Dengarkan Artikel
Oleh : Andi Kurniawan
Pernyataan sekaligus pertanyaan “mengapa saya malas membaca” dapat dirasakan oleh siapa saja yang peduli terhadap dirinya sendiri. Setiap orang mungkin memiliki jawabannya masing-masing. Bagi yang rajin membaca, pertanyaan itu tidak menimbulkan masalah. Tapi bagi sebagian lainnya—termasuk saya—pertanyaan itu menimbulkan kegelisahan: apa jadinya jika saya terus malas membaca?
Barangkali kita perlu melihat situasi seseorang yang mengalami kemalasan membaca. Rasa malas sering berakar dari kebiasaan. Menurut KBBI, membaca berarti melihat serta memahami atau mengucapkan secara lisan isi dari apa yang tertulis. Karena manusia dianugerahi mata oleh Sang Pencipta, kita cenderung melihat hal-hal yang disukai. Seseorang yang gemar memandangi pegunungan, misalnya, tentu memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang keindahan itu. Dari sanalah muncul rasa syukur kepada Sang Pencipta, yang bisa lahir dalam bentuk puisi, tulisan, atau renungan. Membaca sesuatu yang kita sukai dapat melahirkan kebiasaan membaca yang lebih luas, sekaligus membangun kesadaran diri.
Namun tidak semua hal yang bermanfaat selalu menyenangkan. Membaca Al-Qur’an, misalnya, dapat menenangkan perasaan dan mendatangkan pahala. Begitu pula membaca buku-buku pengetahuan dan keterampilan—meski terasa berat di awal, manfaatnya baru terasa setelah kita mulai membacanya. Artinya, pengetahuan tidak datang dari niat semata, melainkan dari tindakan sederhana: membuka halaman pertama.
Bagi sebagian orang, membaca tidak harus selalu lewat teks. Mendengar juga bentuk membaca—mendengar kajian, ceramah, atau diskusi di YouTube dan radio. Indera pendengaran dan penglihatan adalah anugerah besar. Bayangkan jika kita terlahir tanpa keduanya, betapa terbatasnya cara kita memahami dunia. Karena itu, sudah sepatutnya kita menggunakan sepasang mata dan telinga dengan sebaik-baiknya.
Dalam dunia pendidikan, persoalan ini menjadi lebih serius. Apakah ada guru yang malas membaca? Tentu saja ada—saya salah satunya. Buku-buku di rak sering hanya menjadi pajangan. Setiap kali muncul niat untuk membaca, selalu disertai pertanyaan: buku apa yang harus saya baca? Bila buku yang dicari tidak tersedia, niat itu pun tertunda.
Padahal, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman, berilmu, dan bertanggung jawab, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Tujuan itu tidak mungkin tercapai tanpa budaya membaca, baik bagi murid maupun guru. Guru yang malas membaca akan kehilangan kebaruan dalam berpikir; murid yang tidak gemar membaca akan kehilangan masa depan.
Saya membayangkan sebuah sekolah dengan lingkungan yang mendorong warganya untuk membaca. Bukan karena diwajibkan, tapi karena tersedia ruang dan bahan bacaan yang menarik. Mungkin selama ini, kita bukan malas membaca, tapi tidak tahu harus mulai dari mana, atau tidak punya akses yang cukup.
Pertanyaannya, apakah proses pembelajaran kita sudah menumbuhkan budaya membaca sebagaimana cita-cita pendidikan nasional? Sebab tanpa membaca, manusia kehilangan kemampuan mendengar nurani dan melihat realitas di sekitarnya.
Membaca adalah cara sederhana untuk memperbarui akal. Guru yang baik selalu punya hal baru untuk disampaikan di kelas. Murid yang baik selalu menambah pengetahuan setiap harinya. Jika siklus ini terus berlanjut, lahirlah masyarakat yang tercerahkan. Jika tidak, waktu yang seharusnya menjadi ladang belajar hanya akan berlalu tanpa makna.
Saya sendiri sedang berusaha menumbuhkan kembali kebiasaan membaca—setidaknya untuk memperbaiki diri, siapa tahu juga memberi manfaat bagi orang lain. Dan tak lupa, saya sampaikan terima kasih kepada Potret yang istiqamah memperjuangkan harkat manusia melalui literasi menulis. Dari membaca dan menulis, semoga lahir peradaban yang lebih baik.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini





Silahkan Komentar