Dengarkan Artikel
Oleh: Dayan Abdurrahman
Peneliti Independen Bidang Pendidikan dan Kebudayaan
Di tengah arus globalisasi dan derasnya pengaruh budaya digital, krisis karakter generasi muda menjadi isu serius di seluruh Indonesia, tak terkecuali di Aceh. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah gejala disorientasi nilai dalam pendidikan dasar. Pendidikan formal di Aceh, khususnya di sekolah dasar negeri, cenderung terlalu fokus pada pencapaian akademik dan peringkat nasional—sementara warisan pendidikan karakter berbasis nilai lokal seperti dayah mulai tersisih.
Padahal, Aceh memiliki warisan pendidikan Islam yang kuat. Ratusan dayah kecil atau meunasah tersebar di desa-desa dan telah lama menjadi lembaga pembentukan karakter sosial-religius masyarakat Aceh. Dayah tidak hanya mendidik soal ibadah, tetapi juga menyemai akhlak, kedisiplinan, kepedulian sosial, dan spiritualitas sejak dini. Sayangnya, warisan ini belum secara sistematis diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan dasar formal.
Kajian Awal dan Isu Riset
Hasil kajian awal kami (melalui observasi di lima sekolah dasar dan tujuh dayah kecil di wilayah Banda Aceh, Aceh Besar, dan Pidie) menunjukkan adanya kesenjangan karakter siswa antara yang aktif di dayah dan yang tidak. Misalnya, siswa yang aktif di dayah menunjukkan tingkat kedisiplinan salat mencapai 85%, kejujuran dalam interaksi sosial 80%, dan partisipasi kegiatan sosial 72%. Di sisi lain, siswa dari jalur formal yang tidak mengikuti pendidikan dayah menunjukkan angka jauh lebih rendah: hanya 43% disiplin ibadah, 49% nilai kejujuran sosial, dan 37% keterlibatan sosial.
Temuan ini menandakan adanya research gap penting: model pendidikan karakter berbasis lokal belum menjadi arus utama dalam pengembangan kurikulum nasional, bahkan di daerah istimewa seperti Aceh. Padahal, secara politis Aceh memiliki keistimewaan menjalankan syariat Islam dan secara budaya memiliki legitimasi kuat terhadap pendidikan berbasis dayah.
Perspektif Sosial Budaya dan Politik
Jika kita melihat lebih luas, pengabaian nilai-nilai dayah dalam pendidikan formal mencerminkan kegagalan negara dalam menerjemahkan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Pendidikan nasional terlalu tersentralisasi, padahal setiap daerah memiliki khazanah lokal yang berharga. Di Aceh, dayah adalah akar pendidikan yang telah membentuk peradaban sejak era Sultan Iskandar Muda. Penghilangan unsur dayah dari pendidikan dasar berarti memutus kesinambungan sejarah dan budaya masyarakat Aceh.
Secara politik, negara mestinya tidak hanya memfasilitasi pembangunan fisik sekolah, tetapi juga menghargai modal sosial dan kultural lokal sebagai basis pembangunan manusia. Dayah adalah lembaga pendidikan akar rumput yang otonom, berakar pada kepercayaan masyarakat. Maka, pendekatan top-down dari Jakarta seringkali tidak efektif jika tidak dipadukan dengan pendekatan lokal bottom-up seperti dayah.
Integrasi Pendidikan: Jalan Menuju Reformasi Kurikulum Lokal
Mengintegrasikan nilai-nilai dan praktik dayah ke dalam sistem pendidikan dasar bukan berarti mengganti kurikulum nasional. Melainkan, menyesuaikan metode dan pendekatan pendidikan dengan konteks sosial dan nilai-nilai kearifan lokal. Pemerintah Aceh, melalui Dinas Pendidikan dan Dinas Syariat Islam, harus mengembangkan kurikulum muatan lokal yang menjembatani antara dunia dayah dan sekolah dasar.
Langkah awal bisa dilakukan melalui pendekatan mixed-method dalam penelitian:
Kuantitatif: mengukur efektivitas program integratif melalui indikator perilaku siswa (disiplin, kejujuran, keaktifan ibadah, dan partisipasi sosial).
Kualitatif: menggali narasi dari guru, orang tua, dan tokoh dayah tentang perbedaan dampak karakter dan nilai kehidupan antara siswa yang terpapar pendidikan dayah dan yang tidak.
Nilai Keagamaan dan Kedaulatan Identitas
Secara spiritual, pendidikan yang tidak menyentuh dimensi ruhani hanya akan melahirkan generasi yang cerdas secara teknis, namun rapuh secara moral. Di tengah arus pergaulan global yang liberal, Aceh harus menegaskan jati dirinya melalui pendidikan karakter berbasis nilai Islam—bukan sebagai eksklusivisme, tetapi sebagai bentuk kepercayaan diri budaya dalam menghadapi dunia modern.
Dengan semangat rahmatan lil ‘alamin, nilai-nilai dari dayah dapat menjadi tawaran penting dalam percakapan pendidikan global: bahwa membentuk karakter tidak bisa diserahkan pada teknologi atau proyek-proyek instan. Dibutuhkan kedekatan emosional antara guru dan murid, keteladanan, spiritualitas, dan pembiasaan nilai, sebagaimana telah dilakukan di dayah selama ratusan tahun.
Penutup: Saatnya Aceh Memimpin dari Pinggiran
Jika reformasi pendidikan nasional tidak memberi ruang pada kearifan lokal, maka daerah-daerah seperti Aceh harus berani memimpin dari pinggiran. Penelitian ini bukan sekadar proyek akademik, tetapi bagian dari usaha membangun kembali jembatan antara dunia dayah dan dunia sekolah—antara akar dan batang pohon pendidikan bangsa.
Dengan menyatukan kembali nilai-nilai dayah ke sekolah dasar, Aceh tidak hanya mempertahankan identitas, tetapi juga menawarkan model pendidikan karakter yang otentik, kontekstual, dan berkelanjutan bagi masa depan Indonesia.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini




