Dengarkan Artikel
Oleh: Alya Azzahra
Zahra duduk di bangku kayu di teras rumahnya yang sederhana. Dari tempat duduknya, ia bisa melihat pohon-pohon di kebun belakang yang tumbuh subur. Suara burung berkicau dan angin sepoi-sepoi yang berembus membuat suasana sore itu terasa tenang. Namun, di dalam hati Zahra ada perasaan yang berat, sesuatu yang sulit dijelaskan. Ia merasa sepi, bukan karena tidak ada yang menemani, tetapi karena merasa ada yang hilang dalam hidupnya—sosok ayah.
Sejak ayahnya pergi meninggalkan Zahra dan ibunya, ia hanya tinggal berdua dengan sang ibu. Meski begitu, Zahra tahu betul betapa kerasnya ibunya berjuang untuk membesarkannya. Setiap hari, ibunya bekerja sebagai pengajar dari pagi hingga sore. 
Zahra sering kali merasa kasihan melihat ibunya yang selalu lelah, tetapi ia juga merasa bangga karena ibunya selalu tersenyum dan tidak pernah mengeluh. Zahra tahu, meskipun tanpa ayah di sampingnya, ibunya adalah segalanya.
Zahra tidak pernah merasakan seperti apa rasanya dibimbing oleh seorang ayah. Di sekolah, teman-temannya sering menceritakan bagaimana ayah mereka mengajari mereka bersepeda atau bermain. Zahra hanya bisa mendengarkan dengan senyum tipis karena ia tidak pernah mengalaminya. 
Namun, meskipun tanpa ayah, Zahra merasa ibunya sudah cukup menjadi kedua orang tuanya—ibu sekaligus ayah. Ibunya mengajarinya untuk berani, untuk tidak mudah menyerah, dan yang terpenting, untuk selalu percaya diri.
Suatu hari, saat Zahra baru pulang dari sekolah, ia melihat ibunya duduk di meja makan dengan wajah serius. Sebuah surat terbuka tergeletak di hadapannya. Zahra mendekat, merasa penasaran.
“Ada apa, Bu?” tanyanya.
Ibu tersenyum lelah, lalu menunjuk surat itu. “Ini dari sekolahmu, Zahra. Kamu terpilih untuk mendapat beasiswa,” katanya dengan suara penuh haru.
Zahra terperanjat. Beasiswa? Baginya, itu seperti mimpi yang menjadi kenyataan.
“Benarkah, Bu?” Zahra hampir tidak bisa mempercayai apa yang didengarnya. Ia tahu betapa sulitnya bagi ibunya mengumpulkan uang untuk biaya sekolah. Ayah yang telah tiada membuat segala sesuatunya semakin sulit, dan Zahra sering merasa beban itu ada di pundaknya.
“Benar, Nak. Ibu bangga padamu. Kamu pantas mendapatkannya,” kata ibu sambil mengusap kepala Zahra.
Zahra terdiam sejenak. Ia merasa terharu. Selama ini, ia selalu berusaha keras di sekolah, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk membahagiakan ibunya. 
Namun, terkadang ia merasa lelah—lelah dengan kenyataan bahwa ia tidak punya ayah untuk berbagi beban hidup. Tetapi malam itu, semuanya terasa berbeda. Zahra merasa bahwa ibunya bukan hanya seorang ibu, tetapi juga ayah baginya.
Beberapa hari kemudian, Zahra memutuskan untuk mengikuti lomba menulis yang diadakan di sekolah. Lomba itu adalah kesempatan yang baik untuk menunjukkan kemampuannya. Zahra menulis tentang seorang gadis kecil yang ingin menjadi penulis terkenal, tetapi harus berjuang keras dengan segala keterbatasan yang ada. Gadis itu, dalam ceritanya, juga memiliki seorang ibu yang bekerja keras untuk membesarkannya. Cerita itu sangat dekat di hati Zahra karena itu adalah kisah hidupnya sendiri.
Di malam hari, Zahra menulis dengan penuh semangat. Tangan kecilnya menari di atas kertas, mencurahkan setiap perasaan dan pikirannya. Ia menulis tentang bagaimana ia merindukan ayah, tetapi ia tahu bahwa ibunya sudah cukup menjadi segalanya. Zahra menulis sampai larut malam, meskipun matanya mulai perih. Ia ingin cerita itu selesai dengan baik, sebagai hadiah untuk ibunya yang telah memberikan segalanya untuknya.
Pada hari pengumuman pemenang lomba, Zahra merasa gugup. Ketika nama pemenang diumumkan, Zahra hampir tidak bisa mempercayai apa yang didengarnya.
“Zahra, juara pertama!” kata guru bahasa Indonesia, Bu Dian, dengan senyum bangga.
Zahra tidak bisa menahan air matanya. Ia berdiri dengan gemetar dan menerima hadiah dari Bu Dian. “Ini untuk Ibu,” bisiknya dalam hati. Ia tahu, ini adalah hasil dari segala usaha ibunya yang selama ini tidak pernah berhenti. Zahra merasa bangga dengan dirinya sendiri, dan yang lebih penting, ia tahu bahwa ia bisa membuat ibunya bangga.
Setelah pengumuman itu, Zahra pulang ke rumah dengan hati penuh kebahagiaan. Ia berlari menuju ibunya yang sedang menyapu halaman.
“Bu, aku menang! Aku menang lomba menulis!” serunya sambil memeluk ibunya erat.
Ibu hanya bisa tersenyum dan memeluknya kembali. “Ibu bangga sekali, Nak. Ini semua berkat usaha dan kerja kerasmu.”
Sejak saat itu, Zahra semakin percaya diri. Ia tahu, meskipun tidak punya ayah, ia memiliki ibu yang lebih dari cukup untuk menjadi kedua orang tuanya. Ibu yang mengajarkan tentang keberanian, ketekunan, dan cinta yang tak terhingga. Zahra bertekad untuk terus belajar dan berusaha agar suatu hari nanti bisa membuat ibunya bahagia.
Mimpi Zahra untuk menjadi penulis semakin besar. Ia tidak hanya menulis untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk ibunya. Setiap tulisan yang ia buat adalah bentuk terima kasihnya kepada ibu yang sudah menjadi ayah baginya. Zahra tahu, dengan kerja keras, doa, dan semangat dari ibunya, ia bisa mencapai semua impiannya.
Kini, Zahra tidak lagi merasa sepi. Ia tahu bahwa meskipun ayahnya tidak bersama mereka, ibunya tetap ada di sampingnya, memberikan dukungan dan cinta yang tak ternilai harganya. Zahra, dengan segala mimpi dan perjuangannya, akan terus berjalan dengan yakin karena ia tahu bahwa ia tidak pernah benar-benar sendiri. Ibunya selalu ada, menjadi ayah dan ibu baginya dalam setiap langkah hidupnya. []
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini
 
                         
                         
                         
                         
                         
                                 
			 
			 
                                 
					
 
                                




