Wali Amanat (MWA) dengan voting. Mendikbud memiliki sepertiga suara. Anggota MWA (jumlahnya saya lupa, baca di Statuta UI di Internet), selain Mendikbud “ex officio” wakil pemerintah, terdiri dari wakil Senat Akademik UI (dipilih oleh semua Anggota Senat), wakil Masyarakat (biasanya tokoh yang dikenal, di sinilah Menteri/Mantan, pengusaha besar dan lain-lain masuk), Wakil no staf akademik dan wakil mahasiswa.
Siapakah yang memilih anggota MWA yang diusulkan itu? Mereka adalah Senat Akademik UI (SAUI) dan anggota SAUI ini dipilih dan diusulkan oleh setiap SA Fakultas dan SA Fakultas inilah yang secara demokratis dipilih oleh para dosen di setiap Fakultas. Jadi jika diusut, dari sinilah asal muasal Rektor dipilih.
Jika anda ingin menjadi Rektor, selain wajib memenuhi syarat personal seperti berpendidikan S3 dan tak berafiliasi partai politik dan lain-lain, anda juga harus berhitung seperti apa sikon anggota SAUI yang akan memilih MWA. Jika SAUI solid kepada anda, muluslah jalan anda. Karena suara MWA akan di tangan anda.
Bukankah saat Pilrek juga ada proses seleksi? Karena calon sudah terseleksi sejak awal dan biasanya jarang juga ada calon dengan kehebatan mencolok dibandingkan calon lain, maka dugaan saya pemilihan akhir oleh pansel MWA lebih ke “akseptabilitas” yang subyektif, toh portofolio akademiknya tidak banyak beda.
Jika suara MWA tidak solid, maka penentunya adalah suara Mendikbud. Jika solid, setidak diterima seperti apapun oleh pemerintah, apaboleh buat, Mendikbud tak berkutik, apalagi jika sang calon sangat kredibel. Dalam kasus PT non Badan Hukum seperti Unila misalnya, Mendikbud masih bisa memilih satu dari 3 calon yang diajukan (terpilih internal) meski yang bersangkutan di urutan ke tiga.
Jadi, regulasi PP (Statuta) jelas. UU (Dikti) juga jelas. Kebijakan Umum (SK MWA) juga jelas. Tatacara Pilrek juga jelas. Namun, siapakah yang bisa mengatur “preference” seseorang? Apalagi dosen/GB dari Universitas (pemegang nama) INDONESIA ini?
Jelas Rektor UI melanggar Statuta, namun mohon maaf saya lupa apakah sanksi pelanggaran itu, karena kasus pelanggaran Statuta, terutama di UI, baru kali ini saya dengar. Bisa jadi memang sudah ada di Kebijakan Umum MWA UI. Kita menjadi saksi, bagaimana akhir “drama” berjudul “Rektor Komisaris” ini berakhir.
Vivat… Benar, Jujur, Adil !!