Dengarkan Artikel
Oleh Novita Sari Yahya
Revolusi yang Menelan Anaknya Sendiri
Saya teringat kata-kata Gus Dur: “Tidak ada kekuasaan yang perlu dipertahankan mati-matian.” Kalimat itu menjadi fakta ketika membaca berita dari Paris — Nicolas Sarkozy, mantan Presiden Prancis, resmi menjadi presiden pertama negeri itu yang benar-benar menjalani hukuman penjara.
Prancis adalah negeri yang pernah memenggal kepala rajanya, Louis XVI, pada 21 Januari 1793 di Place de la Révolution (kini Place de la Concorde), atas nama rakyat.
Dua abad kemudian, negeri yang sama memenjarakan presidennya atas nama hukum.
Di sanalah letak keagungan demokrasi: kepala negara bisa dijatuhkan, bahkan dipenjara, tanpa kudeta, tanpa darah, tanpa revolusi baru — cukup dengan keputusan pengadilan.
Sarkozy kini menjadi “mahasiswa baru” di universitas tertua dalam politik: Lembaga Pemasyarakatan.
Dulu ia memerintah negara dengan pena dan kebijakan; kini ia menunggu waktu makan siang di balik jeruji.
Demokrasi memang punya selera humor: hari ini berpidato di istana, esok hari berdoa di sel.
Di Prancis membuktikan bahwa hukum bukan alat kekuasaan tetapi pagar moral yang membatasi semua, bahkan presiden.
Aktivis Masuk Penjara Sebelum Jadi Presiden, Politisi Setelahnya
Berbeda dengan Eropa, di Indonesia penjara sering menjadi ruang tunggu sejarah: tempat aktivis dilahirkan, dan politisi dipenjarakan sebagai penjahat.
Soekarno masuk penjara bukan karena menyelewengkan dana, melainkan karena melawan kolonialisme Belanda.
Pada 29 Desember 1929, ia ditangkap dan dipenjarakan di Penjara Banceuy, Bandung, lalu dipindahkan ke Sukamiskin pada 1930.
Dari balik jeruji itulah lahir pleidoi legendaris “Indonesia Menggugat” (10 Agustus 1930) — naskah pembelaan politik yang menyalakan api kemerdekaan jauh sebelum republik berdiri.
Bagi Soekarno, penjara bukan hukuman, tetapi tempat menyusun cita-cita bangsa.
Namun zaman berganti.
Kini penjara menjadi tempat transit pejabat yang tersandung korupsi.
Bukan lagi “Indonesia
Menggugat,” melainkan “saya keberatan atas dakwaan.”
Jika Bung Karno keluar dari penjara dengan ide, maka banyak pejabat kini masuk penjara karena kekurangan ide kecuali untuk memperkaya diri.
Dunia Belajar dari Para Mantan Tahanan Politik.
Lihat Luiz Inácio Lula da Silva di Brasil — buruh pabrik baja yang dipenjara 580 hari karena tuduhan korupsi sebelum akhirnya dibebaskan dan kembali menjadi presiden.
Ia meluncurkan program Bolsa Família, yang menurunkan tingkat kemiskinan lebih dari 20 juta jiwa.
Atau José Mujica dari Uruguay — mantan gerilyawan yang menjalani 14 tahun penjara, sebagian besar di sel isolasi. Setelah bebas, ia menjadi “presiden termiskin di dunia”, menyumbangkan 90% gajinya kepada rakyat.
Ada pula Aung San Suu Kyi, ikon demokrasi Myanmar, yang menjalani tahanan rumah selama total 15 tahun. Kisahnya menunjukkan bahwa penjara bisa menjadi universitas moral bagi pemimpin sejati.
Bagaimana dengan Indonesia?
Mari menatap cermin negeri sendiri.
Di negara +62, istilah “mantan menteri yang dipenjara” bukan lagi kejutan, melainkan pengumuman berkala dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Berikut beberapa nama dan fakta hukuman yang terverifikasi:
- Setya Novanto – Mantan Ketua DPR RI
 Kasus: Korupsi proyek e-KTP (kerugian negara ± Rp 2,3 triliun). Vonis: 15 tahun penjara (April 2018), dipotong menjadi 12 tahun 6 bulan (PK Juli 2025, MA).
- Edhy Prabowo – Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan
 Kasus: Suap ekspor benih lobster senilai Rp 25,7 miliar.Vonis: 5 tahun penjara dan denda Rp 400 juta (Juli 2021).
- Juliari P. Batubara – Mantan Menteri Sosial
 Kasus: Suap bantuan sosial Covid-19. Vonis: 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta (Agustus 2021).
- Idrus Marham – Mantan Menteri Sosial
 Kasus: Suap proyek PLTU Riau-1. Vonis 3 tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider 2 bulan kurungan.
- Johnny G. Plate – Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika
 Kasus: Korupsi proyek BTS 4G Kominfo (kerugian negara ± Rp 8 triliun). Vonis: 15 tahun penjara (Juli 2024).
Mereka dulu disambut tepuk tangan di podium, kini difoto dengan rompi oranye di ruang sidang.
Sejarah mengulang cerita hanya tempatnya yang berbeda: dari istana ke sel.
Mungkin suatu hari sejarah akan menulis bab baru bahwa di negeri +62, mantan presiden pun bisa dipenjara. Tak ada yang mustahil.
Namun, kita masih bisa mencegahnya dengan berpihak pada kebenaran, bukan pada kenyamanan.
Menolak menjadikan ambisi, lapar, atau gengsi sebagai alasan menukar nurani.
Penjara sebagai Cermin Moral Bangsa
Bagi aktivis, penjara adalah tempat menempa idealisme.
Bagi koruptor, penjara seharusnya menjadi tempat pendidikan menjadi warganegara yang sadar kesalahan dan dosa.
Sarkozy akhirnya belajar, bahwa dari balik jeruji,
kekuasaan bisa berakhir tapi tanggung jawab tidak pernah selesai.
Dunia memuji Prancis bukan karena mantan presidennya dipenjara,
melainkan karena negaranya berani menegakkan hukum tanpa pandang jabatan.
Indonesia masih punya waktu untuk belajar hal itu.
Jika hukum bisa berjalan tanpa takut pada kekuasaan, maka rakyat pun tak perlu takut pada ketidakadilan.
Penutup
Mungkin Gus Dur benar:
“Kekuasaan tidak perlu dipertahankan mati-matian.”
Sebab, siapa yang mempertahankan kekuasaan dengan segala cara, akan mati oleh cara-cara itu sendiri.
Penjara merupakqn peringatan: bahwa takdir seorang pemimpin bisa berbalik kapan saja.
Dan pada akhirnya, hanya satu yang abadi yaitu kebenaran.
Daftar Referensi
- CNN Indonesia. “Nicolas Sarkozy Dipenjara, Jadi Eks Presiden Prancis Pertama Masuk Bui.” 21 Oktober 2025.
- BBC News. “Louis XVI Execution: The Day the French King Lost His Head.” Arsip Revolusi Prancis, 1793.
- Tempo.co. “5 Menteri Jokowi yang Terjerat Kasus Korupsi, 2 di Antaranya Menteri Sosial.” 2024.
- Antara News. “PK Dikabulkan, Vonis Setya Novanto Dipotong Jadi 12 Tahun 6 Bulan Penjara.” Juli 2025.
- Kompas.com. “Vonis 12 Tahun Penjara untuk Juliari Batubara di Kasus Bansos Covid-19.” 2021.
- Hukumonline.com. “Tuntutan 5 Tahun Penjara terhadap Edhy Prabowo Dinilai Hina Rasa Keadilan.” 2021.
- The Guardian. “Brazil’s Lula Released from Prison After 580 Days.” 2019.
- Reuters. “Uruguay’s José Mujica: From Prisoner to President.” 2013.
- Arsip Nasional RI. “Pledoi Soekarno: Indonesia Menggugat.” Bandung, 1930.
Novita sari yahya
Penulis dan peneliti
Pembelian buku CP : 089520018812
🔥 5 Artikel Terbanyak Dibaca Minggu Ini
 
                         
                         
                         
                         
                         
                                 
			 
			 
                                 
					 
                                




 
                                    
Silahkan Komentar