Oleh Delima Saflidara
Mahasiswi Jurusan Sosiologi Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Sudah tiga tahun saya kuliah, banyak hal yang aneh terasa. Mungkin bukan hanya terjadi pada perasaan saya. Namun juga pada banyak mahasiswa yang saya tahu, di jurusan saya pada mulanya tidak tahu mengapa mereka kuliah di jurusan itu. Berasal dari jurusan ilmu eksak di SMA, saya pun kemudian memilih Sosiologi Agama sebagai jurusan di kampus tanpa paham sedikit pun tentang jurusan itu. Saya pernah berpikir bahwa sudah banyak hal yang saya lakukan. Namun ternyata ke semuanya itu bukanlah apa-apa. Dari awal kuliah sampai dengan hari ini, saya melewati dua batas waktu yang bertolak belakang, sekaligus berbanding lurus. Dari semester satu sampai lima, saya berupaya keras mencari tahu esensi dari program studi atau jurusan yang telah saya pilih. Saya berusaha mengenalnya. Proses itu saya nikmati sekali, meski ada banyak pertanyaan bercampur bimbang yang tersusun tidak rapi di benak saya.
Akhirnya saya menemukan sebuah pengertian bahwa prodi Sosiologi Agama merupakan jurusan di mana mahasiswa jurusan itu dipersiapkan untuk menjadi orang yang memiliki kepekaan dan sensitivitas yang tajam terhadap setiap fenomena sosial keagamaan yang terus berkembang dalam masyarakat. Setelah mampu melihat, mahasiswa ditempa agar mampu menganalisis, lalu menyimpulkan. Sehingga lahirlah teori-teori baru sebagai upaya memperkaya khazanah keilmuan ilmu-ilmu sosial. Namun tetap saja, mahasiswa dan lulusan program studi ini tidak bisa hanya terus duduk di atas kursi dengan satu laptop di depannya. Kami harus turun ke jalanan, ke desa-desa, ke sungai-sungai yang tercemar, memasuki hutan dan mendengarkan jeritannya, menyusuri pasar, rumah ibadah, dan tak ketinggalan untuk berkunjung ke singgasana para stake holder negeri ini. Lalu saya berkata, โinilah dunia sayaโ.
Namun di tengah gejolak kebimbangan yang saya alami, pernyataan menarik perhatian pun banyak meluncur dari bibir teman-teman sekelas, seleting, bahkan dari para senior di jurusan saya. Sebagian besar mereka merasa terjebak pada jurusan yang tidak mereka minati. Mereka mengatakan tersesat, sudah takdir dan sebagainya. Ini artinya, tidak ada kesadaran penuh mahasiswa saat memilih jurusan perkuliahannya. Dalam bahasa lain, rencana masa depan mereka benar-benar tidak dipersiapkan dengan baik. Hal ini disebabkan oleh dua hal, yang pertama adalah tidak adanya bimbingan karier ketika masih SMA. Yang kedua adalah kurangnya kemauan diri untuk membaca dan mencari tahu informasi sebanyak-banyaknya terkait jurusan yang akan diambil. Pertanyaannya adalah lalu apa yang harus dilakukan untuk fenomena tragis ini? Sementara beribu anak bangsa di beberapa negara sudah berlari seratus langkah dari kita.
Magang atau dalam bahasa Inggris disebut internshipadalah kurikulum pertama dan tentunya baru di prodi kami, dan kamilah leting kedua angkatan pertama sebagai kelinci percobaannya. Magang diberlakukan agar mahasiswa mampu berintegrasi dengan isu-isu sosial melalui lembaga yang-lembaga yang ada. Selain agar terjalinnya kesepahaman antara lulusan dengan isu-isu sosial dalam masyarakat. Apalagi isu agama menjadi sangat sensitif di Indonesia, maka persoalan keagamaan pun tidak boleh ketinggalan dibahas berbarengan dengan isu-isu sosial lainnya. Sosiologi tidak terlepas dari terminologi masyarakat dengan segala aspeknya. Maka, bicara masyarakat tidaklah lepas dari isu-isu seperti kemiskinan, mobilitas, kenakalan remaja, perilaku beragama, dan masalah-masalah rumit lainnya yang begitu kompleks. Sehingga magang bertujuan untuk mencapai tujuan-tujuan sebagaimana paragraf kedua di atas. Selain mahasiswa dan lulusan sosiologi agama harus mampu menjadi mediator atau penengah dalam persoalan-persoalan kemasyarakatan seperti konflik yang terus ada dan berkembang dari masa ke masa.
Saya tidak membatasi diri dalam hal belajar dan memperkaya pengetahuan. Saya akan terus bertanya banyak hal dan melakukan banyak hal juga. Khusus bertanya yang saya rencanakan akan banyak itu, tentunya jika pimpinan magang tidak keberatan dan senantiasa bersedia. Saya juga akan menyusuri lembar demi lembar, halaman demi halaman buku, majalah, dan lainnya baik online maupun cetak. Tentu tidak akan mudah di awal-awal, namun pembiasaan perlu dilakukan untuk menanam dan menumbuhkan kebutuhan membaca dan menulis dalam diri saya dan kita. Satu teori mengatakan bahwa untuk melatih sebuah kebiasaan, maka kita hanya perlu waktu selama 40 hari. Di mana selama itu jika kita melakukannya secara intensif dan disiplin, maka akan tercapai hasil yang diinginkan. Saya pikir, waktu magang selama dua bulan akan sangat memberi peluang keberhasilan itu. Saya ingin mampu menulis dengan baik dan benar. Lalu sebagai indikatornya adalah, dengan dimuatnya tulisan saya di koran, majalah, atau lainnya. Karena impian jauh saya adalah, saya berharap akan bisa menerbitkan sebuah novel. Ini semua adalah harapan. Namun sekedar berharap maka akan nihil saja. Untuk menjadi seorang penulis yang andal, maka saya harus menjadi seorang pembaca yang tekun terlebih dahulu.
Budaya membaca dan menulis masih sangat memprihatinkan di negeri ini. Bahkan di kampus saya sendiri. Mahasiswa yang jumlahnya ribuan itu sedang berjalan, beraktivitas setiap harinya namun sejatinya mereka sedang tertidur nyenyak dalam buaian kecanggihan teknologi. Sehingga tak heran, bangsa ini selalu setia berkontribusi menjadi konsumen atas kemajuan dunia. Sementara bangsa lain sibuk memproduksi dan berkreativitas.
Tapi tunggu dulu! Tidak adil rasanya jika melulu menilai Indonesia seperti di atas. Kita juga pernah memiliki beberapa manusia yang kepalanya kritis, kreatif, dan produktif. Seperti Soekarno, Soeharto, Habibie, Buya Hamka, dan masih banyak lagi. Terlepas dari buruknya mereka, karena kita selalu diliputi dua hal itu. Baik menurut kelompok A, belum tentu baik juga menurut kelompok B, dan begitulah seterusnya. Namun catatannya adalah, bahwa mereka kala itu sadar, sadar akan penjajahan. Lalu kesadaran itu mendorong mereka memikirkan sesuatu dan melakukannya. Namun ada apa dengan generasi kita saat ini?. Generasi 90-an sampai 2000-an tepatnya, karena saya adalah bagiannya. Kesadaran kita kurang, bahkan pada situasi yang kita hadapi sendiri. Kita berpikir zaman penjajahan telah berakhir. Kita berpikir kita sudah merdeka. Padahal masih saja bangsa ini terjajah oleh kebodohan dan rasa malas kita sendiri. Nah, akhirnya lagi-lagi seolah negeri ini tidak ada harapan. Tak bisa dipungkiri juga bahwa generasi sekarang pun banyak yang melek dan up ke permukaan di samping yang lain sibuk mendengkur. Namun persentasenya sanggatlah sedikit. Mereka yang melek lebih sedikit jumlahnya dari pada yang merem.
Kemudian kita bertanya ini semua salah siapa. Padahal ini tanggung jawab setiap kita, ini PR bersama. Atas dasar pertanyaan itu, beberapa orang mulai melek ilmu pengetahuan. Tumbuh upaya-upaya memberdayakan oleh kelompok-kelompok yang menyadari kondisi sulit menyedihkan ini. Pemberdayaan manusia di bidang ekonomi, kesehatan, dan pendidikan pun mulai dilakukan. Tidak oleh pemerintah, kebanyakan dilakukan oleh segelintir orang yang membentuk kelompok dengan satu tujuan yaitu pemberdayaan manusia agar berkembang menjadi beradab dan berilmu pengetahuan. Pemerintah pun memberikan dana yang besar untuk aspek pendidikan negeri ini, namun dana yang besar itu ternyata sedikit sekali mengalir benar-benar pada tujuannya. Dana itu kerap sekali singgah dan menetap di kantong-kantong para stakeholderkita. Slogan besar kemudian dipajang tegak di beberapa tempat strategis โpasar ilmuโ, seperti perpustakaan misalnya. Saya menyebutnya โpasarโ, karena perpustakaan di kota Banda Aceh menurut saya tidak berbeda dari sebuah pasar. Suasana belajar yang seharusnya hening di tempat ini, malah riuh ricuh kalau bukan karena pengunjungnya, maka karena celoteh para staf perpustakaannya yang bergosip ria. Sejatinya adalah, ketika sesuatu itu tidak disadari betul oleh diri kita sendiri, maka semua upaya akan berjalan lambat, layaknya seekor siput yang beradu lari dengan seekor citah. Kita akan jauh tertinggal.
Meskipun persoalan pelik kini membelenggu diri kita, namun manusia sejatinya bersifat dinamis. Oleh karena itu, mulailah hari ini untuk sadar lalu bangkit dan berdirilah tegak, siap-siap untuk segera berlari kencang sekencang-kencangnya agar tali-tali malas dan kebodohan yang membelenggu ini menegang lalu putus dan terlepas. Belum terlambat waktunya meski kita merasa terjebak dalam sebuah jurusan kuliah yang tidak kita minati. Kita hanya perlu belajar mengenal dan mencintainya. Jangan berpikir kuliah itu sebagai batu loncatan untuk mendapatkan kerja. Mahasiswa kuliah bukan semata-mata untuk itu. Salah satu dosen saya pernah berkata, bahwa kuliah itu sebenarnya bertujuan untuk mempersingkat waktu kita mendapatkan ilmu. Artinya, jika kita bandingkan anak-anak yang belajar di sekolah dengan yang tidak di sekolah, maka ilmu yang diterima oleh anak-anak yang belajar di sekolah lebih sistematis dan lebih cepat dari anak-anak yang belajar, namun tidak sekolah. Dengan kapasitas seadanya seperti ini, mengapa kita percaya diri sekali mengatakan โkami salah jurusanโ. Jika kendatipun benar, lalu jurusan apa yang sesuai dengan kita yang merasa tersesat ini. Apakah Jurusan Teknik, Kedokteran, Agrobisnis, MIPA, Statistik, dan sebagainya yang kita rasa kita akan mampu berada di dalamnya? Saya rasa tidak juga. Jika di tanyai, mahasiswa yang merasa tersesat itu juga menganggap jurusan-jurusan seperti di atas adalah sulit. Sehingga jelas sekali persoalannya adalah diri kita. Yang perlu diingat dan pahami adalah bukan di mana kita berada, tapi bagaimana kita melakukannya!