Oleh : Mulkan Kautsar
Duta Wisata Bireuen 2018/Duta Wisata Aceh Intelegensia 2018, Berdomisili di Bireun, Aceh
Perbedaan persepsi, agama dan suku. Tiga kata ini merupakan hal yang telah memicu diskriminasi, intoleransi dan kekerasan ekstrimisme serta menghantui jutaan umat manusia dalam bingkai perdamaian di seluruh dunia. Indonesia sebagai negara yang sangat majemuk tidak terlepas dari ketakutan akan hal ini. Hari ini, masyarakat hidup dalam rasa saling curiga dan mengenyampingkan toleransi antar sesama. Tidak sedikit manusia yang saling membunuh hanya karena satu perbedaan dan melupakan persamaan. Siapa yang menjadi korban? Anak anak dan mereka yang tidak bersalah. Mereka kehilangan rumah, keluarga dan mimpi yang terkubur bersama keegoisan segelintir orang.
Keadaan semakin diperburuk dengan media yang tidak bertanggungjawab, atau pengguna media sosial yang hanya menggunakan opini tanpa bukti dalam menyebarkan tulisan-tulisan palsu. Lalu yang lebih parah, pembaca yang dengan cepatnya percaya tanpa mencerna terlebih dahulu. Setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya. Demikian dengan masa kini, dimana manusia hidup dalam dunia yang berteknologi canggih serta globalisasi yang telah menembus batas-batas administrasi antar negara. Moderenisasi media sosial yang semakin canggih justru telah melumpuhkan pemikiran sebagian orang dengan hanya mampu mengutuk di dunia maya, namun tidak ada aksi yang nyata.
Bhineka tunggal ika adalah semboyan negara ini. Semboyan ini bermakna berbeda-beda tetapi tetap satu. Para pendiri negara ini telah merumuskan sebuah semboyan dengan tujuan mempersatukan setiap perbedaan yang ada. Tidak dapat disangkal bahwa Indonesia terdiri dari masyarakat dengan berbagai persepsi, agama dan suku, namun bisa bertahan sampai saat ini dikarenakan rasa memiliki โBhineka tunggal ikaโ dalam setiap sendi kehidupan. Bisa dibayangkan seandainya suatu golongan memaksakan sesuatu untuk menjadi sama, maka kehancuran akan menanti negara ini.
โThink before you clickโ. Kalimat ini menunjukan bahwa seharusnya setiap orang bisa menggunakan pikiran sebelum menggunakan media sosial. Hal ini dikarenakan media sosial ibarat bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Apabila tidak digunakan dengan bijak, maka akan memicu kerusuhan. Namun sebaliknya, apabila dapat digunakan dengan bijak akan menjadi tameng untuk menangkal diskriminasi, intoleransi dan kekerasan ekstrimisme.
Media sosial merupakan cerminan diri dari setiap pribadi. Seseorang yang terbiasa dengan cyber bullying, cyber war, atau penyebar isu hoax merupakan bentuk dari seseorang yang bermasalah dengan kepribadiannya. Adapun dampak negatif yang dapat terjadi kepada korban dari diskriminasi di media sosial yaitu menyebabkan depresi hingga bunuh diri. Apalagi hal ini bukan lagi hanya teori semata, namun banyak kasus contoh bunuh diri karena hal ini.
Sejatinya segala sesuatu diciptakan untuk tujuan yang bermanfaat. Oleh karenanya media sosial juga dapat digunakan sebagai penangkal diskriminasi, intoleransi dan kekerasan ekstrimisme. Langkah yang dapat dilakukan yaitu penggunaan secara bijak dengan memanfaatkan media sosial sesuai dengan fungsi sebenarnya. Langkah lainnya yaitu menghindari isu yang menebar kebencian, tetapi membagikan berita-berita yang berupa fakta serta mengajak kepada perdamaian.
Diskriminasi, intoleransi dan kekerasan ekstrimisme bukan hanya musuh negara, tetapi juga merupakan musuh bagi setiap individu. Tiga hal ini tidak boleh dibiarkan masuk ke dalam sendi kehidupan masyarakat. Dari itu, perlu diajarkan sejak dini kearifan lokal serta nilai-nilai kebangsaan bagi generasi bangsa agar hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi. Melalui pendidikan karakter berbasis kearifan lokal dan kebangsaan, maka generasi bangsa akan semakin cerdas dalam menggunakan media sosial, bermasyarakat serta menangkal diskriminasi, intoleransi dan kekerasan ekstrimisme di masa mendatang.