https://www.majalahanakcerdas.com/?m=1 https://www.majalahanakcerdas.com/?m=1 https://www.majalahanakcerdas.com/?m=1
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini
Wednesday, October 22, 2025
No Result
View All Result
POTRET Online
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini
POTRET Online
No Result
View All Result
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini
Pariwara
Beranda Artikel

Kembalikan Marwah Guru Sebagai Orang yang Dihormati Bukan Dicaci

Redaksi Oleh Redaksi
5 days ago
in Artikel
Reading Time: 5 mins read
A A
0
15
Bagikan
150
Melihat
🔊

Dengarkan Artikel

Oleh: Afrizal Refo, MA

Dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia, guru dikenal sebagai sosok yang sangat dihormati. Mereka bukan sekadar pengajar di kelas, melainkan penuntun moral, pembentuk karakter, dan penjaga peradaban. Guru ditempatkan pada posisi mulia, sejajar dengan orang tua yang melahirkan manusia secara jasmani, karena gurulah yang melahirkan manusia secara rohani melalui ilmu dan budi pekerti.

Namun realitas hari ini mengundang keprihatinan mendalam. Wibawa guru mulai terkikis dan marwahnya pudar. Tidak sedikit peristiwa memilukan yang menyayat hati: guru dipukul oleh murid, guru dilaporkan ke polisi karena menegur anak didiknya, bahkan ada guru yang dirundung di media sosial hanya karena kesalahpahaman kecil. Semua ini menunjukkan bahwa rasa hormat terhadap guru yang dulu menjadi ciri kepribadian bangsa kini mulai hilang dari hati sebagian masyarakat.

Sejatinya guru adalah pilar utama peradaban. Dari tangan merekalah lahir generasi cerdas dan berakhlak. Tidak ada presiden, dokter, ulama, atau tokoh bangsa tanpa sentuhan tangan seorang guru. Bila pilar ini rapuh, maka goyahlah bangunan peradaban.

Sayangnya, di tengah arus zaman yang semakin materialistis profesi guru kerap direduksi menjadi sekadar pekerjaan administratif. Sebagian siswa memandang guru hanya sebagai penyampai materi, sementara sebagian orang tua memperlakukan guru layaknya pelayan jasa pendidikan. Relasi yang dulu penuh kasih dan penghormatan kini berubah menjadi hubungan transaksional.

Dalam ajaran Islam posisi guru sangat tinggi. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua, tidak menyayangi yang lebih muda, dan tidak menempatkan guru pada kedudukannya.” Menghormati guru bukan sekadar etika, tapi bagian dari iman dan adab yang diwariskan oleh para ulama sejak dahulu. Tanpa adab, ilmu menjadi kering dan tanpa guru, ilmu kehilangan arah.

Pelajaran dari Sejarah Jepang

Kita bisa belajar dari bangsa Jepang yang hancur lebur setelah Perang Dunia II. Ketika dua kota besar yaitu Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak oleh bom atom, hampir seluruh sendi kehidupan mereka musnah. Namun ada satu pertanyaan yang diajukan oleh Kaisar Jepang kepada para jenderal dan pejabatnya setelah perang usai:
“Berapa banyak guru yang masih tersisa?”

Bukan “Berapa banyak tentara yang masih hidup,” atau “Berapa banyak senjata yang kita miliki,” tetapi berapa banyak guru yang tersisa. Mengapa? Karena Kaisar Jepang sadar bahwa yang mampu membangkitkan kembali bangsa yang hancur bukanlah kekuatan militer melainkan kekuatan ilmu dan pendidikan.

Maka Jepang pun membangun negerinya dengan pondasi pendidikan. Guru-guru diberi penghormatan tertinggi. Mereka digaji layak, diberi tempat mulia dan dijadikan teladan di tengah masyarakat. Hasilnya, dalam waktu kurang dari 30 tahun Jepang bangkit menjadi negara maju dan disegani dunia. Semua berawal dari kesadaran bahwa kebangkitan bangsa dimulai dari ruang kelas dan dari tangan seorang guru.

Kisah Jepang ini seharusnya menjadi cermin bagi bangsa kita di Indonesia. Selama guru masih diremehkan, dihina, bahkan dicaci, maka sulit berharap pendidikan kita mampu melahirkan generasi unggul. Tidak ada kemajuan tanpa penghormatan terhadap guru.

Krisis Adab di Era Digital

Salah satu penyebab hilangnya marwah guru adalah krisis adab di era digital. Kemajuan teknologi telah membuka ruang komunikasi yang tanpa batas tetapi juga tanpa kendali. Di media sosial semua orang merasa berhak berpendapat tanpa mempertimbangkan etika dan sopan santun. Kritik terhadap guru sering kali disampaikan dengan bahasa kasar, cemoohan, dan fitnah yang mempermalukan.

Murid-murid yang tumbuh di era digital juga menghadapi tantangan berbeda. Mereka terbiasa mencari jawaban instan dari internet tanpa proses belajar yang mendalam. Guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber ilmu sehingga posisi mereka dianggap bisa “digantikan” oleh mesin pencarian. Namun mereka lupa bahwa pendidikan bukan hanya tentang pengetahuan melainkan pembentukan karakter dan nilai. Hal itu tidak akan pernah bisa diberikan oleh gawai atau algoritma.

📚 Artikel Terkait

BPBD Banda Aceh Segera Aktifkan WRS Deteksi Gempa

Mengenal Kampung Pembuat Senjata Ilegal, Darra Adam Khel

Inspirasi yang Menarik Dari Seorang Penulis

Mengapa Demo Besar Rakyat Itali Menuntut Pengakuan Palestina Merdeka

Selain itu sebagian orang tua juga turut andil dalam meruntuhkan wibawa guru. Ketika anak mereka mendapat teguran atau hukuman bukannya mendukung proses pendidikan malah melaporkan guru ke pihak berwenang atau menjelek-jelekkan di depan anak. Sikap ini menumbuhkan generasi yang tidak mengenal adab karena mereka melihat orang tuanya sendiri tidak menaruh hormat kepada pendidik.

Guru Bukan Malaikat, Tapi Pejuang yang Layak Dihormati

Tentu guru bukan malaikat. Mereka manusia biasa yang bisa salah, bisa marah, dan bisa lelah. Tetapi kesalahan seorang guru tidak seharusnya dijadikan alasan untuk merendahkan profesinya. Justru setiap kesalahan seharusnya menjadi ruang dialog yang santun bukan ajang penghinaan. Guru adalah pejuang yang mengabdikan dirinya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sering kali dengan gaji yang tidak seberapa, fasilitas yang terbatas, dan tekanan kerja yang besar.

Masih banyak guru yang rela berjalan puluhan kilometer menuju sekolah di pedalaman, mengajar dengan semangat meski ruang kelas reyot dan buku terbatas. Ada guru yang tetap mengajar di tengah sakit karena takut muridnya tertinggal pelajaran. Namun, pengorbanan semacam ini sering kali tidak terlihat, tenggelam oleh kasus-kasus kecil yang diperbesar oleh media.

Kita harus kembali memandang guru dengan kaca mata yang benar. Mereka bukan hanya pekerja pendidikan, melainkan penjaga moral bangsa. Jika guru tidak lagi dihormati maka nilai-nilai moral akan hilang, karena siapa lagi yang akan mengajarkannya?

Oleh karena itu wajib bagi para siswa untuk mendengarkan nasihat guru baik di sekolah maupun di luar. Sekalipun nasihat itu terdengar keras, percayalah bahwa di dalamnya ada kasih sayang. Guru menegur bukan karena benci melainkan karena ingin muridnya menjadi lebih baik. Bila generasi muda tidak lagi mau mendengarkan gurunya maka yang akan mereka dengar hanyalah kebisingan dunia yang menyesatkan.

Belajarlah seperti pepatah Aceh, “Meunyoe hana ta peumulia guru, maka ilmee hana bermanfaat.” (Jika tak memuliakan guru, maka ilmu tidak akan bermanfaat). Nasehat ini sederhana tapi sarat makna: keberkahan ilmu datang dari ketundukan hati kepada guru.

Mengembalikan Marwah Guru: Tanggung Jawab Bersama

Upaya mengembalikan marwah guru tidak bisa hanya diserahkan kepada guru itu sendiri. Ini adalah tanggung jawab seluruh elemen masyarakat baik. pemerintah, orang tua, siswa, media, maupun lingkungan sosial.

Pertama, pemerintah harus memperkuat perlindungan hukum bagi guru. Setiap tindakan kekerasan atau penghinaan terhadap guru harus diproses tegas agar menjadi pelajaran bagi masyarakat. Selain itu, kesejahteraan guru juga harus diperhatikan. Guru yang hidup layak akan lebih tenang dan fokus dalam menjalankan tugasnya.

Kedua, orang tua harus menjadi mitra sejati guru, bukan pengawas atau pengkritik yang selalu curiga. Pendidikan anak adalah tanggung jawab bersama. Bila ada masalah di sekolah, selesaikan dengan komunikasi yang santun, bukan dengan emosi. Orang tua juga perlu menanamkan nilai hormat kepada anak sejak dini bahwa guru adalah orang yang harus dihargai sebagaimana mereka menghormati orang tua sendiri.

Ketiga, media perlu berperan sebagai alat edukasi bukan sekadar pemburu sensasi. Jangan setiap kesalahan guru dijadikan berita besar yang mempermalukan profesi ini. Sebaliknya, angkatlah kisah inspiratif guru yang berjuang di pelosok negeri yang membuktikan bahwa masih banyak pahlawan tanpa tanda jasa di tengah kita.

Keempat, para siswa harus diajarkan kembali nilai-nilai adab. Sekolah tidak boleh hanya mengejar nilai akademik tapi juga menanamkan etika, sopan santun, dan empati. Penguatan pendidikan karakter harus menjadi prioritas agar generasi muda memahami bahwa guru adalah pelita kehidupan mereka.

Dan terakhir, guru sendiri juga harus menjaga marwah profesinya dengan terus belajar, berinovasi, dan bersikap profesional. Guru yang berintegritas akan memancarkan wibawa yang membuat murid segan, bukan takut. Sikap santun, konsisten, dan adil dalam mengajar akan menjadi teladan yang jauh lebih kuat daripada seribu nasihat.

Menatap Masa Depan dengan Hormat kepada Guru

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati pendidiknya. Sejarah telah membuktikan, dari Jepang hingga Madinah, kemajuan selalu lahir dari penghormatan terhadap ilmu dan guru.

Karena itu, mari kita kembalikan marwah guru sebagai orang yang dihormati bukan dicaci. Hentikan budaya menyalahkan guru dan mulai tumbuhkan kembali budaya mendengarkan, menghargai, dan meneladani.

Guru adalah pelita yang tidak boleh padam. Jika pelita itu kita biarkan redup oleh hinaan dan ketidakpedulian maka generasi kita akan berjalan dalam gelap. Sudah saatnya kita berkata dengan tegas: hormati guru, dengarkan nasihatnya, dan muliakan ilmunya. Karena dari tangan dan bimbingan guru, masa depan bangsa ini ditentukan.

Penulis adalah Dosen PAI IAIN Langsa dan Pembina Forum Silaturahmi Osis Bersatu (FORSIBA) Kota Langsa.

🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini

Kembalikan Marwah Guru Sebagai Orang yang Dihormati Bukan Dicaci
Kembalikan Marwah Guru Sebagai Orang yang Dihormati Bukan Dicaci
16 Oct 2025 • 59x dibaca (7 hari)
Garis Waktu yang Hilang
Garis Waktu yang Hilang
2 Oct 2025 • 51x dibaca (7 hari)
Mengapa Kita Malas Membaca
Mengapa Kita Malas Membaca
13 Oct 2025 • 37x dibaca (7 hari)
Gitu Aja Kok Repot: Merayakan Hari Humor Nasional.
Gitu Aja Kok Repot: Merayakan Hari Humor Nasional.
13 Oct 2025 • 33x dibaca (7 hari)
Sarana dan Prasarana Sekolah; Fondasi Utama Pendidikan Berkualitas
Sarana dan Prasarana Sekolah; Fondasi Utama Pendidikan Berkualitas
20 Oct 2025 • 31x dibaca (7 hari)
📝
Tanggung Jawab Konten
Seluruh isi dan opini dalam artikel ini merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi bertugas menyunting tulisan tanpa mengubah subtansi dan maksud yang ingin disampaikan.
Share6SendShareScanShare
Redaksi

Redaksi

Majalah Perempuan Aceh

Related Postingan

Anak

Potret Kejahatan Seksual Online di Indonesia

Oleh Redaksi
2016/11/18
0
52

Oleh Trance Taranokanai Penulis berdomisili di JakartaDewasa ini kejahatan seksual berkembang dengan pesatnya dan menimpa para remaja. Tak hanya di dunia...

Baca SelengkapnyaDetails

Sukses dengan Modal Nekat dan Gila

Mengulik Melemahnya Gerakan Sipil dan “Student Movement”

Postingan Selanjutnya

Biadab

Krisis Nurani: Mengapa di Negeri Ini Harus Viral Dulu Baru Ada Keadilan?

Krisis Nurani: Mengapa di Negeri Ini Harus Viral Dulu Baru Ada Keadilan?

Satu Tamparan di Sekolah: Hukuman atau Kejahatan? Membedah Dilema Pendidikan Kita

🚩🚩SELAMAT PAGI MERAH PUTIH

BENGKEL OPINI RAKyat

Silahkan Komentar

POTRET Online

Copyright@potret2025

Media Perempuan Aceh

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Disclaimer
  • Program 1000 Sepeda dan Kursi roda
  • Kirim Tulisan

Follow Us

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini

Copyright@potret2025

-
00:00
00:00

Queue

Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00