Dengarkan Artikel
Oleh Rosadi Jamani
Ini true story yang sangat tragis. Sebagai dosen saya merasa hati rasa tertikam belati. Kok bisa ada mahasiswi harus mengakhiri hidup gara-gara begitu kuatnya tekanan emosi. Simak kisahnya wak, siapkan tisu juga boleh, siapa tahu nanti mewek.
Pada Selasa siang, 1 Juli 2025, seorang gadis bernama DA (22), mahasiswi Program Studi K3 Universitas Sebelas Maret (UNS), melompat dari Jembatan Jurug, membiarkan tubuhnya menyatu dengan derasnya Sungai Bengawan Solo. Ia pergi dengan tenang, meninggalkan motor metik dan sebuah surat kecil bertuliskan permohonan maaf. Dunia menyebut ini “bunuh diri”, tapi psikologi tahu, ini bukan soal kematian. Ini adalah akumulasi dari hidup yang tidak pernah benar-benar dimengerti.
DA adalah potret muram dari seseorang yang mengidap gangguan afektif, kemungkinan depresi berat, atau bahkan bipolar, sebagaimana ia singgung sendiri dalam suratnya. “Tak masalah semua orang bilang yang lain bipolar juga bisa, aku nggak… Aku capek.” Kalimat ini bukan pengakuan, melainkan perlawanan sunyi terhadap stigmatisasi yang menempel kuat dalam dunia akademik, bahwa mahasiswa harus tangguh, mandiri, tahan banting, dan jangan manja. Gangguan kejiwaan? Ah, itu hanya alasan malas, kata sebagian orang.
Surat wasiat DA, meski pendek, memuat gejala-gejala klinis yang patut dicatat. Ada perasaan bersalah yang dalam (“Maaf aku tak sekuat Ibu”), alienasi diri (“Aku bukan diriku”), dan hopelessness akut (“Aku capek”). Ketiganya adalah indikator psikologis yang sangat kuat dari seseorang yang berada dalam fase ideation menuju action dalam spektrum bunuh diri. Seseorang yang tidak lagi melihat masa depan sebagai kemungkinan, tapi sebagai siksaan berkepanjangan.
Yang lebih tragis, DA bukan tidak ditangani. Ia sudah dalam pantauan psikiater. Dosen pembimbingnya, Dr. Sumardiyono, juga telah memberikan dispensasi. Bahkan, menyarankan cuti akademik selama 3 bulan. Tapi, ditolak DA karena ia tidak ingin dikasihani. Di titik inilah, psikologi sosial ikut berbicara, bahwa dalam masyarakat kita, empati kadang terasa seperti bentuk penghakiman halus. Bantuan sering hadir bukan dalam bentuk kehadiran, tapi intervensi yang membuat orang merasa kecil, gagal, dan lemah.
DA menginternalisasi itu semua. Ia menolak cuti karena takut dilabeli “mahasiswa bermasalah.” Ia terus berjuang, mungkin tidak untuk hidup, tapi untuk tetap dianggap “berfungsi”. Ia menulis skripsi, hadir di kelas, membalas chat dosen, dan tersenyum di kampus. Tapi semuanya hanya coping mechanism, topeng psikologis yang rapuh.
Sayangnya, seperti banyak kasus lainnya, sistem pendidikan tinggi kita terlalu sibuk mengejar akreditasi dan capaian lulusan, hingga lupa bahwa mahasiswa bukan mesin IPK, melainkan manusia dengan kapasitas jiwa yang bisa runtuh. Kita baru panik ketika seseorang melompat. Kita baru mengerahkan BPBD, psikolog, relawan, dan konferensi pers ketika tubuh sudah terseret arus.
Apa yang terjadi? Kita menyalahkan emosi yang tidak teratur. Kita lupa, regulasi emosi tak bisa tumbuh di ruang kuliah yang penuh tekanan. Ia tumbuh di ruang aman, di relasi manusiawi, bukan di jam SKS.
Kini, tubuh DA masih dicari. Tapi sejatinya, yang harus kita cari bukan hanya jasadnya, melainkan bagaimana sistem sosial kita gagal mengenali gejala penderitaan dalam diam. Kita gagal menampung air mata yang tidak tumpah, gagal menangkap makna dari senyuman yang dibuat-buat, dan gagal percaya bahwa ada orang yang benar-benar tidak kuat.
DA telah pergi. Tapi pertanyaannya kini, berapa banyak lagi DA yang diam-diam duduk di pojok perpustakaan, menahan napas, berharap dunia cukup sunyi untuk mendengar hatinya yang patah?
Jika kita hanya membaca berita ini, lalu melanjutkan hidup seperti biasa, barangkali kitalah bagian dari masalahnya.
camanewak
Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini
 
                         
                         
                         
                         
                         
                                 
			 
			 
                                 
					
 
                                



