Dengarkan Artikel
Oleh Zahara Muharama
Mahasiswi Perbankan Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh
Nasib manusia itu berbeda-beda. Ada yang bernasib baik, bisa hidup sejahtera dan bahagia. Ada pula yang harus melewati hidup yang penuh penderitaan. Namun, Allah telah mengingatkan kita bahwa Allah tidak akan mengubah nasib seseorang, kecuali orang atau kaum itu sendiri yang mengubahnya. Maka, dalam realitas kehidupan kita, kita melihat ada banyak orang yang kaya raya, cerdas dan bijak, ada pula yang hidup menderita dan harus meminta-minta.
Kondisi ini bisa kita temukan di sekitar kita. Misalnya, di tengah keramaian Pasar Aceh, para pengemis bergerilya, meminta-minta / Tak hanya sekadar soal tangan yang meminta, tetapi juga memiliki cerita tentang perjalanan hidup yang penuh warna. Di dekat deretan toko pakaian, di pasar Aceh, terlihat seorang ibu berusia sekitar 30 tahun berjalan bersama anaknya yang masih kecil sekitar 10 tahun. Penampilannya lusuh, membawa kantong plastik di tangannya. Sementara anaknya yang mengenakan tas sekolah dan masker setia berjalan di sampingnya.
Penulis yang sedang mendapat tugas melakukan observasi pengemis di kota Banda Aceh,mencoba mendekati dan mengajak bicara. Ketika berbicara dengan ibu tersebut, terungkap sebuah kisah yang menyentuh hati. Ibu ini bukan asli Banda Aceh, tetapi datang ke kota dalam keadaan terpaksa. Di kampung halamannya ia tinggal bersama orang tuanya. Ia pernah berusaha mencari penghasilan dengan berjualan kue, tetapi usaha itu seringkali merugi karena barang dagangannya jarang laku.
Akhirnya, dengan modal habis dangan beban hidup yang semakin berat, ia tak memiliki pilihan lain selain menumpang di rumah orang tuanya. Namun, ia merasa tidak enak hati harus bergantung pada mereka yang sudah lanjut usia dan juga membutuhkan perawatan. Maka, dengan tekad untuk mandiri dan tidak terus-menerus menyusahkan keluarganya, ia memutuskan untuk pergi ke Banda Aceh, berharap bisa mendapatkan pekerjaan di sana.
Sayangnya, kesempatan kerja tak semudah itu didapatkan. Setelah beberapa hari berjuang tanpa hasil, ia akhirnya merasa terpaksa menjadi pengemis demi kebutuhan hidupnya dan, terutama untuk memberi makan anak-anaknya. Situasi ini membuatnya harus menghilangkan rasa malu dan harga diri demi keberlangsungan hidupnya dan anak-anaknya.
Sementara itu, hanya beberapa meter dari tempat ibu tadi berjalan, ada seorang bapak berusia sekitar 40 tahun yang duduk di depan toko elektronik. Tubuhnya kurus dan pakaiannya sangat lusuh. Di sampingnya, ada sebuah ember kecil yang digunakan untuk mengumpulkan uang pemberian dari orang-orang yang melintas.
Berbeda dengan ibu tadi yang dilanda keadaan mendesak, bapak ini memiliki alasan yang cukup mengejutkan mengenai alasan ia mengemis. Ketika ditanya, dengan jujur ia mengaku bahwa ia memilih mengemis karena merasa malas bekerja keras. Menurutnya, pekerjaan serabutan yang pernah ia lakukan memberikan penghasilan yang terlalu rendah dan membutuhkan tenaga yang banyak, upah yang didapat hanya sekitar Rp50.000 per hari. Tetapi dengan mengemis, ia bisa mendapatkan lebih banyak, hingga Rp80.000-100.000 dalam sehari, tanpa harus menguras tenaga. Baginya, mengemis adalah pilihan kerja yang lebih mudah dan menguntungkan. Tak ada rasa terpaksa atau malu dalam dirinya, justru ia merasa puas dengan uang yang ia dapatkan dari pekerjaan ini.
Dari hasil pengamatan dan wawancara, terlihat betapa beragamnya alasan di balik tindakan mengemis di Pasar Aceh.Di satu sisi, ada mereka yang terpaksa karena keadaan, seperti ibu yang berjuang sendirian demi anak-anaknya. Ia adalah seseorang yang pernah mencoba bertahan dengan usaha yang jujur, tetapi akhirnya terjatuh karena keterbatasan ekonomi. Di sisi lain, ada juga yang secara sadar memilih mengemis, seperti bapak tadi, yang melihat kegiatan ini sebagai jalan pintas untuk mendapatkan penghasilan lebih besar, tanpa banyak usaha.
Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa di balik aktivitas yang mungkin terlihat serupa, ada latar belakang dan motivasi yang sangat berbeda. Pasar Aceh menjadi saksi bisu dari perjuangan dan pilihan hidup orang-orang yang, meski sama-sama berlabel pengemis, memiliki cerita unik yang tidak selalu dapat diukur dengan satu perspektif saja. Kisah mereka mengajarkan kita untuk melihat lebih dalam sebelum menilai, karena setiap orang memiliki alasan yang membentuk jalan hidup mereka masing-masing.
Dokumentasi
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini





