Dengarkan Artikel
Seruan Budaya Aceh untuk Menyelamatkan Anak Bangsa
Oleh Nyakman Lamjame
Mereka melaju di jalanan malam, memecah sunyi dengan raungan mesin dan keberanian tanpa arah. Kita menyebut mereka geng motor. Tapi di balik atribut dan knalpot bising itu, mereka bukan penjahat, mereka adalah anak-anak kita yang sedang mencari makna dalam kebingungan zaman.
Aceh pernah menjadi mercusuar peradaban, tempat syariat dan adat menyatu dalam keindahan nilai. Di tanah ini, lahir ulama, pejuang, dan pemuda-pemuda gagah yang menggetarkan dunia. Namun hari ini, sebagian generasi mudanya kehilangan kompas, terseret gelombang zaman yang tidak menyediakan peta pulang.
Apa yang salah?
Pemuda Bukan Musuh, Mereka Adalah Amanah
Pemuda adalah api. Jika tidak diarahkan, ia bisa membakar. Tapi jika dibimbing, ia akan menjadi cahaya. Rasulullah SAW tahu itu. Karena itu beliau tidak pernah memadamkan semangat anak muda—beliau mengarahkannya.
Lihat Mus’ab bin Umair—pemuda tampan, kaya, penuh gaya. Ketika hidayah menyentuh hatinya, ia tinggalkan kemewahan dan menjadi duta Islam pertama ke Madinah. Lihat Umar bin Khattab—keras, ditakuti, bahkan sempat hendak membunuh Nabi. Tapi ketika cahaya Qur’an merobek keangkuhannya, ia berubah menjadi simbol keadilan sepanjang masa.
Anak muda tak butuh dimaki. Mereka butuh diteladani.
Aceh dan Reusam: Panggilan untuk Memeluk, Bukan Mengusir
Aceh bukan tanah kosong. Ini tanah bertuah. Kita punya reusam—tata nilai yang tak tertulis, tapi meresap ke tulang. Kita punya meunasah—bukan sekadar tempat salat, tapi sekolah akhlak, ruang bertumbuh, panggung pengasuhan. Kita punya tambo, hikam ulama, dan syair yang dulu jadi cahaya di tengah gelap.
Namun, ketika meunasah ditinggalkan, ketika reusam hanya jadi simbol, ketika adat dikerdilkan menjadi seremoni tanpa ruh, maka generasi akan berjalan tanpa arah. Dan geng motor hanyalah gejala dari luka yang lebih dalam: hilangnya ruang makna dan rasa memiliki.
Anak muda kita tak menolak nilai, mereka hanya belum diajak bicara dengan bahasa yang mereka pahami: bahasa cinta, keteladanan, dan kesempatan.
Menggeser Pendekatan: Dari Represi ke Restorasi
Hari ini kita melihat aparat bergerak: razia, patroli, dan pembubaran. Tapi sejatinya, masalah ini tak bisa diselesaikan dengan seragam dan sirine. Karena luka mereka bukan di permukaan, tapi di hati dan struktur sosial.
Apa gunanya menangkap anak-anak muda, jika kita tak pernah menyentuh akar mengapa mereka memilih jalan itu?
Kita butuh restorasi sosial, bukan sekadar penegakan hukum. Kita butuh ruang transformatif, tempat mereka bisa mengalihkan energi liar menjadi karya. Kita butuh pendekatan kultural, yang tak sekadar melarang, tapi mengundang. Yang tak sekadar menertibkan, tapi memanusiakan.
Ikhtiar Kultural: Membangun Jalan Pulang
Bayangkan jika para mantan anggota geng motor dibina untuk menjadi mentor bagi adik-adiknya. Bayangkan jika meunasah kembali jadi tempat nongkrong yang keren—dengan ngaji yang hidup, diskusi yang tajam, dan seni yang memikat. Bayangkan jika seniman, ulama, pendekar adat, dan aktivis budaya bersatu membangun ekosistem pemuda yang bermartabat.
Aceh pernah melahirkan Malahayati, perempuan pemimpin armada laut. Aceh pernah melahirkan Teungku Chik di Tiro, ulama yang memimpin revolusi. Maka tidak mustahil kita melahirkan generasi baru: pemuda-pemuda tangguh yang bukan hanya patuh hukum, tapi teguh di jalan nilai.
Penutup: Aceh, Pulanglah ke Dirimu Sendiri
Kita sering bertanya: kenapa anak-anak muda itu menyimpang?
Tapi jarang kita bertanya: siapa yang membuat mereka merasa tidak punya rumah untuk pulang?
Aceh bukan hanya warisan masa lalu. Aceh adalah harapan masa depan. Tapi harapan itu hanya akan hidup, jika kita berani kembali ke akar: membina, bukan menghina. Memeluk, bukan mengusir. Menyediakan jalan pulang, bukan sekadar pagar larangan.
Karena pada akhirnya, anak-anak yang kita sebut “geng motor” itu bukan orang lain. Mereka adalah kita, yang pernah muda dan mencari arti. Mari kita bimbing mereka. Bukan dengan amarah. Tapi dengan cinta yang berakar pada adat, syariat, dan ruh kebangsaan.
Jika ingin perubahan, jangan hanya bangun pagar – bangunlah pelukan.