Dengarkan Artikel
Oleh Muhammad Abrar, S.E., M.E., C.GM., C.HL., C.PS., C.TM., C.TM
Bulan Agustus selalu punya caranya sendiri untuk mengetuk pintu ingatan. Bau cat baru di pagar sekolah, riuh suara anak-anak berlatih tarik tambang, hingga lagu perjuangan yang mengalun dari pengeras suara masjid. Semuanya berpadu menjadi latar yang hangat, sekaligus menggetarkan hati. Namun, di tengah gemuruh perayaan itu, ada satu pertanyaan yang tak pernah benar-benar hilang dari pikiranku: benarkah kita sudah merdeka?
Pertanyaan itu pertama kali muncul pada malam yang sepi di dalam bus ekonomi yang melaju menuju kampung halaman. Lampu-lampu warung kopi di pinggir jalan berkelip redup, dan di tengah kegelapan itu, kulihat seorang bapak tua berjalan sambil memanggul karung berisi botol plastik bekas. Wajahnya letih, langkahnya pelan, tapi matanya memandang lurus ke depan.
Entah kenapa, sosoknya menancap di kepalaku. Ia membuatku bertanya: apa arti merdeka baginya? Apakah kemerdekaan hanya sebatas tidak dijajah bangsa lain, ataukah ada lapisan makna yang lebih dalam?
Jawaban itu tidak datang sekaligus. Ia muncul sedikit demi sedikit, lewat potongan-potongan peristiwa yang kualami sendiri.
Kemerdekaan pertama yang kualami adalah saat memutuskan meninggalkan pekerjaan kantoran. Setiap bulan, gaji masuk tepat waktu, tapi setiap hari juga aku merasa semakin kehilangan diriku sendiri. Jam kerja yang panjang, ruang kerja tanpa jendela, dan rapat-rapat tanpa akhir membuatku seperti mesin yang diatur tombolnya. Hingga suatu pagi, ketika melihat wajahku sendiri di cermin, aku sadar aku sedang menjalani hidup orang lain.
Keputusan untuk berhenti tidak mudah. Ada yang menasihati dengan nada khawatir, ada pula yang mencibir, seakan aku sedang melakukan kesalahan besar. Tapi ketika pintu kantor itu kututup untuk terakhir kalinya, rasanya seperti menghirup udara segar setelah lama berada di ruang pengap. Saat itu aku tahu, kemerdekaan adalah keberanian memilih jalan sendiri, meski itu berarti berjalan sendirian untuk sementara waktu.
Beberapa bulan kemudian, aku mendapat kesempatan tinggal di sebuah kampung nelayan di pesisir. Di sana, aku belajar bahwa kemerdekaan juga tumbuh dari kebersamaan. Warga saling membantu memperbaiki perahu, berbagi hasil tangkapan dengan tetangga yang sedang sakit, dan menjaga anak-anak bersama.
Mereka tidak hidup bergelimang harta, tapi ada rasa aman yang lahir dari saling percaya. Aku melihat, kemerdekaan sejati tidak hanya soal kebebasan individu, tetapi juga soal menciptakan ruang aman bagi orang lain untuk hidup layak.
Tapi ada jenis belenggu lain yang tak terlihat, yaitu belenggu dalam diri sendiri. Bertahun-tahun aku takut mencoba hal-hal baru, khawatir gagal, takut dihakimi. Sampai suatu ketika, aku memutuskan mengikuti lomba menulis. Aku tidak berharap menang, aku hanya ingin membuktikan bahwa rasa takut tidak akan lagi memegang kendali. Saat jari-jariku mulai mengetik, rasanya seperti membuka pintu yang selama ini terkunci rapat. Proses itu membebaskanku, bahkan sebelum hasil lomba diumumkan.
Kemerdekaan juga kadang berarti melepaskan beban yang selama ini kita pelihara. Aku pernah menyimpan dendam bertahun-tahun kepada seseorang yang mengkhianatiku. Rasanya setiap mengingatnya, aku kembali terperangkap dalam kotak sempit berisi amarah dan sakit hati. Hingga suatu hari, aku memutuskan untuk memaafkan not demi dia, tetapi demi diriku sendiri. Dan benar saja, saat itu seperti keluar dari ruangan yang gelap dan sesak menuju udara yang segar.
Bagi sebagian orang, kemerdekaan berarti kebebasan berbicara; bagi yang lain, itu adalah bebas dari utang, bebas dari kekerasan, atau bebas dari diskriminasi. Tapi bagiku, semua bentuk kemerdekaan berpangkal pada satu hal: kemerdekaan adalah ruang untuk menjadi manusia seutuhnya, tanpa harus mengecilkan diri demi muat di cetakan yang dibuat orang lain.
Agustus datang lagi, dan aku tak lagi merayakannya hanya dengan lomba panjat pinang atau makan kerupuk. Aku tetap tersenyum melihat anak-anak tertawa, tapi aku juga mengibarkan pertanyaan di dalam hati:
Apakah aku sudah benar-benar merdeka dalam pikiran dan tindakan?
Apakah kebebasan yang kumiliki bermanfaat untuk orang lain, atau hanya berhenti di lingkaran kecil milikku?
Jujur saja, ada bagian-bagian dari hidupku yang masih terikat: rasa khawatir yang kadang berlebihan, kecenderungan menunda, atau kebiasaan membatasi diri sebelum mencoba. Tapi aku belajar bahwa kemerdekaan bukan tujuan akhir yang bisa kita capai sekali untuk selamanya. Ia adalah perjalanan yang terus diperbarui setiap hari, lewat keputusan-keputusan kecil yang kita ambil.
Hari ini, saat melihat anak-anak berlarian di lapangan sambil membawa bendera kecil, aku mengerti satu hal: kemerdekaan yang sejati bukan hanya diwariskan lewat teks proklamasi atau simbol-simbol negara. Ia tumbuh di hati setiap orang yang berani memilih, berani berkata jujur, dan berani melihat orang lain sebagai manusia yang setara.
Merdeka adalah saat kita merasa punya daya, meski kecil untuk mengubah hidup kita sendiri dan memberi dampak pada dunia di sekitar kita. Merdeka adalah ketika napas menemukan ruangnya, dan hati menemukan jalannya. Dan pada akhirnya, merdeka adalah merdeka itu sendiri.
#bulanmerdeka #potretonline #lombamenulisagustus
Tentang Penulis:
Saya, Muhammad Abrar, S.E., M.E., C.GM., C.HL., C.PS., C.TM., C.TMr, berdomisili di Kota Banda Aceh, saya terus mengembangkan diri melalui berbagai sertifikasi dan produktif menulis diberbagai platfrom media. Berpegang pada motto “With hardship, there is ease,” saya berkomitmen untuk berkontribusi dalam pendidikan dan kemajuan masyarakat. Simak kegiatan saya di Instagram @muhammadabrar0212
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini




