Oleh: Awalin Ridha
Berdomisili di Banda Aceh
Sebut saja namanya melati. Seorang anak perempuan yang memiliki cita-cita setinggi langit. Mempunyai senyum seindah mentari. Gadis itu sangat periang dan aktif. Hari-hari dilalui dengan semangat. Namun, sebuah peristiwa menghancurkan masa depannya. Peristiwa yang tak pernah disangka bahkan tak pernah sedikit pun dia mengira akan terjadi seperti ini.
Kisah di atas adalah sebuah ilustrasi. Gambaran kejadian yang terjadi pada anak. Malah, tidak hanya satu pelaku, bisa dua, tiga, atau sebelas. Pelaku-pelakunya tidah hanya dari orang luar. Tapi juga orang-orang yang dikenal dekat seperti, Ayah, paman, kakek dan keluarga terdekat lainnya.
Menurut KPAI, dari tahun 2013-2014 kekerasan seksual terhadap anak meningkat 100 persen, baik mereka yang menjadi korban atau pelaku. Banyak latar belakang terjadinya pelecehan seksual terhadap anak selain penyimpangan seksual. Modusnya semakin beragam dan aneh. Tidak hanya anak-anak perempuan yang menjadi target, anak laki-laki juga sudah menjadi korban pelecehan.
Di aceh, kekerasan seksulitas terhadap anak meningkat setiap tahunnya. Menurut catatan Pusat Pelayanan Terpada Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) kota Banda Aceh, angka korban pelecehan seksual terhadap anak naik 80 persen dari Tahun Sebelumnya. Pada Tahun 2014 jumlah kasus pelecehan terhadap anak hanya 25 kasus, sedangkan pada tahun 2015 naik menjadi 50 kasus, dan pada tahun 2016 naik menjadi 81 kasus.
Berdasarkan data dan kasus yang ditangani oleh Kantor Pemberdayaaan Perempuan dan Keluarga Berencana (PPKB) Kota Banda Aceh, angka kekerasan seksual dalam 3 tahun ini meningkat. Pada tahun 2014 terdapat 59 kasus, tahun 2015 naik menjadi 133 kasus, sedangkan pada tahun 2016 relatif meningkat hingga januari-April 2016.
Polda Aceh sudah menangani 47 kasus kekerasan seksual anak sepanjang 2016. Semua korbannya adalah anak perempuan. Umumnya pelaku melakukan pelecehan akibat seringanya menonton video pornografi.
Data dan kasus tersebut tentu sangat mengejutkan. Sebab, Aceh yang sedang menerapkan syariat islam telah kecolongan. Banyak faktor yang mendominasi hal tersebut. Pesatnya arus globalisasi mendukung terjadinya pelecehan seksual.
Pengaruh IT dan mudahnya akses pornografi. Mendorong pelaku untuk melakukan tindakan pelecehan. Terlebih lagi, akses tersebut bisa di dapatkan di sebuah android yang dimana saja dapat diputar.
Kurangnya pengawasan orang tua dan keluarga juga menjadi fokus utama. Perlindungan terdekat datangnya dari orang tua. Akan tetapi, tak sedikit pelaku muncul dari orang yang terdekat. Butuh pencerdasan dan kedekatan relijius.
Ekonomi juga menjadi salah satu faktor maraknya kasus pelecehan seksual terhadap anak. Dengan diiming-imingi uang atau benda lainnya, korban dengan mudah terbujuk oleh pelaku.
Degradasi moral, menjadikan tabiat pelaku sangat buruk. Ketika ada kesempatan, pelaku pun akan bertindak menuruti hawa nafsunya tanpa berpikir terhadap konsekuensi yang akan terjadi.
Upaya pemulihan terhadap trauma yang diderita korban, butuh waktu yang sangat lama. Karena tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh proses secara perlahan. Sebab, dampak perbuatan tersebut meninggalkan trauma yang sangat mendalam.
Selain itu, empati dan kesadaran masyarakat terhadap korban pelecehan anak harus terus dibentuk, agar korban merasa nyaman dan perlahan dapat mengurangi keguncangan jiwanya. Kemudian, mengkampanyekan Stop kekerasan seksualitas terhadap anak sebagai bentuk advokasi.
Oleh karena itu, pemerintah Aceh harus gencar dalam menangani pelecehan seksual anak. Jangan sampai generasi Aceh hancur. Pendekatan secara pengetahuan dan agama harus dimaksimalkan. Pemboikotan terhadap konten-konten dewasa harus semakin ditingkatkan lagi. Tontonan-tontonan di pertelevisian harus bisa disaring atau disensor. Ini dilakukan untuk menyelamatkan masa depan Aceh yang berlabelkan Syariat Islam.