BANDA ACEH– Ratusan perempuan dan kelompok muda dari berbagai unsur dan profesi mewakili kelompok dan organisasi perempuan yang tergabung dalam aksi bersama peringatan hari perempuan seduani (Internasional Women’s Day), Hari hak atas kebenaran dan hari air se-dunia yang dirayakan setiap bulan Maret. Pada aksi kali ini, juga akan ikutserta kelompok laki-laki. Aksi bersama ini akan dilaksanankan pada hari Minggu 25/3 jam 8 pagi di Lapangan Blang Padang. Aksi dimulai dengan longmarch memutari lapangan Blang Padang dan membawa alat kampanye yang berisikan himbauan, tuntutan, dan harapan yang beragam terkait dengan upaya pemenuhan hak-hak perempuan. Proses kampanye mengelilingi lapangan Blang Padang diiringi oleh tim musik Putroe Kande yang memainkan alat music rapa’i dan serune kalee.
Ketua Presidium Balai Syura, Khairani Arifin berharap agar perayaan IWD ini bisa menjadi momentum bagi pemerintah dan masyarakat untuk melihat persoalan perempuan dalam berbagai isu mulai dari isu lingkungan hidup, isu politik, sampai dengan pelaksanan Syariat Islam yang humanis dan adil bagi semua orang, “Berharap pemerintah memperhatikan isu-isu yang kita munculkan ini menjadi konsen utama kerja-kerja pemerintah kedepan yang termuat dalam perencanaan yang dapat dilaksanakan, penuhi dan perhatikan. Harapannya, momen IWD ini juga menjadi momen bagi pemerintah untuk lakukan refleksi terhadap kebijakan, program dan anggaran yang telah dijalankan selama ini apakah benar-benar sudah menjawab kebutuhan perempuan dan kelompok marginal lainnya dalam bidang kehidupan” tegasnya.
Terkait dengan harapan gerakan perempuan kepada pemerintah untuk menyediakan akses keadilan dan pemulihan terhadap perempuan korban kekerasan seksual termasuk pada masa konflik, Roslina Rasyid-Pimpinan LBH APIK Acehmenyebutkan “Kekerasan terhadap perempuan terus meningkat setiap tahun nya, utamanya kekerasan seksual. Kekerasan seksual semakin berkembang dan beragam, sementara hukum materil dan formil yang mengaturnya sangat terbatas”. Hal yang sama juga disampikan oleh Irma Sari – Pimpinan Aceh Women’s for Peace Foundation (AWPF), menurutnya “Kerentanan Perempuan dapat dilihat dengan jelas pada berbagai tindak kekerasan terhadap perempuan yang kian meningkat polanya, bahkan dalam beberapa kasus, tindak kekerasan terhadap perempuan justru memperoleh legitimasi, apakah atas nama agama, adat istiadat maupun hukum yang berlaku. Membutuhkanwaktu yang panjang untuk memperjuangkan kepentingan dan posisi perempuan yang sejak dulu telah termarjinalkan.
Terkait perempuan dan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi(HKSR), Direktur Flower Aceh, Riswati menyatakan bahwa “Perempuan dan HKSRmerupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Jika bicara isu perempuan maka melekat erat tentang bagaimana perempuan dapat mengakses hak kesehatan seksual dan reproduksinya. Berdasarkan fakta di lapangan, saat ini masih banyak persoalan yang dialami perempuan terkait dengan rekproduksinya, yaitu tingginya Angka kematian Ibu (AKI), angka kematian bayi baru lahir, pernikahan usia anak, aborsi illegal, kehamilan tidak diinginkan, HIV AIDS, tidak memiliki kontrol terhadap tubuhnya, menjadi target kekerasan seksual, serta akses layanan publik untuk KSR perempuan yang belum memadai di berbagai wilayah di di Aceh. Segelumit persoalan yang dialami perempuan, menjadi dilema ditengah-tengah upaya membangun masyarakat Acehyang sejahtera dan bermartabat.
Upaya untuk pemenuhan HKSR perempuan dapat dilakukan dengan menurunkan angka kekerasan seksual dan khususnya terkait dengan pernikahan anak, Asmawati Achmad-Direktur PKBI Aceh menegaskan “Penting upaya penghapusan kekerasan seksuak dan pendewasaan perkawinan, karena jika praktek ini masih terus berlangsung dampaknya tidak sederhana, kesehatan mereka bisa terganggu, hak pendidikan tercerabut dan akan memunculkan kemiskinan baru, belum lagi dampak kepada anak yang dilahirkan dengan kualitas yang rendah,akhirnya juga kalah bersaing dalam pekerjaan dan tercipta kemiskinan terstruktur. Pentingnya informasi kesehatan reproduksi bagi anak dan remaja juga menjadi point penting untuk mengurangi angka kehamilan tidak diinginkan, angka kematian ibu, angka kematian bayi dan aborsi dikalangan remaja baik laki-laki maupun perempuan karena mereka akan bertanggung jawab dan menjaga tubuhnya dengan baik. Selain beberapa upaya tersebut, menurut Roslina “Penting pula disahkannyarancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual, hadirnya undang-undang yang mengatur secara khusus tentang kekerasan seksual sangatlah dibutuhkan. Dibutuhkan dukungan semua pihak agar undang-undang ini bisa segera disahkan!.
Perayaan IWD juga bersamaa dengan peringatan hari hak atas kebenaran, Komisioner KKR Aceh, Evi Narti Zein menyebutkan “Hak-hak korban konflik harus dipenuhi, dan semua pihak baik pemerintah dan masyarakat harus mendukung kerja-kerja pengungkapan kebenaran yang saat ini sedang KKR lakukan. Saat ini proses pengungkapan kebenaran dilakukan melalui pengambilan pernyataan kepada saksi dan korban yang berada di wilayah kabupaten/kota. Berkaitan dengan perayaan IWD ini, Evi mengingatkan semua pihak bahwa perempuan juga berhak tahu atas peristiwa kekerasan/kekejaman pelanggaran HAM yang dialaminya selama konflik dan hingga kini belum dipenuhi”.
Konflik juga berpengaruh pada proses pencatatan perkawinan perempuan. Berdasarkan pendataan Relawan Perempuan untuk kemanusiaan (RpuK), ditemukan masih banyaknyakorban konflik di Aceh yang menikah sirri di masa konflik dan hingga sekarang pernikahannya masih belum tercatat. Lela Jauhari, Pimpinan RPuK menyatakan “Secara kebijakan, Aceh memiliki Pergub no. 25 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Itsbat Nikah Pelayanan Terpadu Satu Hari, bagi korban konflik dan tsunami Aceh secara gratis. Kami mengharapkan komitmenpemerintahan Aceh, dan kab/kota untuk mengalokasikan anggaran bagi berjalannya Pergub ini secara maksimal di Aceh. Karena anggaran yang tersedia masih sangat minim. Menurut suber daya Dinas Syariat Islam Aceh, 22.000 pasangan korban konflik dan tsunami masih antre menunggu layanan ini. Kondisi ini tentu saja sangat mengkhawatirkan, karena pernikahan sirri menjadikan perempuan dan anak rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga.
Berbicara aksesibilitas di Aceh, Erlin –Pimpinan Young Voice Indonesia mengharapkan agar pemerintah aceh memperhatikan dengan sungguh-sungguh tentang hal ini, karena sampai hari ini, pemerintah Aceh melakukan pemenuhan hak penyandang disabilitas masih setengah hati. Aksebilitas ini bukan hanya untuk penyandang disabilitas tetapi untuk semua orang, anak-anak, perempuan, orang tua (lansia). Erlin juga menilai bahwa beberapa fasilitas publik yang sudah menyediakan kebutuhan penyandang disabilitas masih belum maksimal karena dlm proses pembangunan, disabilitas belum dilibatkan sehingga pemerintah masih bias pemahaman tentang aksesibilitas.
Agustina – Pimpinan Serikat Inoeng Aceh (SEIA) menegaskan bahwa “persoalan yang dihadapi perempuan adalah pembangunan di segala bidang yang sering sekali belum berpihak kepada perempuan, program-program secara formal sering sekali dikuasi laki-laki dan karena sumberdaya yang penting dalam kehidupan selama ini dikuasai oleh pihak-pihak yang memiliki kekuatan sosial, ekonomi dan politik lebih kuat maka adanya marginalisasi terhadap peran perempuan. Dalam pengambilan keputusan sering sekali tidak dilibatkan dalam proses-proses pengambilan keputusan yang bersifat formal. Lebih lanjut Pimpinan Fatayat NU-Salwa Hayati mengharapkan agar pemerintah dan semua pihak di Aceh untuk melakukan upaya-upaya yang mendukung adanya keterlibatan perempuan di semua lini adalah bentuk kemajuan peradaban.
Terkait isu lingkungan, Ketua Badan Eksekutif komunitas Solidaritas perempuan Aceh, Elvida mejelaskan “Eksploitasi tambang yang dilakukan oleh perusahaan mengakibatkan krisis Air diwilayah Lhoknga-Leupung. Masyarakat kesulitan mendapatkan akses air bersih, sementara air sumur yang ada tidak dapat dikonsumikan, perempuan harus mengangkut air untuk kebutuhan rumah tangga dan untuk kebutuhan air mereka harus membelinya. Padahal mereka tinggal di dekat sumber mata air. Oleh karena itu masyarakat meminta kepada perusahaan untuk menghentikan monopoli air dan mendorong aparatur gampong membuat kebijakan terkait air serta mengembalikan pengelolaan air berbasis komunitas.
Pada akhir sesi bincang-bincang peremuan hebat pdaa 25/8 di lapangan Blng Pdang yang menhadirkan ketua PKK Aceh, Darwati A. Gani, kepala DPPPA, Nevi Ariyani, Politisi perempuan, Illiza Sa’adullah, ketua P2TP2A Aceh, Amrina Habibi, serta sederet tokoh-tokoh perempuan penting linnya, Riswati menegaskan bahwa pelaksanaan rangkaian kegiatan kampanye dalam rangka peringatan IWD tahun 2018 menjadi salah satu momen penting untuk memperkuat semangat bersama perempuan di Aceh untuk memperjuangkan hak-hak kesehatan dan politiknya. Peringatan IWD ini juga dimaksudkan untuk memberikan dukungan kekuatan kepada para calon pemimpin khususnya pemimpin perempuan agar dapat memperjuangkan keadilan bagi semua umat, meningkatkan kesejahteraan dan mewujudkan perdamaian positif untuk Aceh. Pada pelaksanan upaya pemenuhan hak-hak perempuan di Aceh ini, komitmen pemerintah dan masyaraat menjadi hal penting yang harus dilakukan, begtupun proses monitoring dan evaluasi sehingga seluruh kebijakan, program dan anggaran pemerintan bisa mengakomodir semua kepentingan khususnya bagi perempuan dan kelompok marginal”, tegasnya.