Dengarkan Artikel
Dalam obrolan hangat ini, kami menyelami fakta-fakta keras dari kerusuhan Mei 1998 dan DOM Aceh (1989-1998), serta pola penyangkalan yang menyakitkan hati. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mencatat 52 kasus pemerkosaan di Jakarta, Medan, dan Surabaya, sementara di Aceh, Ita Fatia Nadia melaporkan 117 kasus. Namun, pernyataan pejabat seperti Fadli Zon yang menyebutnya “rumor” memicu luka baru bagi penyintas, seolah menegasikan pelanggaran HAM berat yang diakui Komnas HAM.
Kami juga membandingkan dengan kasus global: genosida Rwanda 1994, di mana ratusan ribu perempuan Tutsi jadi korban, dan perang Bosnia 1992-1995 dengan ribuan perempuan Bosniak diperkosa. Pola penyangkalan serupa muncul, dari narasi “persatuan” di Rwanda hingga “propaganda” di Serbia, mirip penyangkalan di Indonesia. Menggunakan teori sosiologi Peter Berger, kami ungkap bagaimana “kebenaran” dibentuk untuk melindungi kuasa, seperti dijelaskan Michel Foucault soal wacana. Lensa feminis juga menyoroti patriarki struktural yang menjadikan perempuan target simbolis, seperti di Aceh, di mana perkosaan digunakan untuk merendahkan martabat komunitas.
Dampaknya? Trauma kolektif, kata Jeffrey Alexander, melukai individu dan komunitas, diperparah penyangkalan yang menciptakan trauma sekunder. Solusinya, kami setuju, adalah mendukung narasi penyintas melalui aktivis seperti Aliansi Perempuan Indonesia dan Flower Aceh, mendorong pengadilan HAM, serta edukasi sejarah agar tak terulang.
📚 Artikel Terkait
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini















