Dengarkan Artikel
Oleh Heri Haliling
Perempuan Dayak Ngaju itu bernama Nyaru. Beliau bukan pejabat, bukan pula tokoh pemerintah, melainkan seorang ibu rumah tangga yang menghabiskan hari-harinya merawat ladang, memintal rotan, dan mengajariku tentang hutan.
Sejak kecil, guruku itu sudah akrab dengan rimba. Beliau mengenalkan aku pada tumbuhan obat, seperti sangkareho,kayu bajakah, dan seluang balum, yang hanya tumbuh di hutan primer. Guruku dan perempuan kuat lainnya tidak menanam di lahan yang baru dibuka. Bu Nyaru dan kelompoknya selalu melakukan ladang berpindah dengan prinsip huma balum atau membiarkan tanah pulih sebelum digunakan kembali.
Kini hutan kami mulai berubah dari hijau menjadi kecokelatan. Kalimantan yang dulunya menyimpan 40 juta hektar hutan hujan tropis (WWF Indonesia, 2018), kini kehilangan sekitar 1,2 juta hektar setiap tahun akibat pembukaan lahan sawit dan tambang. Di Kalimantan Tengah saja, lebih dari 3 juta hektar hutan telah dikonversi menjadi perkebunan dan pertambangan sejak tahun 2000 (Eyes on the Forest, 2021).
Desa kami tidak luput dari wabah yang dilandaskan modernisasi ini. Hilirisasi berubah sebagai pengundang berpuluh-puluh ekskavator, buldozer, dan truk dum dengan bakraksasa. Perusahaan yang datang membawa janji kesejahteraan itu, nyatanya yang mereka tinggalkan hanyalah tanah gersang, sungai tercemar, dan konflik lahan. Alhasil,perempuan seperti Bu Nyaru kehilangan akses ke hutan yang selama ini menjadi sumber obat, pangan, dan identitas.
Namun Bu Nyaru tidak tinggal diam. Di usianya yang masuk 40 tahun, sorot matanya tetap nyalang berkobar api kebebasan.
Bersama perempuan kampung lainnya, beliau membentuk kelompok Hinting Langit (Pengikat langit) dalam bahasa Dayak Ngaju. Mereka tidak hanya berkumpul untuk menenun atau memasak, tetapi menyusun strategi perlindungan hutan.Mereka mulai memetakan wilayah adat secara partisipatif dengan bantuan NGO lokal, dan mengajukan klaim hutan adat ke pemerintah melalui skema Perhutanan Sosial.
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), hingga 2024 baru sekitar 6% dari target12,7 juta hektar lahan Perhutanan Sosial yang benar-benar dikelola oleh kelompok perempuan. Namun, inisiatif Bu Nyaru menjadi contoh penting bahwa perempuan bukan hanya penerima manfaat, tetapi aktor utama pelestarian.
Kelompok Hinting Langit mempraktikkan pengelolaan hutan berkelanjutan berbasis kearifan lokal: mereka menanam kembali pohon endemik seperti ulin dan meranti menjaga kawasan sumber mata air, dan mengembangkan usaha berbasis hasil hutan non-kayu seperti madu hutan, rotan, dan kerajinan. Semua ini dilakukan dengan prinsip handep gotong royong khas Dayak.
“Kalau kita jaga hutan, hutan akan jaga kita,” kata Bu Nyaru dalam sebuah forum komunitas. Ia berbicara bukan dengan retorika ilmiah, tapi dengan kebijaksanaan yang diwariskan turun-temurun.
Perempuan adat seperti Bu Nyaru memiliki pengetahuan mendalam tentang ekosistem lokal. Sebuah studi oleh CIFOR(2017) menyebutkan bahwa perempuan memiliki peran vital dalam pelestarian keanekaragaman hayati karena keterlibatan mereka dalam aktivitas harian seperti mengumpulkan hasil hutan, mengolah pangan, dan meramu obat-obatan. Namun peran ini seringkali tidak diakui secara formal.
Ironisnya, saat hutan dikonversi untuk proyek pembangunan, suara perempuan jarang didengar. Dalam 80% konflik tenurial di Indonesia, perempuan hampir tidak pernah terlibat dalam negosiasi ganti rugi (HuMa, 2020). Padahal mereka yang paling terdampak oleh kerusakan lingkungan yang meliputi kehilangan air bersih, sumber pangan, dan ruanghidup.
Perjuangan Hinting Langit mendapat perhatian nasional.Mereka berhasil mendorong pemerintah daerah mengeluarkan Perdes (Peraturan Desa) yang melindungi kawasan hutan keramat dan menetapkan zona larangan tebang. Tidak hanya itu, mereka juga menjadi bagian dari gerakan perempuan adat nasional melalui organisasi seperti PEREMPUAN AMAN.
Produk mereka, seperti madu hutan dan tas rotan kini dijual hingga ke Jakarta dan Yogyakarta melalui jaringan koperasi hutan. Namun, lebih penting dari itu, mereka berhasil mengembalikan rasa percaya diri perempuan Dayak Ngaju:bahwa mereka bukan hanya pewaris budaya, tapi pemimpin ekologis.
“Kami tidak melawan dengan kekerasan, tapi dengan kasih pada alam,” kata Bu Nyaru dalam sebuah dokumenter lokal. Ia kini sering diminta berbicara di universitas dan forum lingkungan, meskipun ia tetap tinggal di rumah kayunya di pinggir hutan.
Catatan
Tokoh dalam cerita ini dibuat fiktif karena keterbatasan data dan perizinan langsung. Namun ide cerita dibangun atas informasi mengenai peran dan keuletan para perempuan Dayak dalam menjaga dan melestarikan Hutan. Adapun link informasi tentang perjuangan mereka ialah sebagai berikut:
1.https://kaltim.antaranews.com/amp/berita/236761/yuliana-wetuq-sosok-perempuan-penjaga-hutan-lindung-wehea
2. https://www.wrm.org.uy/id/bulletin-articles/dayak-womens-struggle-to-protect-the-forests-in-central-kalimantan-indonesia
3. https://www.mongabay.co.id/2024/04/22/perempuan-dayak-orung-daan-penjaga-tradisi-hulu-sungai-kapuas/amp/
4.https://nationalgeographic.grid.id/amp/134271845/perempuan-dayak-iban-merajut-harapan-menjaga-hutan-mewariskan-budaya
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini
 
                         
                         
                         
                         
                         
                                 
			 
			 
                                
 
                                





