https://www.majalahanakcerdas.com/?m=1 https://www.majalahanakcerdas.com/?m=1 https://www.majalahanakcerdas.com/?m=1
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini
Wednesday, October 22, 2025
No Result
View All Result
POTRET Online
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini
POTRET Online
No Result
View All Result
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini
Pariwara
Beranda #Cerpen

Akhir Perjuangan

Redaksi Oleh Redaksi
4 months ago
in #Cerpen, Cerpen
Reading Time: 5 mins read
A A
0
19
Bagikan
186
Melihat
🔊

Dengarkan Artikel

Oleh Faisal

Abdul Latif memandangi foto itu untuk yang kesekian kalinya. Potret seorang remaja laki-laki berusia 15 tahunan dengan sorot mata tajam dan berkulit putih itu membawa Abdul Latif berkelana dalam renungan, dalam ingatan dan dalam kesedihan yang membalut jiwa. Wajahnya memang menawan, lagak rupa kata orang-orang.

Foto itu terbingkai di dinding rumah peninggalan almarhum orang tua Abdul Latif, di kampung. Rumah semi permanen. Dinding kayunya bercat krem kusam dan dibeberapa tempat sudah lapuk dimakan rayap.

Entah sudah berapa tahun dia tidak singgah atau pun pulang sebentar ke rumah ini. Terakhir mungkin sekitar 4 tahun lalu, ketika umi meninggal karena usia senja. Yah.. Sekitar empat tahun lalu, dan sekarang kembali pulang karena berita Nurliana, adik kandungnya meninggal dunia.

Remaja laki-laki ini sekarang yatim piatu, tidak punya ayah dan tidak punya ibu. Karena tidak mempunyai siapa siapa lagi, maka Abdul Latif pulang dan berencana membawa sang remaja ke kota.
“Assalamualaikum..” suara lirih membuyarkan lamunan Abdul Latif.
“Walaikum salam, kiban? Kaleuh dipeugah bak teungku?”
“Kaleuh pakwa, mandum kaleuh Reza peugah, barang-barang pih kaleuh Reza siapkan.” Remaja yang fotonya terpampang di dinding rumah itu menjawab.

Ya, namanya Reza, lebih tepatnya Reza Mahnur. Nama pemberian Abdul Latif kepada ibunda sang remaja itu 15 tahun lalu. Melalui pesan berantai yang dikirimkan Abdul Latif dari rimbunnya hutan ke perkampungan, akhirnya si ibu tahu bahwa abang kandungnya menginginkan agar bayi merah yang baru seminggu lahir diberikan nama Reza Mahnur. Bayi merah itu sudah yatim sejak lahir, ayahnya berpulang ketika orok masih berusia 6 bulan.

Ingatan Abdul Latif kembali membayang, menembus dimensi waktu. Lagi-lagi Abdul Latif memejamkan mata. Ya… Hampir 20 tahun lalu, Abdul Latif yang masih muda memutuskan untuk bergabung dengan kelompok yang memperjuangkan kemerdekaan.
Ketidakadilan adalah pemicu Abdul Latif bergabung.

Di kelompok itu Abdul Latif memanggul senjata. Keahlian, ketelitian dan keberanian membuatnya diangkat menjadi pemimpin kelompok. Tugasnya adalah mencari dan membuat kekacauan terhadap kelompok baju loreng. Itu adalah musuh, demikian doktrin dari pemimpin tertinggi.

Berbekal rasa perjuangan, Abdul Latif meninggalkan rumah semi permanen dan dua perempuan yang paling disayanginya. Ibunda yang akrab dipanggil umi dan Nurliana si adik kandung yang dua-duanya sangat dirindukan ketika sepi dan lapar melanda di hutan belantara. Bertahun-tahun Abdul Latif melewati momen penting adat kampung dan keluarga, dan bahkan ketika Nurliana si adik yang disayang akan dipinang, menikah dan dipestakan kecil-kecilan ala kampung. Semuanya dilewatkan oleh laki-laki yang menjadi pewaris tugas menjaga Umi dan Nurliana setelah Ayahanda wafat.

Bayang-bayang masa lalu perlahan kembali menyelimuti saraf ingatan Abdul Latif. Seharusnya aku pulang untuk melihat calon adik iparku, seharusnya aku pulang supaya bisa menikahkan mereka, dan yang lebih penting saat itu adalah agar aku bisa melihat wajah adik iparku itu.

Seharusnya….seharusnya.. dan berbagai seharusnya lain membawa penyesalan. Tapi sudahlah, tidak usah kuingat-ingat lagi, akan kusimpan dan tak akan kuceritakan pada siapapun.

Sekitar 17 Tahun lalu, anak buah Abdul Latif mengabarkan bahwa Nurliana akan dilamar oleh seorang pemuda. Cuma doa yang mampu dia kirimkan seraya mengharap bahwa Nurliana akan menemukan pendamping hidup yang mampu membawa Nurliana kepada kehidupan yang lebih baik, lebih tinggi derajatnya.

📚 Artikel Terkait

2,9 Juta Kawan Kita Kena Stroke Setiap Tahunnya

Mengupas Kurikulum SMK 2025: Makin Banyak dan Padat

Jajak Pendapat #KaburAjaDulu

Sebelum Dimakamkan

Kabar bahwa Nurliana akan dipinang sepintas membuatnya bahagia, tapi kadang membuatnya gusar karena tidak bisa turun gunung. Memutuskan untuk turun gunung berarti sama saja dengan menjemput maut. Lebih baik disini saja sampai merdeka itu datang, dan itulah keputusan Abdul Latif.

Waktu berlalu, sebulan dua bulan dan akhirnya sampailah berita itu. Pesta telah dilaksanakan di kampung. Nurliana dinikahkan oleh Cek Iskandar–adik kandung ayah–karena Abdul Latif tidak bisa turun gunung.

Berhari hari penyesalan itu muncul, tapi sudahlah. Yang penting adikku berbahagia dan pernikahan itu sah. Perjuangan terus berjalan. Bersembunyi di belantara, menyasar musuh dan memberi semangat kepada anak buah mengisi hari-hari selanjutnya.

Sampai hari yang membuatnya terkenang. Ya, hari yang takkan pernah terlupakan. Hari Rabu kira-kira lebih dari lima belas tahun yang lalu. Ketika itu subuh baru saja menyingsing, Abdul Latif dan pasukannya melihat sebuah sepeda motor melintas di jalan gampong menuju ke utara. Dari balik bukit yang membatasi hutan belantara dan jalanan itu, Abdul Latif mengendap dan melihat bahwa pengendara sepeda motor itu adalah seorang serdadu. Emosinya meledak, ini dia yang jadi sasaran hari ini. Petinggi Ibukota harus tahu bahwa kami jangan diremehkan.

Dor… peluru menyalak, dan orang di atas sepeda motor tersungkur. Sekita satu menit Abdul Latif terdiam, puas. Tapi rasa puas itu segera berganti jadi sesal. Tidak seharusnya aku menembak dia. Dia punya keluarga yang bisa jadi istri dan anaknya sedang menunggu di rumah, atau kalau dia lajang barangkali ibundanya sedang menantinya pulang.
Mata Abdul Latif memejam, helaan nafas perlahan, simpul saraf diotak berkelana.

Turun dari bukit, Abdul Latif dan pasukannya perlahan mendekat ke arah korbannya. Dibaliknya tubuh serdadu yang mengendarai sepeda motor itu dan mereka melihat wajah korban.
“Aneuk muda, puteh dan rautnya mirip orang seberang pulau.” Anak buah berkata ke arah Abdul Latif. Ya, dia masih muda. Tiba-tiba ada rasa menyesal didada. Tapi pelatuk sudah ditarik dan waktu tidak bisa kembali. Sekilas nama terbaca dari seragam korban; Teguh Heriyanto. Ah… Sudahlah.
Hari berlalu, seminggu dua minggu, sebulan dua bulan. Berita itu datang lagi, kurir pembawa logistik membisik pelan ke arah Abdul Latif, “Adik iparmu, suami si Nurliana sudah meninggal karena sakit, beberapa purnama lalu”.

Tercenung, memejam mata, menarik nafas. Haruskah aku pulang? Batinnya. Tidak, perjuangan harus diatas segalanya, harus mengorbankan semuanya, demi kemerdekaan.

Bererapa bulan kemudian, perintah itu tiba. Semua anggota tim mendapat kabar bahwa meraka harus turun gunung, perjuangan selesai. Jauh dari hutan, di sebuah tempat dan berbeda negara, para petinggi baru saja memutuskan bahwa damai dan mulai membangun negeri tanpa ada lagi kecurigaan antar dua pihak harus diterapkan. Para petinggi itu menyepakati beberapa keputusan tepat yang seharusnya diputuskan sejak dulu-dulu.

Ah, berakhir.. Aku akan pulang ke kampung dan melihat umi, Nurliana dan keponakanku satu-satunya. Keponakan yang dari rimbunnya hutan kuberi nama Reza Mahnur. Keponakan yang sejak beberapa waktu lalu sudah menjadi yatim. Ya aku akan pulang.

Setelah bersimpuh di kaki umi dan bersalaman dengan Nurliana, Abdul Latif menjelajah rumah yang sudah bertahun-tahun ditinggalkan demi perjuangan. Sepanjang malam mereka bercerita, tertawa membahas segala hal mulai yang remeh-temeh sampai pada masalah berat tentang rencana setelah perjuangan usai.

“Bang, suamiku sebenarnya bukan meninggal karena sakit.” Nurliana menatap wajah Abdul Latif dan memulai pembicaraan. “Dia tentara dari Jawa, orangnya taat beribadah dan sangat santun pada semua orang kampung sini. Aku membohongi abang karena aku bukan dalam posisi menjadi penengah atas perjuangan abang. Aku tahu abang sangat membenci tentara, maka kusembunyikan semuanya, sekarang cuma Reza yang kupunya.”Panjang lebar cakap Nurliana. “Dia meninggal karena tertembak OTK, bang.” Abdul Latif terdiam, dadanya sesak sekali saat itu.

Kemudian percakapan berlanjut dan Nurliana menceritakan segalanya tentang almarhum suaminya. Abdul Latif menarik napas, sesal.
Ah…Ingatan itu kembali menyapa, bahkan setelah bertahun-tahun berlalu. Nurliana dan Umi sekarang sudah meninggal. Akulah yang akan menjaga Reza Mahnur, keponakanku. Akan kubawa kamu ke kota, menyekolahkan dan mendidikmu. Aku akan menjadi ayahmu, dan juga Pakwamu. Dalam batin Abdul Latif berjanji.

Setelah shalat Dhuhur, Mobil SUV mewah itu melaju ke kota. Didalamnya  Abdul Latif, Reza Mahnur sang keponakannya dan seorang supir. Dengan sudut mata, Abdul Latif melihat rumah orang tuanya yang akan ditinggalkan. Kembali Abdul Latif memejamkan mata, menarik napas pelan dan dalam gelapnya pejaman mata seolah-olah Abdul Latif melihat bayangan Nurliana bersama seorang laki-laki yang memakai seragam tentara. Mereka berdua tersenyum ke arah Abdul Latif, sekilas terbaca nama di dada kanan seragam; Teguh Heriyanto. Nama yang sama dengan pemuda yang tersungkur sekitar 15 tahun lalu oleh senjatanya.

Hmmmmm… Perjuangan selalu memakan korban, dan bisa saja itu orang dekatmu. Tiba-tiba Abdul Latif ingin sekali mendekat dan memeluk mereka berdua.

(Faisal, Bapak-bapak penyuka fiksi)

🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini

Kembalikan Marwah Guru Sebagai Orang yang Dihormati Bukan Dicaci
Kembalikan Marwah Guru Sebagai Orang yang Dihormati Bukan Dicaci
16 Oct 2025 • 60x dibaca (7 hari)
Garis Waktu yang Hilang
Garis Waktu yang Hilang
2 Oct 2025 • 52x dibaca (7 hari)
Mengapa Kita Malas Membaca
Mengapa Kita Malas Membaca
13 Oct 2025 • 37x dibaca (7 hari)
Gitu Aja Kok Repot: Merayakan Hari Humor Nasional.
Gitu Aja Kok Repot: Merayakan Hari Humor Nasional.
13 Oct 2025 • 33x dibaca (7 hari)
Sarana dan Prasarana Sekolah; Fondasi Utama Pendidikan Berkualitas
Sarana dan Prasarana Sekolah; Fondasi Utama Pendidikan Berkualitas
20 Oct 2025 • 32x dibaca (7 hari)
📝
Tanggung Jawab Konten
Seluruh isi dan opini dalam artikel ini merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi bertugas menyunting tulisan tanpa mengubah subtansi dan maksud yang ingin disampaikan.
Share8SendShareScanShare
Redaksi

Redaksi

Majalah Perempuan Aceh

Related Postingan

BUKU ITU AKU SIMPAN
Cerpen

BUKU ITU AKU SIMPAN

Oleh Redaksi
2022/07/06
0
54

Oleh Delia Rawanita    Paling menyenangkan pada saat menunggu bel istirahat. Seperti biasanya  aku pasti tancap gas menuju ke perpustakaan....

Baca SelengkapnyaDetails

Merah Menyala

Tetangga Depan Rumah

Postingan Selanjutnya
Sejarah Adalah Guru Kehidupan

Sejarah Adalah Guru Kehidupan

Seragam yang Tak Pernah Baru

Seragam yang Tak Pernah Baru

Rahasia Seru di Ujung Indonesia

Rahasia Seru di Ujung Indonesia

Resepi Bersahabat

Resepi Bersahabat

Rahasia Seru di Ujung Indonesia - Ulasan

POTRET Online

Copyright@potret2025

Media Perempuan Aceh

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Disclaimer
  • Program 1000 Sepeda dan Kursi roda
  • Kirim Tulisan

Follow Us

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • POTRET Budaya
  • Haba Mangat
  • Artikel
  • Aceh
  • Kirim Tulisan
  • Literasi
  • Essay
  • Opini

Copyright@potret2025

-
00:00
00:00

Queue

Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00