Dengarkan Artikel
Oleh Sindi Hazirah
Akhir-akhir ini, tagar #EducateYourSon ramai menghiasi linimasa media sosial. Sebuah kalimat sederhana yang ternyata menyimpan begitu banyak luka, harapan, dan keinginan untuk berubah. Tagar ini bukan seruan kemarahan semata, tapi lebih dari itu—ia adalah doa, permintaan, dan ajakan dari para perempuan di seluruh dunia agar dunia menjadi tempat yang sedikit lebih aman.
Selama ini, perempuan sering diajari untuk menjaga diri. Mulai dari cara berpakaian, jam keluar rumah, bahkan cara berbicara. Tapi mengapa hanya mereka yang diajari untuk takut? Mengapa hanya mereka yang diperingatkan tentang bahaya, sementara anak laki-laki jarang—atau bahkan tidak pernah—diajak bicara tentang bagaimana menjadi manusia yang tidak menjadi bahaya bagi orang lain?
Di balik tagar itu, ada cerita. Cerita tentang perempuan yang disalahkan karena bajunya. Tapi pernahkah kita mendengar tentang Museum What Were You Wearing di Amerika? Sebuah ruang pameran yang menghadirkan pakaian-pakaian asli dari para penyintas kekerasan seksual. Di sana, tergantung rapi: seragam sekolah, baju tidur panjang, jeans longgar, baju anak-anak, bahkan piyama bayi. Semua pakaian itu dikenakan oleh korban saat mereka diserang. Melihatnya membuat kita terdiam. Membuat kita bertanya ulang: apakah benar pakaianlah penyebabnya?
Dan ini bukan hanya cerita di luar negeri. Di Indonesia pun, kita pernah mendengar kasus seorang anak perempuan berusia 13 tahun di Bengkulu yang diperkosa dan dibunuh oleh 14 pria. Atau kasus pelecehan oleh oknum guru pesantren kepada belasan santriwati. Semua ini terjadi bukan karena pakaian, bukan karena malam hari, dan bukan karena korban “mengundang”.
Sistem pendidikan kita—baik di rumah, di sekolah, maupun di tempat ibadah—masih condong pada satu sisi. Anak perempuan terus diingatkan untuk tunduk dan menutup aurat. Tapi kepada anak laki-laki, jarang ada nasihat tentang pentingnya menghormati, tentang batasan, tentang consent. Ini bukan kesalahan satu orang, tapi cerminan dari budaya yang sudah mengakar lama.
Namun, tulisan ini bukan untuk menghakimi laki-laki. Karena kami percaya, tidak semua laki-laki sama. Ada banyak laki-laki yang juga marah dan muak melihat berita-berita kekerasan terhadap perempuan. Ada yang diam-diam menyimpan rasa bersalah karena tak bisa berbuat apa-apa. Ada yang mengajari anak laki-lakinya untuk lembut, sopan, dan menghargai perempuan.
Maka dari itu, Educate Your Son bukan hanya ajakan untuk para ibu dan ayah, tapi untuk seluruh masyarakat. Ajarkan anak laki-laki bahwa menjadi kuat bukan berarti mendominasi. Ajarkan bahwa menjadi laki-laki bukan berarti berhak atas tubuh orang lain. Dan ketika ada yang melanggar, jangan lindungi mereka dari konsekuensi. Karena selama ini, korbanlah yang selalu menanggung rugi—secara sosial, emosional, dan kadang fisik. Pelaku terlalu sering diberi alasan, dimaklumi, bahkan dibela.
Kita bisa memulai dari hal kecil: mengubah cara kita berbicara, cara kita menegur, dan cara kita mendidik. Kita bisa menciptakan dunia di mana anak perempuan tidak lagi tumbuh dengan rasa takut, dan anak laki-laki tidak lagi dibebani standar maskulinitas yang salah arah. Karena ketika kita benar-benar mendidik anak laki-laki, kita sedang melindungi anak perempuan.
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini






