Dengarkan Artikel
Oleh Fileski Walidha Tanjung
Di sebuah desa bernama Gunungsari, Wisata Pundensari, Madiun, malam sederhana pada tanggal 9 September 2025 berubah menjadi pengalaman kebudayaan yang menggugah. Festival Desa Creative Hub menghadirkan sebuah acara yang dinamakan Puitisasi Seni Rupa: puisi, lukisan, dan masyarakat bertemu dalam ruang yang cair, akrab, tanpa sekat.
Apa yang tampak sekilas sebagai hiburan desa, sesungguhnya adalah peristiwa yang jauh lebih mendalam: sebuah percobaan estetis dan sosial yang menantang cara kita memahami seni.
Walter Benjamin, dalam esainya The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction, menyebut setiap karya seni memiliki aura—sebuah kehadiran yang lahir dari keunikan keberadaannya di ruang dan waktu tertentu.
Apa yang terjadi di Gunungsari malam itu membuktikan bahwa aura tidak hanya milik museum besar atau panggung prestisius, tetapi bisa lahir di halaman rumah warga, di bawah lampu desa, ketika goresan cat basah segera diberi suara oleh bait-bait puisi. Aura yang lahir dari momen itu bukan aura yang berjarak, melainkan aura yang justru mendekat, karena merasuk dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Kita perlu mengakui, selama ini seni kerap dikurung dalam menara gading. Ia dipamerkan di galeri yang sepi, dibicarakan dalam forum intelektual yang terbatas, atau dibaca dalam buku yang hanya menyentuh kalangan tertentu. Seni terkesan milik mereka yang terdidik, berpunya, atau punya akses pada ruang-ruang eksklusif.
Padahal, Jacques Rancière dalam The Politics of Aesthetics mengingatkan, “Emansipasi estetis adalah kesadaran bahwa setiap orang memiliki kapasitas yang sama untuk merasakan, menafsir, dan mencipta.” Acara di Gunungsari adalah bukti hidup dari pernyataan itu. Seni tidak hanya dipersembahkan untuk ditonton, melainkan dibagikan, dialami, bahkan ikut diciptakan secara kolektif.
Perupa Dwi Kartika Rahayu menyebut setiap goresan sebagai jejak rasa, setiap warna sebagai cerita. Dua pelukis muda, Anis Marhayu dan Shal Shalihah, melukis langsung di tengah masyarakat, membiarkan atmosfer sosial mempengaruhi intuisi mereka. Lalu saya merespons karya lukisan yang baru saja lahir itu dengan bait-bait puisi.
Hubungan lintas medium ini bukan sekadar eksperimen artistik, tetapi juga metafora tentang hakikat kehidupan itu sendiri: bahwa realitas tak pernah selesai dimaknai, selalu menunggu tafsir baru.
Martin Heidegger dalam The Origin of the Work of Artmenyebut karya seni sebagai peristiwa “terbukanya kebenaran.” Kebenaran di sini bukanlah dogma yang final, melainkan sesuatu yang sebelumnya tersembunyi lalu tiba-tiba menyingkap.
Di Gunungsari, kebenaran yang terungkap bukan sekadar tentang teknik melukis atau menulis puisi, melainkan tentang manusia sebagai makhluk yang saling berbagi imajinasi. Di sana, seni berhenti menjadi benda mati, ia menjadi dialog yang hidup, jembatan antara individu dan komunitas.
Namun, pertanyaan penting tetap tersisa: apakah ruang semacam ini hanya akan menjadi catatan indah sebuah festival, atau mampu bertahan sebagai praktik yang berkelanjutan? Demokratisasi seni mudah dirayakan, tetapi sulit dijaga. Kita tahu betapa kuat arus kapitalisasi seni di kota-kota besar, di mana pameran sering lebih dipandang sebagai investasi ketimbang perjumpaan.
Apakah ruang-ruang alternatif seperti Gunungsari bisa menandingi arus besar ini, atau perlahan tenggelam dalam romantisme sesaat? Pertanyaan ini tidak bisa dijawab sekali jadi, tetapi harus terus dipertaruhkan.
Meski demikian, penting untuk melihat momen seperti ini bukan sekadar “acara,” melainkan sebuah metode berpikir baru. Ia menantang batas kategoris antara seni tinggi dan seni rakyat, antara seniman profesional dan masyarakat awam, antara galeri eksklusif dan halaman rumah. Jika puisi bisa lahir dari lukisan yang baru ditorehkan, dan warga desa bisa larut dalam imajinasi bersama seniman, maka bukankah setiap ruang dapat menjadi galeri, setiap waktu bisa menjadi panggung puitik?
Albert Camus pernah berkata, “Seni adalah satu-satunya yang membuat kita tidak menyerah pada absurditas dunia.” Pernyataan ini memberi kita sudut pandang lain: seni bukan sekadar ekspresi estetika, melainkan cara untuk melawan absurditas kehidupan modern yang sering menekan manusia agar hanya produktif, efisien, dan utilitarian.
Gunungsari malam itu menunjukkan alternatif: seni sebagai perjumpaan, sebagai jeda, sebagai ruang yang membebaskan manusia dari logika kering angka dan fungsi.
Namun, apa arti semua ini bagi kita yang hidup di luar Gunungsari? Barangkali makna terdalam dari Puitisasi Seni Rupa justru terletak pada keberanian untuk membayangkan ulang seni dalam kehidupan kita masing-masing. Jika desa bisa menjadi pusat kreativitas, bukankah kota juga bisa belajar meruntuhkan sekat-sekatnya? Jika masyarakat bisa merasakan seni sebagai bagian dari kehidupan, bukankah pendidikan pun seharusnya memberi ruang serupa bagi ekspresi, bukan sekadar hafalan?
Pada akhirnya, seni tidak pernah selesai ditafsirkan. Ia selalu menantang kita untuk menanyakan ulang siapa kita, apa makna kebersamaan, dan bagaimana kita ingin hidup. Perjumpaan di Gunungsari hanyalah satu fragmen, tetapi fragmen yang mampu memantulkan cermin besar: bagaimana kita memperlakukan seni dalam kehidupan sehari-hari. Apakah ia akan terus kita asingkan dalam ruang elitis, atau kita berani mengembalikannya ke tengah kehidupan, agar menjadi milik semua orang?
Pertanyaan reflektif ini layak kita bawa pulang: di tengah dunia yang semakin utilitarian, masihkah kita berani merayakan kehidupan dengan cara puitis? Masihkah kita mampu menghadirkan seni sebagai ruang dialog yang hidup, bukan sekadar benda mati untuk dipamerkan? Jawaban itu mungkin sederhana, namun menuntut keberanian: keberanian untuk terus merawat perjumpaan puitis, di desa maupun di kota, di ruang kecil maupun besar, demi kehidupan yang lebih manusiawi.
***
Fileski Walidha Tanjung adalah penulis kelahiran Madiun 1988. Aktif menulis esai, puisi, dan cerpen di berbagai media nasional. Beberapa bukunya yang terbaru; Melukis Peristiwa, Luka yang Dijahit Doa, Kapalku Laut Kita, Interludium Kapibara, dan Cara Penghilang Duka.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini




